![]() |
Ist. Saat Cak Imin menghadiri Haul Akbar Masyayikh Ploso Kediri [X- @cakimiNOW |
Aula megah tempat Pengukuhan Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) riuh rendah. Bukan semata karena gegap gempita seremoni, melainkan karena disrupsi kognitif yang disuntikkan oleh Prof. Dr. (HC) Drs. H. Abdul Muhaimin Iskandar, M.Si., atau yang akrab kita sapa Cak Imin, selaku Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat. Dalam orasi ilmiah-kelakar beliau, ada satu variabel independen yang menjadi pusat observasi: sosok Nusron Wahid.
Cak Imin, dengan intonasi yang memadukan khotbah jumatan dan stand-up comedy khas santri, memulai analisisnya. "Kepada seluruh kader-kader PMII, yang memiliki resiliensi tinggi terhadap berbagai stresor eksternal, contohnya seperti Nusron. Mana Nusron? Tidak hadir dalam forum ini? Sungguh, motivasi intrinsik saya untuk hadir kadang-kadang termotivasi juga oleh stimulus 'Nusron' ini. Makhluk paling anomali dalam ekosistem PMII, ya Nusron Wahid," ujar Cak Imin, seraya menciptakan ruang hipotesis di benak audiens.
Nusron: Arsitek Ide yang Tak Terprediksi
Menurut Cak Imin, arsitektur kognitif seorang Nusron Wahid ini memang sulit untuk di-profiling. Pemikirannya bak grafik fluktuatif yang defies conventional wisdom. "Jadi, mumpung tidak ada objek observasinya ini," kelakar Cak Imin, memanfaatkan celah metodologis. "Nusron Wahid kita anugerahi gelar, teladan sepanjang zaman."
Sebuah gelar yang, jika ditelaah secara epistemologis, cukup kontradiktif. "Mengapa? Konsepualisasinya ada-ada saja. Proposisinya ada-ada saja. Meskipun," Cak Imin sempat terdiam, menciptakan efek dramatis yang disukai audiensnya, "seringkali mengalami deviasi dari expected outcome, hihihi."
Ia melanjutkan dengan gestur tangan yang menunjukkan magnitude ide. "Jadi, ide awalnya sekian (menunjukkan ukuran tangan kecil), realisasinya sekian (menunjukkan ukuran tangan yang lebih kecil lagi). Itu Nusron! Sebuah anomali produktivitas yang luar biasa!" Pernyataan ini sontak memicu gelak tawa, menandakan validitas ekologis dari observasi Cak Imin.
Jejak Nusron dalam Jaringan Ulama dan Habib: Studi Kasus Interaksi Sosial
![]() |
Tak hanya di ranah inovasi ideologi, Nusron Wahid juga diakui memiliki kapasitas interaksi sosial yang unik. Cak Imin mengapresiasi strategi diplomasi Nusron dalam membangun jaringan komunikasi vertikal dengan para ulama dan habaib.
"Makanya, spirit saya ini, kalau berinteraksi dengan Nusron, jadi membuncah. Sekarang, Nusron ini satu-satunya tokoh NU yang paling ekstensif dalam berjejaring dengan para Habaib. Iya toh? Wong Pak Prabowo saja masih ragu-ragu dalam mendekat ke Habaib. Nusron justru semakin intens dalam diskursus keagamaan dengan para Habaib sekarang. Itu sebuah fenomena sosiologis yang luar biasa!" ungkap Cak Imin dengan nada kagum yang tetap diselingi jenaka.
Puncaknya, Cak Imin menyoroti kemampuan retoris-daliliah Nusron yang tak terduga. "Terus, para kiai itu sudah tidak begitu banyak melafalkan dalil secara eksplisit, Nusron justru kini sedang dalam fase sublimasi dalil secara terus-menerus. Jika sudah Nusron yang ber-dalil, nah kita tunggu saja konsekuensi logis apa yang akan terjadi. Ini membuktikan kapasitas adaptif kader PMII di situ!" pungkas Cak Imin, mengakhiri "kajian ilmiah"-nya dengan sebuah paradoks yang mengundang tawa sekaligus pemikiran.
Dari kelakar Cak Imin, kita bisa menangkap bahwa Nusron Wahid bukanlah sekadar kader biasa. Ia adalah objek riset yang menarik, sebuah laboratorium berjalan yang terus-menerus menghasilkan data-data unik mengenai dinamika kaderisasi dan interaksi intelektual di tubuh PMII dan Nahdlatul Ulama. Anomali yang membanggakan, barangkali? Hanya waktu dan penelitian lebih lanjut yang bisa membuktikannya.