Fatwa Haram Sound Horeg: Perspektif Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Menjaga Kemaslahatan Umat

Ilustrasi oleh Ferry Arbania melalui Asisten pribadi AI



Fenomena "sound horeg", penggunaan pengeras suara berdaya tinggi yang menggelegar, semakin marak di Indonesia. Meskipun dianggap sebagai hiburan oleh sebagian pihak, praktik ini menuai kontroversi dan bahkan fatwa haram dari beberapa ulama, khususnya di kalangan kiai Nahdlatul Ulama (NU). Lantas, bagaimana tinjauan fikih Ahlussunnah wal Jamaah terhadap fenomena ini, dan apa dasar pemikirannya?


Sound Horeg: Antara Hiburan dan Gangguan Sosial

Tradisi parade kendaraan bermuatan sound system super keras, sering kali mencapai 100-130 desibel (dB) — jauh melampaui batas aman 55 dB yang ditetapkan pemerintah — telah menjadi pemandangan umum, terutama saat perayaan hari besar nasional seperti karnaval Kemerdekaan RI. Para penghobi menganggapnya sebagai bentuk partisipasi memeriahkan kemerdekaan atau bahkan bagian dari adat lokal.

Namun, di balik klaim hiburan dan adat, sound horeg menimbulkan dampak serius. Suara bisingnya dapat terdengar hingga radius kilometer, mengganggu ketenangan, mengguncang kaca rumah, bahkan menyebabkan genteng berjatuhan. Lebih jauh, tercatat kasus anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran hingga pendarahan akibat kerasnya suara. Selain itu, parade sound horeg kerap diselingi praktik yang tidak sesuai norma syariah, seperti tarian perempuan yang mempertontonkan aurat, pergaulan bebas, dan pemaksaan iuran kepada warga.


Nalar Fikih Fatwa Haram: Berlandaskan Kemaslahatan dan Pencegahan Kerusakan

Dalam kajian Ahlussunnah wal Jamaah, fatwa haram sound horeg didasarkan pada dua pokok pikiran utama yang selaras dengan prinsip maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), yaitu menjaga kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah mafsadat (kerusakan):

  1. Gangguan dan Bahaya bagi Orang Lain (ضرر وإضرار - Dharar wa Idhrar): Islam sangat menekankan prinsip "لا ضرر ولا ضرار" (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain). Penggunaan sound horeg yang melampaui batas wajar secara jelas menimbulkan kemudaratan (bahaya) bagi masyarakat luas. Kerusakan fisik seperti gangguan pendengaran, pendarahan, dan kerusakan properti (genteng jatuh, kaca bergetar) adalah bukti nyata dari bahaya ini.

    Selain itu, gangguan kenyamanan dan ketenangan juga termasuk dalam kategori kemudaratan. Hak individu untuk beristirahat, beribadah dengan khusyuk, dan menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa gangguan adalah bagian dari kemaslahatan yang harus dijaga. Kebisingan ekstrem dari sound horeg merampas hak-hak dasar ini, menjadikannya perbuatan yang dilarang dalam syariat karena melampaui batas-batas toleransi sosial dan menimbulkan keresahan.

  2. Potensi Terjadinya Kemaksiatan (سد الذرائع - Sadd az-Zara'i): Prinsip "sadd az-zara'i" (menutup jalan menuju kemaksiatan) adalah pijakan penting lainnya. Meskipun niat awal penyelenggara mungkin hanya untuk hiburan, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan sound horeg sering kali menjadi wasilah (perantara) terjadinya berbagai kemaksiatan:

    • Perilaku Pornografis dan Merusak Akhlak: Tarian perempuan yang mempertontonkan aurat dan pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan secara terang-terangan adalah bentuk kemungkaran yang bertentangan dengan ajaran Islam tentang kesopanan dan penjagaan kehormatan.

    • Pemaksaan dan Kezaliman: Praktik "iuran paksa" kepada warga yang keberatan adalah bentuk kezaliman dan pengambilan harta orang lain tanpa hak, yang sangat dilarang dalam Islam.

    • Penyalahgunaan Fungsi Hiburan: Islam membolehkan hiburan yang bermanfaat dan tidak melanggar syariat. Namun, ketika hiburan berubah menjadi sarana pamer kemewahan, kesombongan, atau bahkan menimbulkan kerugian bagi orang lain dan memicu kemaksiatan, maka status hukumnya bisa berubah menjadi haram.

    Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, dalam menetapkan fatwa, selalu mempertimbangkan dampak luas suatu perbuatan terhadap kemaslahatan umat dan pencegahan kerusakan. Jika suatu aktivitas, meskipun niat awalnya baik, secara dominan menimbulkan mudarat dan membuka pintu kemaksiatan, maka demi menjaga kemaslahatan yang lebih besar, aktivitas tersebut dapat dihukumi haram.


Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan antara Adat dan Syariat

Fatwa haram sound horeg dari sebagian kiai NU, yang sejalan dengan kajian Ahlussunnah wal Jamaah, bukanlah semata-mata pembatasan, melainkan upaya menjaga kemaslahatan umat dari berbagai kerusakan. Islam sangat menghargai adat dan tradisi yang baik, namun adat tersebut harus selaras dengan prinsip-prinsip syariat dan tidak menimbulkan bahaya atau kemaksiatan.

Masyarakat diharapkan dapat membedakan antara hiburan yang bermanfaat dan hiburan yang justru menimbulkan mudarat. Penting bagi kita untuk selalu mengedepankan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan menjaga ketertiban sosial demi terciptanya lingkungan yang harmonis dan sesuai dengan ajaran Islam.

Bagaimana menurut Anda, apakah ada solusi lain untuk menyalurkan kreativitas penghobi sound system tanpa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat?

FERRY ARBANIA

JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Posting Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Lebih baru Lebih lama