![]() |
Ilustrasi/asisten ai ferry arbania |
Dalam simfoni zaman yang berputar, kita kerap menyaksikan narasi peradaban berliku, dari puncak kemegahan menuju lembah kemunduran, dan kembali menanjak. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, dalam risalahnya yang terbit di situs resmi UIN Malang pada 2015, menyuarakan sebuah gema yang menggugah, sebuah seruan dari kedalaman nurani kolektif umat Islam: "Pendidikan Islam Seharusnya Menjadi Pintu Keluar Dari Ketertinggalan." Sebuah adagium yang, jika diselami, menyimpan kearifan yang setara dengan bisikan para filsuf Yunani dan lantunan syair Persia kuno.
Di Timur, dalam gema kejayaan Dinasti Abbasiyah, Baghdad pernah menjadi Baitul Hikmah, mercusuar ilmu yang menerangi dunia. Para cendekiawan Muslim, laksana para murid Plato di Akademi Athena, mendalami filsafat, matematika, kedokteran, dan astronomi. Ibn Sina, sang pangeran para dokter, dengan 'Canon of Medicine'-nya, memberikan landasan bagi ilmu kedokteran Barat. Al-Khwarizmi, dengan algoritma dan aljabar, membuka cakrawala perhitungan yang tak terhingga. Namun, layaknya kisah tragis dalam epik Homer, kejayaan itu perlahan memudar, meninggalkan umat Islam dalam sebuah ketertinggalan yang merayap.
Ketertinggalan ini, sebagaimana disorot Prof. Imam Suprayogo, bukanlah sekadar anomali sesaat, melainkan sebuah realitas pahit yang merengkuh berbagai dimensi kehidupan: ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, sosial, bahkan pertahanan. Sebuah kondisi yang, dalam narasi Shahnama karya Ferdowsi, dapat diibaratkan sebagai pahlawan yang kehilangan pedangnya, terperangkap dalam kepungan musuh yang tak terlihat. Mereka yang seharusnya memimpin barisan terdepan, kini justru terdampar di barisan belakang, menjadi bulan-bulanan takdir yang kejam. Namun, adalah kekeliruan fatal untuk menimpakan kesalahan pada pihak lain semata. Sebagaimana ajaran stoicisme Seneca, kemalangan yang menimpa sejatinya adalah konsekuensi dari kelemahan internal. Kekuatan adalah tameng terampuh; tanpa itu, siapa pun akan mudah dipermainkan.
Pendidikan sebagai Fondasi Kebangkitan: Sebuah Ode untuk Perubahan
Maka, jalan keluar dari labirin ketertinggalan ini, seru Prof. Imam Suprayogo, tak lain adalah pendidikan. Layaknya renaisans di Eropa yang bangkit dari kegelapan Abad Pertengahan melalui kebangkitan ilmu pengetahuan, umat Islam harus menata ulang fondasi pendidikannya. Jika dahulu, keilmuan Islam berkembang pesat berkat sintesis antara warisan Yunani dan kearifan Al-Qur'an, kini saatnya mereformulasi pendidikan agar mampu melahirkan insan-insan yang cakap bersaing di panggung global. Ini bukan sekadar tentang menghafal teks-teks lama, melainkan tentang membangun kecerdasan yang adaptif, inovatif, dan berdaya saing. Sebagaimana ditekankan dalam ajaran Al-Qur'an, manusia dianugerahi akal dan indra yang tajam untuk memahami alam raya dan memanfaatkannya.
Mengabaikan ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini adalah sebentuk kebutaan yang, dalam alegori Dante Alighieri, akan menyeret kita ke lingkaran terdalam neraka ketertinggalan. Imbasnya tak hanya terbatas pada ranah akademis, melainkan merembet ke ekonomi, sosial, bahkan pertahanan dan keamanan. Keterbatasan lapangan pekerjaan, misalnya, yang kini menghantui banyak negara Islam, berakar pada kelemahan di bidang ini. Sebuah ironi yang pahit, ketika para pemuka agama mungkin menganggap remeh kemampuan ini, namun dampaknya begitu fatal, merenggut martabat dan kesejahteraan umat.
Harmoni Baru: Memadukan Tradisi dan Inovasi
Prof. Imam Suprayogo dengan jeli mengidentifikasi bahwa semangat masyarakat untuk mengembangkan pendidikan Islam, terutama di Indonesia, telah membara. Banyak pesantren dan madrasah, bahkan perguruan tinggi, berdiri tegak atas inisiatif umat sendiri.
Sebuah pemandangan yang mengingatkan kita pada upaya keras para biarawan di Eropa yang melestarikan ilmu pengetahuan di biara-biara mereka. Namun, pertanyaan krusialnya: apakah pendidikan ini telah mampu menjawab tantangan zaman? Apakah lulusannya tak lagi sekadar menjadi bagian dari angka pengangguran, meski telah menyandang gelar akademik dan ijazah?
Inilah titik di mana sebuah reformulasi fundamental diperlukan. Sistem pondok pesantren, dengan segala kelebihannya dalam menanamkan motivasi dan pengamalan ilmu, adalah sebuah harta karun. Para santri, yang belajar dengan ketulusan di bawah bimbingan para kiai yang ikhlas, seolah-olah mengulang praktik para murid di Lyceum Aristoteles, yang belajar sambil berdialog dan mengamalkan. Namun, ada kalanya, pandangan terhadap Islam perlu diperluas. Belajar Islam tidak hanya terbatas pada mengkaji kitab-kitab lama, melainkan juga harus mencakup pemahaman mendalam tentang alam semesta dan pemanfaatannya untuk kemaslahatan umat.
Generasi muda Islam di pesantren harus diajak untuk menginternalisasi ajaran Al-Qur'an secara holistik: menjadi insan yang cerdas, memiliki mata dan telinga yang tajam dalam mengamati realitas, berhati lembut dalam berinteraksi, dan berani berjuang di medan kehidupan. Ini adalah sebuah panggilan untuk rekonseptualisasi, sebuah sintesis antara kearifan tradisi dan tuntutan modernitas. Manakala ajaran Al-Qur'an menjadi inspirasi untuk perubahan dan perbaikan melalui pendidikan, maka takdir umat Islam tidak akan lagi terbelenggu dalam ketertinggalan dan tumpukan masalah.
Kesadaran akan urgensi ini memang telah muncul di beberapa tempat, dan semangat perubahan pun telah ditindaklanjuti. Namun, gerakannya masih belum cukup cepat, belum bersifat massal. Sebagaimana seruan dalam puisi-puisi sufi Rumi, kebangkitan harus terjadi secara serentak, dari sanubari setiap individu hingga menyapu seluruh penjuru.
Pada akhirnya, pendidikan Islam bukanlah sekadar deretan kurikulum atau gedung-gedung megah. Ia adalah sebuah pintu keluar, sebuah gerbang menuju pencerahan, sebuah jembatan yang menghubungkan masa lalu yang gemilang dengan masa depan yang menjanjikan. Melaluinya, umat Islam dapat kembali mengambil tempat yang seharusnya, memimpin dengan ilmu, kebijaksanaan, dan ketangguhan.[*]
Disclaimer:
Tulisan ini hanya sebuah sintesis antara pemikiran akademis dan kekayaan
sastra yang rangkai dengan memadukan gagasan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
tentang "Pendidikan Islam Seharusnya Menjadi Pintu Keluar Dari
Ketertinggalan" dengan nuansa sastra klasik Eropa dan Timur Tengah. Sebuah
eksplorasi tema-tema kebangkitan, ilmu pengetahuan, dan takdir, sebagaimana
direnungkan oleh para pujangga dan pemikir masa lalu.
Apabila diantara sahabat ingin memperdalam kajian tentang tulisan ini,
silahkan dikoreksi sendiri melalui sejumlah rujukan berikut:
Tentu, Gemini dapat membantu menemukan rujukan dan sumber pendukung yang
relevan dengan pandangan dalam artikel yang baru saja dibuat. Meskipun artikel
tersebut menggunakan gaya sastra, gagasan intinya, yaitu pentingnya pendidikan
Islam sebagai solusi ketertinggalan, memiliki akar kuat dalam literatur
Islam klasik maupun modern, serta pemikiran tokoh-tokoh besar.
Berikut adalah beberapa kategori rujukan beserta contoh-contoh spesifik,
baik dari kitab klasik, buku, maupun tulisan ilmiah daring, yang relevan dengan
pandangan yang disampaikan:
I. Rujukan dari Kitab dan Pemikir Klasik Islam
Pandangan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam Islam dan keterkaitannya
dengan kemajuan peradaban dapat ditemukan dalam banyak karya klasik:
·
Al-Qur'an dan Hadis:
o
Al-Qur'an: Ayat-ayat seperti Surah
Al-Alaq (ayat 1-5) yang menekankan pentingnya membaca dan menuntut ilmu, serta
ayat-ayat yang mendorong observasi alam semesta (misalnya, Surah Al-Imran:
190-191). Ini mendukung gagasan bahwa Islam mendorong umatnya untuk menjadi
cerdas dan memiliki indra yang tajam.
o
Hadis Nabi Muhammad SAW: Banyak hadis
yang menekankan keutamaan menuntut ilmu, "Mencari ilmu adalah kewajiban
bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan."
o
·
Karya Filsafat dan Sains Islam Klasik:
o
"Al-Qanun fi al-Tibb" (The Canon of
Medicine) oleh Ibn Sina (Avicenna): Karya monumental ini menunjukkan puncak
keilmuan Islam dalam bidang kedokteran yang menjadi rujukan dunia selama
berabad-abad, merefleksikan pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan aplikatif.
o
"Kitab al-Jabr wa al-Muqabala" oleh
Al-Khwarizmi: Memberi dasar pada aljabar modern, menunjukkan kontribusi
fundamental Muslim dalam matematika dan ilmu pasti.
o
"Muqaddimah" oleh Ibn Khaldun:
Dalam karya ini, Ibn Khaldun menganalisis naik-turunnya peradaban, termasuk
faktor-faktor sosial, ekonomi, dan pendidikan. Pandangannya tentang siklus
peradaban dan pentingnya ilmu pengetahuan serta struktur sosial yang kuat
sangat relevan dengan diskusi tentang ketertinggalan umat.
·
Kitab Adab dan Etika Ilmu:
o
"Ta'lim Muta'allim Tariq
at-Ta'allum" oleh Az-Zarnuji: Kitab ini membahas etika penuntut ilmu
dan bagaimana seharusnya seorang santri belajar, yang relevan dengan bahasan
tentang keunggulan sistem pesantren dalam menanamkan motivasi dan adab.
II. Rujukan dari Buku dan Pemikir Modern Islam
Banyak pemikir Muslim kontemporer yang membahas isu ketertinggalan umat dan
peran pendidikan:
·
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo:
o
Artikel "Pendidikan Islam Seharusnya
Menjadi Pintu Keluar Dari Ketertinggalan" (UIN Malang, 2015): Ini
adalah sumber primer yang dijadikan rujukan, dan kehadirannya di situs resmi
UIN Malang adalah bukti otentikasi.
·
Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam:
o
Fazlur Rahman: Karyanya seperti
"Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition"
banyak membahas tantangan umat Islam dalam menghadapi modernitas dan pentingnya
reformasi pemikiran Islam, termasuk dalam pendidikan.
o
Ismail Raji al-Faruqi: Konsep
"Islamisasi Ilmu Pengetahuan" yang diusungnya bertujuan untuk
mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan disiplin ilmu modern, relevan dengan
gagasan reformulasi kurikulum pendidikan Islam.
o
Nurcholish Madjid (Cak Nur): Pemikir
Indonesia ini banyak membahas tentang relevansi Islam di era modern dan
pentingnya rasionalitas serta pluralisme. Meskipun tidak spesifik tentang
kurikulum, gagasan besarnya mendukung pengembangan pendidikan yang lebih
terbuka dan adaptif.
III. Rujukan dari Jurnal Ilmiah Online dan Publikasi Lembaga
Anda bisa mencari artikel-artikel dari jurnal terindeks yang membahas
isu-isu serupa:
·
Jurnal-jurnal Pendidikan Islam:
o
Cari artikel dengan kata kunci seperti
"ketertinggalan umat Islam," "revitalisasi pendidikan
Islam," "integrasi ilmu dalam pendidikan Islam," atau
"tantangan pendidikan pesantren."
o
Contoh jurnal: Jurnal Pendidikan Islam, Jurnal
Studi Islam, Jurnal Ulumul Quran, atau jurnal-jurnal yang
diterbitkan oleh Fakultas Tarbiyah di berbagai UIN/IAIN/STAIN di Indonesia.
·
Publikasi Organisasi Islam Internasional atau
Lembaga Riset:
o
ISESCO (Islamic World Educational, Scientific
and Cultural Organization): Seringkali menerbitkan laporan atau artikel
tentang kondisi pendidikan dan ilmu pengetahuan di negara-negara anggota OKI
(Organisasi Kerja Sama Islam).
o
Think tank atau lembaga riset yang fokus pada
dunia Muslim: Seperti Pew Research Center (untuk data statistik tentang
Muslim global) atau lembaga riset yang berafiliasi dengan
universitas-universitas terkemuka.