Terimakasih Sudah Mengunjungi Blog Saya. Mohon Maaf Jika Ada Kesalahan, baik dalam penuisan maupun kutipan, dll. Saran dan Koreksi silahkan kirim ke email saya: ferry.arbania@gmail.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Jumat, Juli 11, 2025

Jibril, Kalam, dan Kembara Cahaya: Risalah Wahyu di Samudra Digital

|Ferry Arbania|


Dalam kosmologi Islam, peran Malaikat Jibril adalah sentral dan fundamental. Ia bukan sekadar utusan, melainkan sang pembawa wahyu, jembatan suci antara Lauhul Mahfuzh (Lembaran Terpelihara) dan hati para nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Fungsi Jibril ini melampaui sekadar penyampaian informasi; ia adalah perwujudan langsung dari kehendak Ilahi, penjamin otentisitas firman Allah, dan penata risalah kenabian. Mengkaji perannya dalam perspektif filsafat Islam dan Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), kita dapat menarik korelasi mendalam dengan dinamika penyampaian informasi di era digital kontemporer.


Jibril: Arsitek Komunikasi Ilahi dalam Pandangan Aswaja

Menurut pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah, Malaikat Jibril adalah salah satu makhluk ciptaan Allah yang paling agung, ditugaskan secara spesifik untuk menyampaikan wahyu (kalamullah) kepada para nabi dan rasul. Ini bukan tugas yang bisa digantikan oleh siapa pun atau apa pun. Keberadaan Jibril sebagai perantara memastikan bahwa wahyu yang diterima oleh Nabi adalah murni, tanpa intervensi, distorsi, atau kesalahan dari pihak mana pun.

Secara ilmiah-filosofis, peran Jibril dapat dipahami sebagai "saluran" atau "protokol" komunikasi yang sempurna dari Dzat Yang Maha Mutlak kepada ciptaan-Nya. Dalam akidah Aswaja, keyakinan terhadap malaikat, termasuk Jibril, adalah rukun iman kedua. Ini bukan sekadar keyakinan buta, melainkan pemahaman bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum Ilahi yang melibatkan peran entitas-entitas gaib dalam tatanan kosmik. Jibril mewakili manifestasi kekuasaan Allah dalam mengelola informasi suci dari alam malakut ke alam nasut.

Penyampaian wahyu oleh Jibril melibatkan berbagai bentuk, mulai dari suara gemerincing lonceng yang sangat kuat hingga penampakan diri dalam wujud manusia. Ini menunjukkan fleksibilitas dan keagungan dalam metode penyampaian yang disesuaikan dengan kapasitas penerima, yaitu Nabi Muhammad SAW. Konsistensi dan kebenaran wahyu yang dibawa Jibril selama 23 tahun masa kenabian adalah bukti kemurnian risalah.


Era Digital: Ketika Informasi Bertebaran, Lantas Dimana Wahyu Ilahi?

Memasuki era digital, kita menyaksikan ledakan informasi yang tak terbayangkan. Media sosial, platform berita daring, dan berbagai aplikasi komunikasi telah menciptakan "ruang publik" global di mana informasi dapat menyebar dalam hitungan detik, dari segala penjuru. Fenomena ini, jika direfleksikan dengan peran Jibril, menghadirkan beberapa pandangan dan tantangan:

  1. Kecepatan vs. Otentisitas: Di satu sisi, kecepatan penyampaian informasi di era digital seolah mereplikasi "kecepatan cahaya" Jibril dalam membawa wahyu. Namun, di sisi lain, tantangan terbesar adalah otentisitas dan validitas informasi. Berbeda dengan wahyu yang dijamin kemurniannya oleh Jibril, informasi digital seringkali tercemar hoaks, disinformasi, dan interpretasi yang bias. Dalam filsafat Islam, ini menuntut umat untuk mengedepankan tabayyun (klarifikasi) dan tashawwur (pemahaman yang benar) sebelum menerima dan menyebarkan informasi.

  2. Jangkauan vs. Kedalaman: Informasi digital memiliki jangkauan yang sangat luas, memungkinkan dakwah digital menjangkau miliaran manusia. Ini mirip dengan fungsi wahyu yang universal. Namun, wahyu yang dibawa Jibril tidak hanya luas jangkauannya, tetapi juga memiliki kedalaman makna dan kekuatan transformatif yang mampu mengubah individu dan peradaban. Tantangan dakwah digital adalah bagaimana mempertahankan kedalaman dan kualitas pesan Islam di tengah banjir informasi yang serba instan dan cenderung dangkal.

  3. Sumber Otoritas di Tengah Disrupsi: Di masa lalu, sumber informasi keagamaan utama adalah ulama yang berpegang pada sanad ilmu yang jelas, yang terhubung pada rantai transmisi yang dijamin (seperti mata rantai Jibril ke Nabi, Nabi ke sahabat, dst.). Di era digital, setiap orang bisa menjadi "penyampai informasi keagamaan," tanpa sanad atau otoritas yang jelas. Ini menciptakan tantangan besar bagi Aswaja dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan membimbing umat agar tidak tersesat oleh informasi yang salah. Peran kiai dan ulama Aswaja kini harus bertransformasi menjadi penjaga otentisitas dan pemandu di tengah riuhnya informasi, serupa dengan fungsi Jibril sebagai penjamin wahyu.

  4. Urgensi Dakwah Digital yang Autentik: Mengingat penyebaran pemahaman yang keliru, bahkan radikal, di ruang digital, kehadiran kiai dan ulama Aswaja menjadi krusial. Mereka adalah "Jibril" di era ini, dalam arti pembawa pesan kebenaran yang terverifikasi dan otentik kepada masyarakat luas melalui platform digital. Mereka harus mampu mengemas hikmah dan nasihat secara menarik, relevan, dan mudah diakses, tanpa mengorbankan kedalaman ilmu dan kemurnian ajaran.


Kesimpulan

Peran Malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu adalah model sempurna dari komunikasi Ilahi yang otentik, murni, dan transformatif. Di era digital yang dipenuhi dengan informasi dari segala penjuru, refleksi atas peran Jibril mendorong umat Islam, khususnya para ulama dan dai, untuk:

  • Menjaga otentisitas informasi keagamaan yang disampaikan.

  • Memastikan kedalaman makna dalam setiap pesan dakwah, tidak terjebak pada sensasi semata.

  • Mengembangkan metode penyampaian yang efektif dan relevan dengan kebutuhan audiens digital, sebagaimana Jibril berinteraksi dengan Nabi dalam berbagai bentuk.

  • Menjadi filter dan pemandu bagi umat di tengah banjir informasi, agar tetap berada di jalur shiratal mustaqim (jalan yang lurus) sesuai ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah.

Jibril adalah simbol dari kebenaran yang tak tergoyahkan. Di era digital, kita dituntut untuk menghadirkan kembali semangat itu dalam setiap informasi yang kita sampaikan, menjadikan teknologi sebagai sarana untuk menyebarkan cahaya Ilahi, bukan sebaliknya. [*]

Bagaimana menurut Anda, apakah ada tantangan lain dalam dakwah digital yang dapat kita pelajari dari fungsi Jibril sebagai penyampai wahyu?



Sumber Dalil Primer:

  1. Al-Qur'an al-Karim:

    • QS. Al-Baqarah (2): 97: Ayat ini secara eksplisit menyebutkan peran Jibril dalam menurunkan Al-Qur'an ke hati Nabi Muhammad SAW.

      قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيْلَ فَاِنَّهٗ نَزَّلَهٗ عَلٰى قَلْبِكَ بِاِذْنِ اللّٰهِ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَّبُشْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ "Katakanlah (Muhammad), barang siapa menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah) dialah yang telah menurunkan (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan izin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya, dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman."

    • QS. An-Najm (53): 4-5: Menggambarkan bahwa apa yang disampaikan Nabi bukanlah hawa nafsu melainkan wahyu yang diajarkan oleh (Jibril) yang sangat kuat.

      اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ عَلَّمَهٗ شَدِيْدُ الْقُوٰىۙ "Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat."

    • QS. Al-Alaq (96): 1, 4-5: Ayat pertama yang diturunkan, "Iqra'" (Bacalah), dengan penyebutan pena (al-Qalam) sebagai alat pengajaran.

      اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ (١) الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ (٤) عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ (٥) "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."

  2. Hadits Nabi Muhammad SAW:

    • Hadits Jibril (Hadits Iman, Islam, Ihsan): Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab RA, hadits ini menjelaskan tentang datangnya Jibril dalam wujud manusia untuk menguji Nabi dan para sahabat tentang rukun Islam, iman, dan ihsan. Ini menegaskan keberadaan dan interaksi Jibril dengan manusia dan peran fundamentalnya dalam pengajaran agama.

    • Hadits tentang "Ikatan Ilmu": (الْقَيْدُ مَا كَتَبْتَهُ) Hadits ini menekankan pentingnya mencatat ilmu agar tidak hilang, yang relevan dengan upaya pelestarian dan penyebaran ilmu di era digital. Meskipun sering disebut sebagai hadits, statusnya terkadang diperdebatkan di kalangan muhadditsin; namun maknanya sejalan dengan prinsip umum dalam Islam.


Kitab Rujukan untuk Filsafat Islam dan Aswaja

  1. Kitab-kitab Tafsir Al-Qur'an:

    • Tafsir Ibnu Katsir: Memberikan penjelasan klasik tentang ayat-ayat Al-Qur'an, termasuk yang berkaitan dengan Jibril dan wahyu.

    • Tafsir Al-Jalalain: Tafsir ringkas yang populer di kalangan pesantren, memberikan pemahaman dasar tentang makna ayat.

    • Tafsir Al-Misbah (M. Quraish Shihab): Menawarkan penafsiran kontemporer yang relevan dengan konteks modern, termasuk aspek-aspek komunikasi dan informasi.

  2. Kitab-kitab Akidah/Tauhid Ahlussunnah wal Jama'ah:

    • Aqidatul Awam: Kitab dasar akidah yang menjelaskan tentang rukun iman, termasuk iman kepada malaikat, dan sifat-sifat Allah.

    • Matan Sanusiyah (Umm al-Barahin): Salah satu matan akidah klasik yang menjelaskan sifat-sifat Allah dan para rasul, serta hal-hal gaib seperti malaikat.

    • Kitab-kitab karya ulama-ulama kontemporer Aswaja: Yang membahas tantangan modern dan relevansi ajaran Aswaja di era digital, meskipun tidak selalu menyebut Jibril secara langsung dalam konteks digital, namun prinsip-prinsip komunikasi dan penyebaran dakwahnya sangat relevan.

  3. Kitab-kitab Ulumul Qur'an dan Ulumul Hadits:

    • Membahas metodologi penurunan wahyu, cara Nabi menerima wahyu, dan proses pembukuan Al-Qur'an dan Hadits, yang semuanya melibatkan peran Jibril.

  4. Karya-karya Filsafat Islam:

    • Meskipun tidak secara spesifik membahas Jibril dalam konteks digital, konsep epistemologi Islam (teori pengetahuan) dan metafisika yang dibahas oleh para filosof Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Ghazali, dapat memberikan kerangka filosofis untuk memahami bagaimana pengetahuan Ilahi diturunkan dan dipahami oleh manusia, yang kemudian dapat dikorelasikan dengan dinamika informasi saat ini.


Rujukan-rujukan ini menjadi fondasi teologis dan filosofis untuk membangun argumen tentang peran Jibril dan implikasinya dalam konteks dakwah di era digital, memastikan tulisan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ilmiah, Islami, filosofis, dan pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

اَللّٰهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ وَ عَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَ زِدْنِيْ عِلْمًا

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Jurnal Pesantren

Sahabat Indonesia

Ruang Diskusi