Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Saya. Mohon Maaf Jika Ada Kesalahan, baik dalam penuisan maupun kutipan, dll. Saran dan Koreksi silahkan kirim ke email saya: ferry.arbania@gmail.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Jumat, Juli 11, 2025

Odyssey Aksara: Dari Plato ke 'Binatang Jalang', Puisi dan Jiwa yang Tak Padam

[Ferry Arbania]


Ist. Lomba Puisi Kreatif di Sumenep [dok. ferryarbania]

Kita mengenal puisi sebagai pelipur lara, sebuah taman sunyi tempat aksara bersemi, menyuguhkan keindahan yang tak terhingga. Namun, lebih dari sekadar eloknya diksi dan merdunya irama, puisi adalah cawan yang menampung segala resah. Ia menjadi saksi bisu bagi hati yang remuk redam, tempat penyair menumpahkan segala lara, kritik sosial yang menohok, atau sekadar bisikan rindu yang terbawa angin. Setiap bait, setiap larik, adalah tetesan air mata yang mengkristal menjadi permata kata, membentuk jalinan makna yang tak lekang oleh waktu. Ia adalah warisan purba, benang emas yang mengikat kita pada akar budaya, mengukir karakter bangsa dalam setiap helaan napasnya.


Ketika Sejarah Membisikkan Kontroversi

Ferry Arbania saat diundang membacakan puisi-puisinya dalam acara Pemkab dan Wartawan di Kantor Kominfo Sumenep. Dok. Pribadi

Namun, tahukah engkau, bahkan untuk merayakan keindahan ini, ada semacam ironi dalam sejarahnya? Hari Puisi Nasional, seolah takdir, lahir dalam balutan kontroversi yang melankolis. Dua tanggal, dua versi, seakan mencerminkan dualitas jiwa yang selalu bergolak.

Ada yang menggenggam erat tanggal 28 April, mengenang kepergian seorang maestro, Chairil Anwar, pada tahun 1949. Seolah dalam keheningan duka itulah, puisi menemukan kembali makna terdalamnya. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, bersama Musyawarah, mengukir tanggal ini sebagai prasasti.

Namun, di sisi lain, ada suara yang lebih syahdu, merayakan kelahiran sang penyair pada 26 Juli 1922. Ibarat tunas yang bersemi, tanggal ini dideklarasikan pada 22 November 2012 oleh Sutardji Calzoum Bachri, sang Presiden Sastrawan Indonesia, bersama empat puluh sastrawan dari seluruh penjuru negeri, di Anjungan Idrus Tintin, Pekanbaru. Mereka seolah ingin berkata: kelahiran adalah awal dari segala keindahan, termasuk kelahiran sebuah puisi.

Walau berbeda hari, keduanya berlabuh pada satu nama: Chairil Anwar. Ia adalah bintang jatuh yang menerangi kegelapan, pelopor yang tak gentar mendobrak belenggu, yang dijuluki si 'Binatang Jalang' karena keberaniannya merangkul eksistensialisme. Hampir seratus karya lahir dari jemarinya, tujuh puluh di antaranya adalah puisi, yang hingga kini masih menggetarkan jiwa.

Dan di kancah dunia, ada pula Hari Puisi Sedunia, 21 Maret, ditetapkan oleh UNESCO. Namun, lagi-lagi, ada bisikan lain dari benua Eropa yang memilih 15 Oktober, hari lahir Publius Vergilius Maro atau Virgil, pujangga Latin dari masa Romawi kuno. Seolah, di setiap peringatan, ada jejak-jejak masa lalu yang menolak dilupakan, merayakan kembali kelahiran atau kepergian, membentuk jalinan kisah yang tak pernah usai.


Chairil Anwar: Jejak Jiwa yang Mengabadi

Mengenang Chairil Anwar adalah menelusuri jejak jiwa yang abadi. Lahir di Medan pada 22 Juli 1922, ia adalah bocah yang haus akan aksara. Di MULO Jakarta, ia hanya mampu mengecap bangku kelas dua, namun semangat belajarnya tak pernah padam. Autodidak, ia melahap bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman, membuka jendela dunia sastra asing di hadapan matanya.

Hapsah, sang mantan istri, bersaksi tentang Chairil yang tak pernah lepas dari buku. Di meja makan, di ranjang, buku-buku adalah sahabat setianya. Ia menyelami sajak-sajak penyair dunia, mengartikan setiap barisnya, seolah ingin menemukan cermin jiwanya sendiri dalam setiap kata.

Puisi pertamanya, "Nisan", lahir pada 1942, sebuah penanda dimulainya perjalanan Chairil dalam merajut kata. Hingga akhir hayatnya di tahun 1949, enam sajak terakhirnya menjadi penutup yang mengharukan. Puisi-puisi perjuangan seperti "Aku", "Karawang-Bekasi", dan "Diponegoro" bukan hanya sekadar untaian kata, melainkan jeritan hati yang menggambarkan perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan. Dan di antara gejolak itu, ada pula kelembutan dalam puisi-puisi percintaan dan renungan seperti "Senja di Pelabuhan Kecil", "Doa", dan "Selamat Tinggal", yang mengelus jiwa dengan kehalusan maknanya.

"Aku", yang terbit pada tahun 1945 di majalah Timur, adalah mahakarya yang mendobrak. Artati Sudirdjo, seperti dikutip H.B. Jassin, menyebutnya sebagai "orang yang terbesar pengaruhnya dari Angkatan 45," sang pelopor yang membuka jalan baru dalam kesusastraan Indonesia.

Maka, setiap Hari Puisi, entah pada 28 April atau 26 Juli, entah diiringi musikalisasi atau sekadar bait-bait baru yang terucap, kita seolah kembali pada masa lalu. Generasi milenial dan zilenial, dalam riuhnya dunia modern, menemukan kembali jejak-jejak Chairil, merayakan kekayaan bahasa, dan mungkin, tanpa sadar, meneteskan air mata. Air mata karena keindahan yang tak terlukiskan, atau karena kesadaran bahwa di balik setiap puisi, ada jiwa yang berjuang, mencintai, dan merenung.

Sahawi, Mahasiswa STIDAR Sumenep, Peserta Lomba Baca Puisi Kreatif. [Dok. ferry arbania}


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

اَللّٰهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ وَ عَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَ زِدْنِيْ عِلْمًا

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Jurnal Pesantren

Sahabat Indonesia

Ruang Diskusi