Di jantung Kota Jember, tempat deru sholawat dan alunan kitab kuning berpadu
dengan gemerisik angin pesisir, lahirlah seorang faqih adab (ahli
sastra) bernama Muhammad Lefand. Sosoknya, yang kini santer disebut sebagai
penyair ‘Go’ Asia Tenggara, bukanlah sekadar anomali. Ia adalah manifestasi
nyata dari keberkahan tarbiyah (pendidikan) pesantren dan khidmah
(pengabdian) dalam barisan Ansor, sebuah ikhtiar dalam menerjemahkan
nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jamaah ke dalam hamparan aksara.
Muhammad Lefand, pada suatu masa lampau, hanyalah seorang pemuda yang takzim
di majelis ilmu. Namun, di balik kesederhanaannya, tersimpan potensi laten
yang kelak akan merekah. Ia bukan sekadar penghafal matan (teks
dasar), melainkan seorang penjelajah alam imaji yang mampu merangkai huruf-huruf
hijaiyah menjadi untaian mutiara makna. Kerap diundang dalam
berbagai multaqa as-syu'ara' (pertemuan penyair) dan forum-forum tsaqafah
(budaya), Lefand membuktikan bahwa cinta kepada seni adalah bagian tak
terpisahkan dari fitrah insaniyah yang senantiasa menuntut tajalli
(penampakan) keindahan Ilahi.
Puncak dari rihlah ilmiyah wa adabiyah (perjalanan keilmuan dan
kesastraan) Lefand terukir pada tanggal 11 Maret 2017. Di POD National Library,
Victoria Street Singapura, sebuah perhelatan akbar bertajuk pertemuan
penyair tingkat Asia Tenggara dan peluncuran buku bersama menjadi saksinya.
Acara yang dihelat oleh Komunitas Bebas Melata dan Perkumpulan Seni Singapura
ini, mempertemukan nurani-nurani kreatif dari enam negara serumpun:
Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Sebuah episentrum
intelektual yang meniscayakan dialektika pemikiran dan interaksi
kebudayaan.
Dalam gelaran tersebut, tak kurang dari 54 jilid buku dari berbagai mutakallim
(penulis) se-Asia Tenggara diluncurkan. Dan di tengah lautan ilmu itu,
nama Muhammad Lefand berkibar dengan empat opus magnum (karya besar)
yang sarat makna: Jangan Panggil Aku Penyair, sebuah otokritik
terhadap predikat; Revolusi Mental dan Estetika, sebuah gagasan
transformatif yang melampaui batas; Khotbah Renungan Tak Utuh Jarak dan
Jagung, sebuah kontemplasi filosofis tentang eksistensi; dan Kronologi
Imaji, sebuah rekam jejak imajinatif yang memukau. Kesemua karya ini
adalah bukti nyata bahwa seorang kader ideologis pun mampu menjadi pelopor
peradaban melalui medium sastra.
Menariknya, Muhammad Lefand, yang di kesehariannya adalah seorang murabbi
(pengajar) di SDN Sumbersalak Kecamatan Ledokombo, tak pernah lekang dari atribut
kebesaran organisasi Gerakan Pemuda Ansor. Peci hitam, kemeja putih, dan badge
logo Ansor yang melekat adalah simbol identitas yang tak terpisahkan
dari spirit perjuangannya. Ia mengakui rasa syukur dan kebanggaan
mendalam bisa menjadi bagian dari enam delegatus (utusan) penulis
Nusantara yang diundang dalam hajatan mulia tersebut. "Ini akan
menjadi sebuah motivasi ilahiyah bagi saya untuk terus berkarya
dalam madrasah seni," ungkap Muhammad Lefand, dengan tawadhu'
yang tak lekang.
Pada momen historis itu, Muhammad Lefand tidak sendiri. Ia didampingi
oleh faqihul qolam (ahli pena) lainnya, Husnu Abadi dari Riau dan ummi
Free Hearty dari Jakarta, sebagai delegatus dari tanah air.
Kehadiran mereka bersama tokoh-tokoh penulis dan pegiat seni dari penjuru Asia
Tenggara kian mempertegas bahwa ukhuwah islamiyah dan ukhuwah
wathaniyah dapat terjabar melalui sinergi kultural.
Di tempat yang berbeda, murshid (pembimbing) dan panglima
Pimpinan Cabang GP Ansor Jember, HM Ayub Junaidi, tak dapat menyembunyikan rasa
bangga dan apresiasi yang setinggi-tingginya atas pencapaian
gemilang anggotanya. Ayub menegaskan, Pimpinan Cabang GP Ansor Jember akan
senantiasa mendukung dan memberikan ruang seluas-luasnya bagi
para kader mujahid Ansor untuk terus berinovasi dan berkontribusi
dalam bidang keahliannya masing-masing. Ini adalah komitmen
fundamental Ansor dalam mencetak generasi unggul yang tidak hanya piawai
dalam jihad fisik, tetapi juga ulung dalam jihad intelektual dan
kultural.
Kisah Muhammad Lefand adalah cerminan otentik dari ajaran Ahlussunnah
Wal Jamaah yang tak hanya mengedepankan ibadah ritual, namun juga pengembangan
potensi diri untuk kemaslahatan umat. Ia membuktikan bahwa seorang santri
dan kader organisasi keagamaan mampu menembus batas-batas geografis
dan menebarkan kemanfaatan melalui untaian kata, menjadikan
sastra sebagai media dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan) yang
menyejukkan. Sebuah ibrah (pelajaran) berharga bagi kita semua.[*]