Wahai para penjelajah waktu, siapkan dirimu! Kita akan menyibak tabir yang selama ini menyelimuti Keraton Sumenep. Bukan sekadar bangunan megah di Pajagalan yang dikenal khalayak, melainkan jejak-jejak takhta yang bertebaran di seluruh penjuru bumi Sumenep. Sebuah kisah tentang perebutan kekuasaan, pergeseran dinasti, dan rahasia yang terpendam di setiap batu dan tanah.
 |
Keraton Sumenep/Istimewa. |
Selama ini, gambaran tentang Keraton Sumenep seolah terkunci pada satu citra: bangunan monumental di Kelurahan Pajagalan, warisan agung dari Panembahan Sumolo. Namun, tahukah engkau, bahwa sebelum kemegahan itu berdiri, bumi Sumenep telah menjadi saksi bisu berdirinya beberapa keraton lain, tersebar di berbagai penjuru, laksana mutiara yang tercecer dari mahkota kerajaan yang hilang?
"Memang, kita tahu bahwa pemerintahan Sumenep diatur oleh beberapa dinasti secara estafet. Jadi, lokasi keratonnya berbeda setiap dinasti," tutur RB. Mohammad Muhlis, salah satu keturunan keluarga Keraton Sumenep dinasti terakhir, pada sebuah wawancara di tahun 2015 silam. Sebuah kalimat yang membuka gerbang menuju alur sejarah yang sesungguhnya, jauh lebih mendebarkan dari yang kita bayangkan.
Tiga Dinasti, Satu Akar Genealogi: Drama Perebutan Takhta
Darah dan kekuasaan mengalir dalam tiga dinasti besar di Sumenep, yang menariknya, memiliki akar genealogi yang sama. Mula-mula, takhta dikendalikan oleh Dinasti Arya Wiraraja. Kemudian, kekuasaan berpindah ke tangan Dinasti Tumenggung Kanduruhan, yang memiliki kaitan erat dengan Kerajaan Demak. Sebuah intrik terselip ketika sempat dikuasai oleh anggota Dinasti Cakraningrat Bangkalan, sebelum akhirnya kembali ke dinasti kedua. Namun, kali ini dengan sentuhan baru, sebuah perpaduan antara keturunan Kanduruhan dengan keturunan Raden Adipati Pramono, alias Pangeran Bonorogo Raja Pamekasan.
Puncak dari pergolakan ini adalah jatuhnya takhta ke pangkuan Dinasti Bindara Saut, sebuah keluarga yang berakar kuat dari pesantren. Catatan silsilah keraton menyebut bahwa dinasti ini berasal dari pecahan dinasti Kanduruhan yang memilih jalan sunyi, menyingkir ke akar rumput. Namun, bisik-bisik sejarah juga menyuarakan versi lain, sebuah misteri yang masih menyelimuti asal-usul sejati dinasti terakhir ini.
Pengembaraan Takhta: Jejak Keraton Dinasti Arya Wiraraja yang Bergerak
Pada masa gemilang Dinasti Arya Wiraraja, pusat pemerintahan bukanlah tempat yang statis. Laksana bidak catur yang bergerak di papan sejarah, keraton berpindah-pindah, mengikuti irama suksesi kepemimpinan yang kerap diwarnai intrik dan perjuangan.
Dari Desa Banasare, Kecamatan Rubaru, tempat Aria Wiraraja pertama kali menancapkan kekuasaan.
Bergeser ke Aeng Nyior, Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, di mana Aria Lembusuranggana memerintah.
Tersembunyi di Desa Keles, Kecamatan Ambunten, menjadi saksi bisu masa Pangeran Mandaraga.
Melangkah ke Desa Bukabu, Kecamatan Ambunten, kediaman Pangeran Notoprojo atau Pangeran Bukabu.
Menuju Desa Baragung, Kecamatan Guluk-Guluk, di mana Pangeran Notoningrat atau Pangeran Baragung bertahta.
Hingga akhirnya, kembali ke Desa Banasare di masa Pangeran Secodiningrat I.
Puncak dari pengembaraan ini terjadi pada masa Jokotole (Pangeran Secodiningrat III), yang memindahkan pusat pemerintahan ke Desa Lapataman, Kecamatan Dungkek. Setiap perpindahan adalah babak baru, setiap lokasi adalah jejak dari sebuah era yang telah berlalu.
Stabilisasi dan Transformasi: Dari Kanduruhan hingga Kemegahan Saat Ini
Barulah ketika Dinasti Tumenggung Kanduruhan mengambil alih kendali, pusat pemerintahan mulai menemukan kediaman yang lebih permanen di lokasi yang kini dikenal sebagai Kecamatan Kota Sumenep. Dua tempat menjadi saksi bisu keberadaan keraton pada masa itu: Kampung Karangsabu atau Karangtoroy di Kelurahan Karangduak, dan Kampung Atas Taman di Kelurahan Pajagalan.
Namun, dari semua keraton yang pernah berdiri gagah di tanah Sumenep, hanya satu yang masih berdiri kokoh hingga kini, menyambut setiap pengunjung dengan gerbangnya yang ikonik: Keraton Sumenep yang berpintukan Labang Mesem. Sebuah peninggalan agung dari Dinasti Bindara Saut, dinasti terakhir yang mewarnai lembaran sejarah Sumenep.
"Hanya ada perbedaan dalam konteks fisik dari bangunan yang disebut keraton itu, dari dinasti-dinasti awal dengan keraton yang saat ini masih berdiri, yang notabene merupakan peninggalan dinasti Bindara Saut sebagai dinasti terakhir," ungkap Gus Muhlis. Perbedaan itu bukan sekadar soal ukuran atau arsitektur, melainkan juga penempatan simbol-simbol dan makna filosofisnya. "Seperti warna cat, tata letak, dan simbol-simbol yang diletakkan. Seperti misal pohon Beringin yang berasal dari kata warain dan lain sebagainya," terangnya, menyingkap lapis-lapis makna di balik setiap elemen keraton.
Makna Keraton di Sumenep: Lebih dari Sekadar Istana Megah
Yang menarik, Gus Muhlis juga menambahkan sebuah perspektif yang mengubah pandangan umum kita tentang "keraton" di Sumenep. Secara fisik, ia tak sama dengan keraton-keraton megah di Jogjakarta atau Solo. Hakikatnya, keraton di Sumenep hanyalah tempat tinggal atau rumah (dhalem) raja dan anggota keluarganya yang tidak seberapa luas.
"Itu bisa kita lihat bekas kediaman Ratu Tirtonegoro dan Bindara Saut. Sebuah rumah yang oleh rakyat waktu itu disebut sebagai keraton. Karena merupakan tempat tinggal raja," kata putra almarhum RP. Mohammad Danafia dan R. Aj. Munirah ini. Bahkan keraton yang masih ada saat ini pun, menurut guru SD di Sumenep ini, secara luas tidak sebanding dengan keraton di Jawa, begitu pula tinggi lantai dasarnya. Hal ini bukan tanpa alasan. Secara strata, Sumenep pernah menjadi bawahan Mataram, dan penguasanya setingkat Adipati, meskipun rakyat tetap menyebutnya rato (Raja).
Namun, ada satu fakta yang mendebarkan: dalam kancah politik Belanda pada masa dinasti terakhir, Sumenep disetarakan dengan Kasultanan di Jogja maupun Kasunanan di Solo. Ia bukan lagi sekadar bawahan, melainkan "teman" yang dihormati. Sebuah pengakuan yang menegaskan kedudukan istimewa Sumenep dalam peta kekuasaan masa lampau.
Disclaimer:
Sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dalam penulisan artikel ini, kami membuka ruang kepada masyarakat yang mengetahui pengetahuan terkait sejarah keraton Sumenep ini silahkan berkontribusi dalam perbaikan. "Mator Sakalangkong"