Namun, kali ini, kegelapan itu ditembus oleh cahaya hikmah yang
berpendar dari Madrasah Raudlatul Iman.
Pada tanggal 11 Juli 2025, pukul 19.00 WIB, sebuah perhelatan agung kembali terselenggara: Majelis Niha'ie dan Wisuda Lil'ammah (MANDALA) ke-23.
Bukan sekadar seremoni pelepasan, MANDALA adalah epifani dari
sebuah perjalanan panjang penempaan jiwa dan akal, sebuah manifestasi nyata
dari dedikasi tanpa henti dalam mengukir peradaban Islam yang teguh
berpijak pada manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah.
Malam itu, di atas panggung utama Timari 2025—sebuah panggung yang
namanya sendiri, Tasyakkur Imtihan Madrasah Raudlatul Iman (TIMARI), mengandung
makna syukur dan ujian—ribuah pasang mata memancarkan harapan.
Seluruh wali santri/murid, para guru dari semua tingkatan, hadir memberikan
dukungan moral, menjadi saksi bisu atas metamorfosis intelektual dan
spiritual putra-putri mereka. Kehadiran mereka adalah refleksi dari solidaritas
komunal yang mengakar kuat dalam ekosistem pesantren, sebuah simfoni
harmoni antara pendidik, peserta didik, dan keluarga.
Kehadiran para pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Iman semakin
mengukuhkan bobot filosofis acara ini. KH. Ali Mufti Hamid, Dr. KH. Sahli
Hamid, KH Sidqi Hamid, KH Hamdi Hamid, Kiai Zuhdi Amin, Kiai Ahmad Baitullah, KH Bisri Azis, K.Faisol Azis beserta seluruh
istri/Nyai, seperti Nyai Hajah Rahmah Qadir Ali Mufti, Nyai Hajah Jamiatus
Shaleha (Neng Jemmy), Nyai Nur Hamidah Binti KH Abd. Hamid, serta sejumlah
tokoh penting lainnya, bukan hanya sekadar figur yang terhormat.
Mereka adalah rantai emas sanad keilmuan, pewaris estafet dakwah, dan
penjaga tradisi intelektual Ahlussunnah wal Jama'ah yang kokoh. Dalam
setiap pandangan mata mereka, terpancar kebijaksanaan ulama salaf dan semangat
pembaruan yang tak lekang oleh zaman.
MANDALA 2025 lebih dari sekadar penyerahan ijazah. Ia adalah ritus
transisi, penanda purna tugas para santri dari satu fase pendidikan ke fase
kehidupan yang lebih luas.
Ini adalah momen untuk menginternalisasi bahwa ilmu yang telah diperoleh di
Raudlatul Iman, bukan sekadar teori di bangku madrasah, melainkan pelita
yang akan membimbing langkah mereka dalam menghadapi kompleksitas dunia.
Sebuah bekal untuk menjadi pribadi yang otoritatif secara keilmuan, kokoh
dalam spiritualitas, dan bermanfaat bagi masyarakat, senantiasa
berpegang teguh pada prinsip tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan
tasamuh (toleran) dalam mengarungi samudra kehidupan.
Malam itu, di bawah lindungan langit Madura yang berhias bintang, Raudlatul
Iman menegaskan kembali perannya sebagai mercusuar peradaban Islam,
tempat di mana ilmu dan hikmah bersemi, melahirkan generasi yang siap menjadi
khalifah fil ardh dengan bekal paripurna. [*]