Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Saya. Mohon Maaf Jika Ada Kesalahan, baik dalam penuisan maupun kutipan, dll. Saran dan Koreksi silahkan kirim ke email saya: ferry.arbania@gmail.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Kamis, Juli 10, 2025

Samudra Rasa dan Tiang Ruh: D. Zawawi Imron Mengurai Pancasila sebagai Jantung Iman

|Oleh: Ferry Arbania|

KH. D.Zawawi Imron, Budayawan Nasional asal Sumenep Madura bersama Ferry Arbania [Penulis]





Di jantung Tegalboto, di kubah ilmu Universitas Jember, bersemayamlah sebuah orasi yang melampaui batas waktu dan ruang. Pada 20 Juni, dalam semarak Bulan Pancasila, bukan sekadar seorang penyair yang berdiri di podium Gedung Soedjarwo, melainkan seorang penjaga mercusuar kearifan: KH. D. Zawawi Imron. Sang 'Celurit Emas' dari Sumenep, Madura, dengan usia yang telah mengukir delapan dasawarsa di wajahnya, membentangkan untaian hikmah, merajut simpul kebudayaan lokal dengan Pancasila, khusus untuk denyut nadi masa depan: kaum milenial.

Orasi itu, sebuah ziarah pemikiran, dimulai dengan alunan penjelasan tentang nilai-nilai yang senantiasa menjadi nadi kemanusiaan universal. Tak peduli di mana bumi dipijak, ras apa yang mengalir dalam darah, suku apa yang membentuk identitas, atau bahasa apa yang menjadi jembatan komunikasi—nilai-nilai seperti keadilan yang tak berpihak, keadaban yang mengindahkan laku, sopan santun yang memanusiakan sesama, welas asih yang merangkul luka, dan kepedulian yang tak berjarak, adalah mata air purba yang mengairi jiwa. Sang Kiai, dengan kebijaksanaan yang mengalir dari pengalaman dan refleksi mendalam, menegaskan bahwa nilai-nilai ini adalah kompas abadi bagi setiap insan. Ia lantas menitahkan kepada mahasiswa, pelita-pelita milenial, agar menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sandaran dalam mengarungi laju kehidupan yang serba cepat ini.

Dan dari rahim Jawa, sang Kiai membentangkan sebuah mutiara lisan yang menembus zaman: dadio wong sing iso rumongso, ojo dadi wong sing rumongso iso. Jadilah pribadi yang bisa merasa, yang peka terhadap diri dan semesta; bukan merasa bisa, yang kerap berujung pada arogansi dan keangkuhan. Sebuah diktum yang menukik, melampaui sekat suku, menyentuh inti adab Islami: tawadhu', kerendahan hati di hadapan kebesaran Ilahi dan sesama manusia. Prinsip ini, yang diwariskan oleh Sunan Drajat—salah satu Wali Songo, para penyebar cahaya Islam di Nusantara—adalah jembatan kebijaksanaan yang relevan bagi setiap jiwa, di mana pun ia berada. Dengan berpegang pada prinsip ini, kaum milenial Indonesia akan senantiasa membumi, meski cakrawala cita-cita mereka setinggi langit. Ia adalah penawar ego, tali pemersatu yang merangkai mozaik Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya.

Penyair yang puisinya, "Bulan Tertusuk Ilalang," menggetarkan kalbu, melanjutkan orasi dengan menyingkap bahwa kebaikan universal ini terhampar di setiap jengkal budaya di Indonesia. Ia lantas menyelami kearifan Bugis dalam memilih pemimpin, sebuah pesan yang menggemakan prinsip amanah dan hikmah dalam kepemimpinan. "Sebaik apapun kapalnya, sekuat apapun pendayungnya jika nahkoda tak piawai buat apa menumpang kapalnya?" sebuah metafora tajam tentang esensi seorang pemimpin: bukan hanya tentang kekuatan dan fasilitas, melainkan tentang kearifan dan rekam jejak yang teruji.

Maka, pesan-pesan KH D. Zawawi Imron kepada kaum milenial adalah sebuah seruan untuk kembali ke sumur kearifan. "Sebelum kaum milenial Indonesia menengok nilai dan ajaran lain, gali dulu nilai-nilai asli Indonesia." Dan pengikat seluruh permata kearifan lokal itu adalah Pancasila, sebuah sari pati kebudayaan Indonesia, sebuah konsensus spiritual dan kebangsaan. Renungkanlah, ia berujar, tiap hari kita makan dan minum dari bumi Indonesia, bernafas di udara Indonesia, dan nanti dimakamkan di bumi Indonesia. Maka benar adanya sabda Nabi: hubbul wathon minal iman—cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kedua, adalah tentang bahasa, cermin jiwa dan mata air adab. "Biasakan berbahasa yang santun, baik dan benar. Sebab bahasa yang buruk akan menjadikan budaya buruk pula." Dan ketiga, sebuah panggilan untuk aksi: mau belajar dan bekerja keras, mengukir cita-cita dengan keringat dan doa.

Penyair KH D Zawawi Imron menyampaikan orasi kebudayaan i kampus Universitas Jember (20 20 Juni 2023(dok.. Unej.ac.id)


Orasi yang dibuka oleh Rektor Universitas Jember, Iwan Taruna, ini memang lebih dari sekadar ceramah. Sang Rektor bersyukur atas kehadiran begawan kebudayaan ini, yang membawa inspirasi bagi estafet kepemimpinan bangsa. Nilai-nilai dan kearifan lokal, diakui Rektor, adalah modal pembangunan sekaligus potensi pertengkaran jika tak memiliki dasar pemersatu. Dan pemersatu itu adalah Pancasila. Maka, mengembangkan cara-cara kekinian agar Pancasila merasuk ke hati dan pikiran milenial, seperti dialog budaya ini, adalah sebuah keniscayaan.

Selama dua jam, sang penyair tak menunjukkan surut energi. Dengan usia 80 tahun, ia tetap gayeng, sesekali berpantun, bahkan bernyanyi, memukau hadirin dengan karisma yang tak tergantikan. Orasi kebudayaan itu berpuncak pada pembacaan puisi "Ibu" karya KH. D. Zawawi Imron sendiri, yang menghadirkan nuansa hening nan syahdu, seolah seluruh alam semesta ikut menunduk, menghayati setiap kata. Sebuah penutup yang sempurna, mengukuhkan bahwa kearifan, sebagaimana iman, tak pernah lekang oleh waktu, dan akan selalu menemukan jalannya untuk mengalir ke jiwa-jiwa yang haus akan makna. [*]

Karay, Dhalem Temor, Kamis 10 Juli 2025

Catatan Penulis: Tulisan ini terinspirasi oleh orasi KH D. Zawawi Imron memberikan orasi kebudayaan di kampus Universitas Jember (20/6/2023) yang terbit disitus resmi unej.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

اَللّٰهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ وَ عَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَ زِدْنِيْ عِلْمًا

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Jurnal Pesantren

Sahabat Indonesia

Ruang Diskusi