Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Saya. Mohon Maaf Jika Ada Kesalahan, baik dalam penuisan maupun kutipan, dll. Saran dan Koreksi silahkan kirim ke email saya: ferry.arbania@gmail.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Kamis, Juli 10, 2025

Mengukir Nama, Menziarahi Akar: Kisah Fauzi dan Bisikan Leluhur

|Ferry Arbania|
Achmad Fauzi Wongsojudo saat menunaikan ibadah haji/Istimewa.


Di bawah kubah Pendopo Keraton Sumenep, yang usianya menua bersama hembusan angin sejarah, terhampar sebuah kisah. Bukan sekadar pengumuman beasiswa atau bantuan keuangan, melainkan sebuah penyingkapan jiwa, sebuah pengakuan yang terucap dari bibir seorang pemimpin: Bupati Achmad Fauzi Wongsojudo. Nama itu, yang kini mengalir di belakang Achmad Fauzi, bukan sekadar tinta baru di lembaran identitas, melainkan sebuah jejak yang kembali menemukan jalan pulang.

I. 

Wongsojudo. Apakah ia gema dari masa lalu yang tersembunyi, Sebuah bisikan dari horison yang tak pernah padam? Bukan sekadar aksara yang ditambahkan, Bukan pula topeng gaya di panggung kekuasaan. Ia adalah darah yang mengalir, Sebuah akar yang kini menembus kembali permukaan, Menyebut nama yang pernah sunyi dalam pengenalan publik. Slamet Wongsojudo. Ayah.

Bupati Fauzi berdiri tegak, sorot matanya menembus kerumunan, seolah mencari setiap benang keraguan. "Mungkin orang bingung, kenapa ada nama Wongsojudo di belakang nama saya," ucapnya, suaranya mengandung kejujuran yang menenangkan. "Bukan semata-mata karena gaya, tapi nama itu adalah nama belakang orang tua saya, yaitu Slamet Wongsojudo." Kalimat itu mengalir, membuka tirai misteri, menyingkap lapis-lapis kerinduan yang mendalam.

Achmad Fauzi Wongsojudo saat menunaikan ibadah haji/Istimewa.


II. 

Ada sebuah perjalanan. Bukan hanya melintasi samudra dan benua, Tetapi juga menembus samudra kerinduan di kalbu. Di tanah suci, di antara gemuruh takbir dan lautan manusia yang menyatu, Di sanalah, di puncak epifani, sebuah kesadaran memuncak. Di Mekkah, di hadapan Ka'bah yang agung, Sebuah nama tak terucap berbisik dari kedalaman jiwa. Ia bukan suara asing, melainkan gema dari asal-muasal, Peta yang terlipat kini terbuka, menunjukkan jalan pulang.

Pulang dari ziarah jiwa itu, tak ada lagi keraguan. Keputusan itu telah mengkristal di lubuk hati. "Pulang dari haji langsung saya mengubah nama saya dengan menambahkan Wongsojudo," paparnya, seolah menceritakan sebuah takdir yang harus dipenuhi. Sebuah sumpah batin yang diteguhkan di hadapan Yang Maha Kuasa, kini menjelma menjadi tindakan nyata.


Achmad Fauzi Wongsojudo saat mengunjungi masyarakat kurang mampu/Istimewa.


III.

Maka, sebuah lingkaran pun tertutup. Para sesepuh, yang dulu hanya mengenal Achmad Fauzi, Kini mendapati sebuah kepingan puzzle yang hilang. "Oh, jadi ini anak Slamet Wongsojudo?" Senyum tersungging, mata berbinar, sebuah pengenalan yang mendalam. Nama itu, Wongsojudo, menjadi jembatan, Menghubungkan masa kini dengan memori-memori yang berharga, Mengikat erat benang silsilah yang mungkin terlupa, Mengukuhkan sebuah warisan, bukan hanya nama, Tetapi sebuah jati diri.

Kini, Achmad Fauzi Wongsojudo melangkah. Bukan dengan beban masa lalu, melainkan dengan kekuatan akar yang baru ditemukan kembali. Nama itu bukan sekadar penanda identitas, melainkan sebuah puisi kehidupan yang terus ditulis, sebuah ikrar untuk membawa nilai-nilai leluhur dalam setiap langkah kepemimpinan. Di antara hiruk pikuk pembangunan dan harapan rakyat, terselip sebuah kisah personal yang menyentuh, tentang bagaimana sebuah perjalanan spiritual bisa mengembalikan kita pada esensi diri, pada nama yang memanggil pulang dari horison yang tak berujung.

Bupati Achmad Fauzi Wongsojudo bersama istri tercinta Nia Kurnia/Istimewa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

اَللّٰهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ وَ عَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَ زِدْنِيْ عِلْمًا

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Jurnal Pesantren

Sahabat Indonesia

Ruang Diskusi