|Ferry Arbania|
Di antara heningnya samudra dan bisikan dedaunan, semesta tak pernah berhenti mengukir aksara. Ia melukiskan simfoni keberlangsungan, namun sesekali, ia juga mengguratkan elegi ketidakpastian. Di hamparan Kepulauan Sumenep, di ujung timur Madura yang berlumur sejarah, kini terkuak sebuah narasi tentang dialektika antara kekuatan elementer alam dan kebijaksanaan insani.
Pada tanggal 9 Juli 2025, sebuah titah, bukan sekadar dekrit administratif, namun sebuah refleksi dari kearifan kolektif, terhampar dari balairung Pemerintah Kabupaten Sumenep. Dalam Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2025, terkandung sebuah ajakan untuk menyikapi metafisika cuaca ekstrem yang diproyeksikan merupa antara 8 hingga 11 Juli 2025. Ini bukanlah ramalan mistis, melainkan data empiris yang terhimpun dari otoritas klimatologis, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang mengisyaratkan potensi hujan lebat, angin kencang, dan gelegar petir merentang di sebagian lansekap Jawa Timur, termasuk Sumenep.
Langkah ini, sesungguhnya, adalah sebuah aksiologi antisipasi, sebuah praksis filosofis untuk mereduksi potensi anomali hidrometeorologi. Banjir, tanah longsor, angin kencang, pohon tumbang, hingga gelombang yang menggulung di pesisir, adalah manifestasi dari dinamika geofisika yang menuntut adaptasi. "Cuaca ekstrem adalah entitas tak terduga dalam matriks eksistensi kita," demikian gema suara Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sumenep, Ach. Laili Maulidy, yang menyeru kesiapsiagaan. "Ia datang tanpa notifikasi verbal, menuntut respons yang terkalibrasi dari setiap entitas sosial."
Maka, dalam bingkai kewaspadaan yang dihelat ini, Pemkab Sumenep merumuskan tujuh imperatif etis sebagai panduan bagi setiap individu dan komunal:
Monitor Perkembangan Cuaca Secara Berkala: Ini adalah undangan untuk merengkuh epistemologi waspada, sebuah dorongan untuk senantiasa menyelaraskan diri dengan logos alam melalui data yang terverifikasi. Membaca langit bukan lagi sekadar kearifan lokal, melainkan sains yang menuntun praksis.
Hindari Aktivitas di Luar Ruangan: Ketika elemen-elemen purba bergejolak, kebijaksanaan mendikte untuk menarik diri ke dalam sanctuary keberadaan. Ini adalah pengakuan atas batas-batas fisik manusia di hadapan kekuatan supra-individual, sebuah momen kontemplasi tentang rentannya materialitas.
Periksa dan Bersihkan Saluran Udara: Sebuah tindakan mikro yang memiliki implikasi makro. Memastikan kelancaran saluran air adalah metafora tentang menjaga flow kehidupan, mencegah stagnasi yang bisa berujung pada disrupsi hidrologis dan struktural. Ini adalah tanggung jawab ekologis dalam skala personal.
Amankan Lingkungan Sekitar: Mengukuhkan struktur yang menopang kehidupan adalah esensi dari ontologi keamanan. Memeriksa atap, mengkaji integritas bangunan, dan memangkas dahan yang rapuh adalah wujud intervensi proaktif terhadap potensi entropi, sebuah dialog dengan kerapuhan dan kekuatan.
Siaga di Daerah Rawan Bencana: Bagi mereka yang berdiam di titik-titik rentan, ini adalah panggilan untuk resonansi kewaspadaan. Evakuasi, jika perlu, bukanlah pelarian, melainkan strategi kelangsungan hidup, sebuah penegasan atas nilai fundamental dari setiap jiwa.
Laporkan Kejadian Darurat kepada Pihak Berwenang: Ini adalah penegasan atas kohesi komunal, sebuah jaring solidaritas yang merangkai individu menjadi sebuah entitas responsif. Call Center 112 bukan sekadar nomor, melainkan suara kolektif yang menuntut intervensi.
Jaga Kesehatan dan Kebersihan: Di tengah pergolakan eksternal, menjaga homeostasis internal adalah imperatif primer. Kebersihan dan kesehatan adalah benteng pertama terhadap invasi mikrobial, sebuah prasyarat bagi vitalitas yang memungkinkan kita menghadapi tantangan apapun.
Ach. Laili Maulidy menegaskan, keberlangsungan di tengah badai mensyaratkan sinergi holistik antara pilar-pilar kekuasaan – pemerintah, aparat desa – dan jaring-jaring komunal masyarakat. BPBD, sebagai garda terdepan, telah mengkalibrasi personel dan sarana pendukung, termasuk menembus batas-batas kepulauan. "Lengah adalah kemewahan yang tak termaafkan di tengah urgensi," pungkasnya, menggarisbawahi kecepatan respons sebagai norma esensial.
Sumenep, dengan mosaik 126 pulau yang tersebar bagai gugusan bintang di atas hamparan air, adalah sebuah laboratorium alam bagi resiliensi. Ketergantungan pada konektivitas laut menjadikan wilayah ini sangat sensitif terhadap gejolak atmosfer. Gelombang yang meninggi, angin yang meraung, dan hujan yang menghujam adalah ritus inisiasi bagi kesiapsiagaan kolektifnya. Dalam lanskap geografis yang sedemikian rupa, praksis mitigasi risiko bukan lagi pilihan, melainkan sebuah aksioma.
Pemerintah Kabupaten Sumenep, dalam kebijaksanaannya, tidak mengundang kepanikan. Sebaliknya, ia mengajak kepada sebuah sikap tenang namun siaga. Memperkuat atap, memangkas ranting yang rentan, atau memastikan aliran air adalah gestur-gestur sederhana, namun sarat makna. Ia adalah manifestasi dari pemahaman bahwa takdir dan ikhtiar adalah dua sisi mata uang eksistensi.
Maka, dalam setiap tarikan napas di tengah musim yang berbisik, mari kita senantiasa terhubung dengan saluran informasi resmi – situs BPBD, kanal media sosial, atau frekuensi Call Center 112. Sebab, di era informasi ini, pengetahuan adalah perisai, dan kewaspadaan adalah manifestasi tertinggi dari hikmah.
Semoga kita senantiasa teguh di tengah badai, tercerahkan oleh setiap bisikan alam, dan terhubung dalam simfoni keberlangsungan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia