Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Saya. Mohon Maaf Jika Ada Kesalahan, baik dalam penuisan maupun kutipan, dll. Saran dan Koreksi silahkan kirim ke email saya: ferry.arbania@gmail.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Jumat, Juli 11, 2025

Dakwah Digital: Keniscayaan Era Kiai dan Ibu Nyai di Ranah Medsos

|Ferry Arbania|


Era digital telah merentangkan jangkauan komunikasi hingga ke setiap sudut ruang publik, meresapi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, media sosial (medsos) tak lagi sekadar platform interaksi personal, melainkan sebuah medan dakwah yang strategis. 


Oleh karena itu, penting bagi kiai dan ibu nyai, sebagai pilar sentral pesantren dan panutan umat, untuk tidak hanya memahami tetapi juga menguasai ranah ini demi optimalisasi dakwah Islam. Ini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keniscayaan filosofis dalam konteks dakwah kontemporer.




Filosofi Dakwah dalam Arus Digital: Menguasai Ruang, Menjaga Moderasi

K.H. Sholahuddin Muhsin Ali, Pengasuh Pesantren Al-Mustaqim Bugel-Kedung-Jepara, dengan tajam menyoroti urgensi ini. Ia menegaskan bahwa penguasaan medsos oleh kiai dan ibu nyai adalah langkah fundamental untuk memperluas dakwah digital dan, yang tak kalah krusial, merebut kembali ruang publik dari cengkeraman radikalisme


Filosofi dakwah dalam Islam senantiasa menekankan pentingnya hikmah (kebijaksanaan) dan mau'izhah hasanah (nasihat yang baik) dalam menyampaikan pesan kebenaran. Dalam lanskap digital, prinsip ini menuntut adaptasi. Jika ruang-ruang virtual dibiarkan kosong, atau hanya diisi oleh narasi-narasi ekstrem, maka potensi penyebaran pemahaman Islam yang moderat dan damai akan tergerus.



Dakwah damai, sebagaimana dicontohkan oleh tokoh-tokoh seperti Ning Ienas Tsuroiya, Gus Ulil, dan Gus Baha yang sukses berdakwah di dunia digital, adalah antitesis dari radikalisme. Kehadiran kiai dan ibu nyai di medsos menjadi benteng kultural yang menyajikan alternatif narasi, menegaskan kembali nilai-nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ini adalah upaya amar ma'ruf nahi munkar yang bertransformasi, menjangkau audiens yang sebelumnya mungkin sulit disentuh melalui metode konvensional.




Mengatasi Resistensi dan Membangun Kesadaran Berdakwah Digital

Tantangan utama yang dihadapi oleh kiai dan ibu nyai dalam merambah dunia digital sering kali berakar pada budaya lama dan kekhawatiran yang bersifat internal. Nyai Azzah Nor Laila, Pengasuh Pesantren Al-Lubab Jepara, dengan jeli mengidentifikasi adanya anggapan seperti "belum pantas" atau "khawatir riya" (pamer) saat berdakwah melalui medsos.


Dalam perspektif filsafat dakwah Islam, niat adalah inti dari setiap amal. Selama niatnya murni untuk menyebarkan kebaikan dan ilmu Allah, kekhawatiran akan riya seharusnya dapat diatasi dengan penyucian hati (tazkiyatun nafs). Adapun kerendahan hati (tawadhu’) adalah sifat mulia, namun dalam konteks dakwah, ia harus beriringan dengan kesadaran strategis. Jika tawadhu’ justru menghalangi penyebaran kebenaran di tengah lautan informasi digital, maka perlu ada peninjauan ulang terhadap implementasinya.



Kekhawatiran akan "minimnya pengikut atau penyimak" juga merupakan rintangan psikologis. Gus Sholah menegaskan bahwa istiqamah (konsistensi) adalah kunci. Kehadiran yang terus-menerus dan berkualitas, bahkan jika audiensnya kecil pada awalnya, akan membuahkan hasil dalam jangka panjang. Sebagaimana biji yang ditanam, ia butuh waktu untuk tumbuh dan berbuah.




Literasi Digital dan Strategi Dakwah Kontemporer




Minimnya literasi digital di kalangan kiai dan ibu nyai juga menjadi pekerjaan rumah. Ning Azzah menekankan perlunya inisiatif untuk mengenalkan literasi dakwah di medsos melalui forum-forum. Ini bukan hanya tentang penguasaan teknis, tetapi juga pemahaman tentang strategi konten digital.


Dakwah di medsos menuntut pemahaman akan minat dan kecenderungan audiens. Pesan harus dikemas secara menarik, relevan, dan mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Ini adalah bentuk fardhu kifayah baru dalam dakwah, di mana sebagian komunitas harus mampu menguasai medan ini agar pesan Islam yang wasathiyah (moderat) dapat tersampaikan secara efektif.

Selain itu, keterlibatan kiai dan ibu nyai dalam teknologi juga harus diikuti oleh melek teknologi di kalangan santri. Santri dapat menjadi duta dakwah digital, membantu menyebarkan pesan-pesan kiai dan ibu nyai, sekaligus menjadi garda terdepan dalam menghadapi tantangan di ruang siber.




Secara filosofis, berdakwah di medsos adalah implementasi dari prinsip "utlubul ilma walau bisshin" (tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina) yang dalam konteks modern berarti "tuntutlah dakwah hingga ke setiap platform digital." 


Ini adalah jembatan antara tradisi dan modernitas, sebuah upaya berkelanjutan untuk memastikan cahaya Islam yang damai dan mencerahkan tetap bersinar di tengah gemuruh informasi dunia maya.

Bagaimana menurut Anda, tantangan terbesar apa yang dihadapi para kiai dan ibu nyai dalam menguasai ranah dakwah digital ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

اَللّٰهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ وَ عَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَ زِدْنِيْ عِلْمًا

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Jurnal Pesantren

Sahabat Indonesia

Ruang Diskusi