Maqashid Syariah di Balik Fatwa Sound Horeg: Menjaga Martabat & Harmoni Masyarakat


Fenomena "sound horeg" atau penggunaan pengeras suara berdaya tinggi yang menggelegar, kembali menjadi sorotan setelah Forum Satu Muharram 1447 Hijriah Pondok Pesantren Besuk, Kabupaten Pasuruan, mengeluarkan fatwa haram. Fatwa ini lantas menuai beragam respons di tengah masyarakat, memicu diskusi tentang batasan hiburan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun angkat bicara, menegaskan bahwa haramnya sound horeg bergantung pada dampak yang ditimbulkannya.

Dalam perspektif Ahlussunnah Wal Jamaah, penetapan hukum syariat senantiasa berlandaskan pada prinsip maqashid syariah, yaitu tujuan-tujuan luhur syariat Islam yang intinya adalah menjaga kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah mafsadat (kerusakan). Ini bukan sekadar soal boleh atau tidak boleh secara mutlak, melainkan peninjauan mendalam terhadap konteks, dampak, dan implikasi sosial dari suatu perbuatan.

Sebagaimana disampaikan oleh Ketua PBNU, Ahmad Fahrur Rozi, jika sound horeg menimbulkan mafsadah (kerusakan), mengganggu orang lain, dan menjadi sarana untuk maksiat—seperti mabuk-mabukan, joget yang tidak pantas (paraqoy), dan sejenisnya—maka hukumnya bisa menjadi haram. Penekanan pada kata "bisa" menunjukkan bahwa hukumnya tidak serta merta haram jika tidak ada dampak negatif yang dominan. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan sebaliknya.

Penting untuk dipahami bahwa ajaran Islam sangat menghargai hak orang lain. Fahrur menegaskan, "Hadist Nabi tentang kesempurnaan iman seseorang tidak lengkap jika tidak menghormati hak tetangga, hak tamu, dan hak saudaranya menjadi bukti keseriusan Islam dalam menghargai hak orang lain." Dalil yang mulia ini adalah fondasi etika sosial dalam Islam. Mengganggu ketenangan dan kenyamanan tetangga, apalagi sampai menimbulkan kerugian fisik atau psikis, jelas bertentangan dengan semangat ajaran ini.

Pengasuh Ponpes Besuk, KH. Muhibbul Aman Aly, juga memperkuat pemahaman ini. Beliau menjelaskan bahwa fatwa haram sound horeg bukan semata-mata karena kebisingannya, melainkan karena konteks dan dampak sosial yang menyertainya. Artinya, kebisingan itu sendiri adalah salah satu bentuk gangguan, namun ketika kebisingan tersebut dibarengi dengan praktik-praktik yang tidak islami, seperti tarian vulgar, pergaulan bebas, atau bahkan pemaksaan iuran, maka hukumnya menjadi lebih tegas. Di sinilah prinsip "sadd az-zara'i" (menutup jalan menuju kemaksiatan) berperan. Jika suatu aktivitas, meskipun niat awalnya hiburan, secara nyata membuka pintu lebar bagi berbagai kemungkaran, maka syariat memandang perlu untuk mencegahnya.

Dalam kacamata Ahlussunnah Wal Jamaah, fatwa ini bukan bertujuan membatasi ekspresi atau mengharamkan hiburan secara keseluruhan. Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan hiburan yang baik dan bermanfaat. Namun, batasannya jelas: hiburan tidak boleh merugikan orang lain, tidak boleh menjadi sarana maksiat, dan harus senantiasa dalam koridor syariat.

Pro-kontra seputar fatwa sound horeg ini justru menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk merenungkan kembali esensi ajaran agama. Apakah hiburan yang kita nikmati benar-benar membawa manfaat, atau justru merugikan orang lain dan menjauhkan kita dari nilai-nilai luhur Islam? Memahami fatwa ini dari perspektif Ahlussunnah Wal Jamaah berarti mengedepankan kemaslahatan bersama, menghormati hak-hak individu, dan senantiasa menjaga adab serta akhlak dalam setiap sendi kehidupan. Ini adalah ajakan untuk mencari bentuk hiburan yang tidak hanya menyenangkan diri sendiri, tetapi juga membawa keberkahan dan kebaikan bagi seluruh masyarakat.

FERRY ARBANIA

JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Posting Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Lebih baru Lebih lama