Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Saya. Mohon Maaf Jika Ada Kesalahan, baik dalam penuisan maupun kutipan, dll. Saran dan Koreksi silahkan kirim ke email saya: ferry.arbania@gmail.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Kamis, Juli 10, 2025

Cermin Malam Kiai Sahli: Merengkuh Jejak Cinta dan Luka di Wajah Bumi

(Tafsir Sajak untuk Puisi "Selamat Malam Bumi" Karya Dr. KH. Sahli Hamid, M.Pd.I ) 

[Oleh: Ferry Arbania]

Dari Kanan: Dr. KH. Sahli Hamid, M.Pd.I bersama Dr. KH.Habib Baharun, Pengasuh Ponpes Dalwa.
[Dok. Ferry Arbania]



Ada kalanya, puisi tak sekadar untaian kata, melainkan sebuah cermin. Cermin yang tak hanya memantulkan bayangan, tetapi juga jiwa yang tersembunyi, bisikan yang terabaikan, dan kebenaran yang acap kali dilupakan.


 "Selamat Malam Bumi," karya Kiai Dr. KH Muhammad Sahli, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Iman Gadu Barat Kecamatan Ganding Sumenep, adalah cermin itu. Sebuah sapaan malam yang bukan hanya sapaan, melainkan sebuah interogasi mendalam, sebuah ratapan lirih, dan sekaligus sebuah deklarasi filosofis tentang esensi kehidupan.

Puisi ini dibuka dengan sebuah pertanyaan yang merayap pelan di senja kesadaran: "Selamat malam bumi / pernahkah engkau istirahat melepas lelah". Di sini, Bumi dipersonifikasikan sebagai entitas yang hidup, bernapas, bahkan merasakan lelah.


 Ia adalah sang Pemberi, tak kenal henti menyuplai kehidupan: air untuk menghidupkan pepohonan agar tumbuh normal, udara segar agar paru-paru semesta—dan manusia—tetap berdegup lancar. 


Sebuah gambaran puitis tentang kebaikan universal yang tak bertepi, sebuah ibu pertiwi yang tak pernah menuntut balas, hanya memberi, memberi, dan memberi. Istirahat baginya adalah kemewahan yang tak pernah singgah, karena tugasnya adalah menjaga denyut nadi kehidupan.


Namun, tirai lembut pertanyaan di awal segera beralih menjadi sebuah gugatan pilu. "Selamat malam bumi / apakah mimpimu terangkai indah / sejak manusia menggelar serakah". Di sinilah puisi mulai membalikkan panggung. 

Dr. KH. Sahli Hamid, M.Pd.I bersama Istri Neng Jemmy Saleha 


Manusia, sang penerima, justru menjadi aktor utama dalam drama pengkhianatan. Kata "serakah" di sini bukan sekadar sifat, melainkan sebuah babak baru dalam sejarah hubungan manusia dan alam, di mana "tanpa merasa bersalah" mereka menggali sumur bor untuk memenuhi hasrat tak terbatas, lalu tanpa peduli mencecerkan sampah di setiap celah, seolah perut bumi adalah tong sampah raksasa. Mimpi indah Bumi terkoyak oleh realitas pahit keserakahan, mengubah kanvas mimpi menjadi ceceran noda.

Gugatan itu kian menguat, menunjuk pada kehormatan yang tak pernah Bumi dapatkan, meski ia tak pernah mengharapkan. Air yang mengalir di pundaknya—sungai, danau, lautan—mestinya dilestarikan, namun acap kali dicemari. 


Pepohonan yang tumbuh dalam pangkuannya, paru-paru dunia, justru ditebangi dengan liar tanpa ampun. Pasir di perutnya, pondasi kehidupan, ditambang sembarangan, meninggalkan luka menganga. Baris-baris ini melukiskan ironi yang menusuk: Bumi, sang penyedia segala, pada akhirnya hanya "dimanfaatkan / setelah itu engkau dicampakkan." Sebuah hubungan transaksional yang kejam, di mana nilai hanya diukur dari apa yang bisa diambil, bukan apa yang harus dijaga. Ini adalah potret pedih ketidaktahuan manusia akan kehormatan yang tak bersyarat.


Puncaknya, puisi ini mengukir sebuah paradoks dan kebenaran abadi dalam empat baris terakhirnya. "Selamat malam bumi / engkau senantiasa bernyanyi meski banyak yang tidak peduli." Nyanyian Bumi di sini adalah resonansi kehidupan itu sendiri: desir angin, gemuruh ombak, riak sungai, suara daun yang bergesekan. 

Dr. KH. Sahli Hamid, M.Pd.I


Ia tetap bernyanyi, memberikan segala yang ia punya, meskipun kekayaannya dipreteli, kebaikannya dikhianati. Ironi terbesar datang ketika musibah melanda: "ketika banjir engkau yang diadili." Manusia lupa bahwa banjir adalah hasil tangan mereka sendiri dalam merusak sistem Bumi, namun Bumi jugalah yang pertama kali disalahkan.


Namun, di tengah semua pengkhianatan dan ketidakadilan itu, ada saksi abadi: "laut, gunung, anginmu menjadi saksi." Elemen-elemen purba ini, yang tak bisa dibungkam, menjadi monumen bisu atas penderitaan dan kebaikan Bumi yang tak pernah pudar. Mereka menjadi peneguh sebuah kebenaran universal, kalimat pamungkas yang menjadi intisari puisi, sekaligus pesan moral yang mendalam: "bahwa hidup senantiasa memberi."


"Selamat Malam Bumi" bukan sekadar puisi tentang lingkungan. Ia adalah meditasi filosofis tentang hakikat keberadaan, tentang lingkaran memberi dan menerima yang seyogianya selaras, namun terpecah oleh keserakahan manusia. 


Kiai Sahli mengajak kita untuk merenungkan, di bawah selimut malam yang sunyi, apakah kita telah melupakan nyanyian Bumi, apakah kita telah mengkhianati kebaikan tak bertepinya, dan apakah kita siap untuk kembali memahami bahwa hidup—termasuk hidup kita—hanya dapat bermakna ketika kita belajar memberi, sebagaimana Bumi yang tak pernah berhenti. 


Puisi ini adalah panggilan untuk introspeksi, sebuah sentuhan batin agar kita kembali menempatkan diri sebagai bagian dari semesta, bukan sebagai tuannya.

Mari kita nikmati kedalam puisi Sang Kiai Penyair dan Penyair Kiai ini secara utuh:

Ist. Dr. KH. Sahli Hamid, M.Pd.I [MaduraExpose]


SELAMAT MALAM BUMI

Puisi Karya: Dr. KH Muhammad Sahli


Selamat malam bumi

pernahkah engkau istirahat melepas lelah

setelah seharian menghidupkan pepohonan dengan persediaan air

agar ia tumbuh dengan normal

menghidangkan udara segar

biar paru-paru tetap berdegup lancar


Selamat malam bumi

apakah mimpimu terangkai indah

sejak manusia menggelar serakah

memperlakukan engkau tanpa merasa bersalah

menggali sumur bor untuk kebutuhan hidup

lalu mencecerkan sampah di setiap celah



Selamat malam bumi

Sudahkan engkau mendapat kehormatan

meski engkau tak pernah mengharapkan

air yang mengalir di pundakmu dilestarikan

pepohonan yang tumbuh dalam pangkuanmu tidak ditebangi dengan liar

pasir yang ada di perutmu tidak ditambang sembarangan

jangan-jangan engkau hanya dimanfaatkan

setelah itu engkau dicampakkan


Selamat malam bumi

engkau senantiasa bernyanyi meski banyak yang tidak peduli

kekayaanmu dipreteli

kebaikanmu telah dikhianati

ketika banjir engkau yang diadili

laut, gunung, anginmu menjadi saksi

bahwa hidup senantiasa memberi.

Dari Kiri: Dr. KH. Sahli Hamid, M.Pd.I, Ferry Arbania (Penulis) dan Pengasuh Ponpes Puncak Darussalam Pamekasan. [Dok]


Karay, Dhalem Temor: 10 Juli 2025. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

اَللّٰهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ وَ عَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَ زِدْنِيْ عِلْمًا

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Jurnal Pesantren

Sahabat Indonesia

Ruang Diskusi