Lucunya Nasionalisme Rasional Ala Jero Wacik

FERRY ARBANIA
By -

Tiba-tiba mesiu nasionalisme meledak di blok Mahakam. Ladang gas terbesar kedua Indonesia itu sekarang jadi rebutan. Pasalnya, kontrak migas di blok Mahakam akan berakhir tahun 2017 mendatang.
Di satu pihak, korporasi migas asal Perancis, Total E&P Indonesie, yang sudah mengeruk gas di sana sejak 1967, masih bernafsu melanjutkan kontrak. Di pihak lain, masyarakat luas menghendaki agar Blok Mahakam diserahkan kepada Pertamina. Dengan demikian, kekayaan gas itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.


Kekayaan blok Mahakam memang luar biasa. Meski sudah dijarah oleh Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) selama 45 tahun, namun blok Mahakam masih menyimpan cadangan gas sebesar 12,5 triliun cubic feet (tcf).

Kalau mau diuangkan, dengan harga gas yang terus meroket saat ini, maka potensi blok Mahakam itu bisa mendatangkan pemasukan ke kas negara sebesar 160 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1500 triliun. Nah, kalau sudah begitu, siapa yang tak tergiur? Pihak Total E&P Indonesie juga sangat bernafsu melanjutkan "penjarahannya" di sana.

Di pihak lain, muncul gerakan yang disebut "Petisi Blok Mahakam Untuk Rakyat". Sejumlah ekonom berbaris di belakang gerakan ini, seperti Marwan Batubara, Prof. Sri-Edi Swasono, Kwik Kian Gie, Dr Kurtubi, dan Dr. Hendri Saparini. Mereka menuntut agar pengelolaan blok Mahakam diserahkan ke Pertamina.

Salah seorang pendukung petisi, Kurtubi, bilang, "dengan Pertamina sebagai pengelola, maka 100 persen keuntungan dari blok tersebut akan jatuh ke Indonesia tanpa harus dibagi dengan perusahaan lain (Republika).

Lebih lanjut, menurut Kurtubi, selama blok Mahakam dikelolah oleh perusahaan asing, Total E&P Indonesie, pemerintah memang mendapat bagian 80%. Tapi, harus diingat, setelah bagian itu dipotong "cost recovery", maka tinggal 40%. Jadi, pemerintah selama ini hanya mendapat 40%.

Selain itu, Kurtubi menambahkan, kalau pertamina dibiarkan mengelola sepenuhnya blok Mahakam, maka negara terpastikan bisa mengamankan ketersediaan atau pasokan gas di dalam negeri. Maklum, kata Kurtubi, banyak sekali terjadi kasus penyelundupan gas ke luar negeri. Alhasil, negara mengalami kerugian sebesar Rp30 triliun per-tahun akibat penjualan gas illegal ke luar negeri. "Pasokan gas itu bisa dipakai untuk  mensuplai kebutuhan listrik, transportasi, dan industri," kata Kurtubi.

Soal kesiapan, Pertamina mengaku sudah siap. Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, sudah menegaskan hal itu. "Kami tetap pada komitmen awal sebagai operator. Kita inginnya Mahakam kembali ke bangsa," katanya kepada Republika, Kamis (11/10/2012). Bahkan, Ali Mundakir menegaskan, kalau blok Mahakam jatuh ke tangan Pertamina, pihaknya yakin bisa menggenjot produksi.

Ironisnya, pihak Pemerintah berbaris menolak proposal Pertamina itu. Jubir-jubir pemerintah, dari Menteri ESDM, Wamen ESDM, hingga Kepala BP Migas, cenderung mendukung perusahaan asing untuk melanjutkan "penjarahan" di blok Mahakam.

Berbagai alasan pun dimuntahkan ke publik. Menteri ESDM Jero Wacik pun berkelik, Pertamina belum sanggup mengelola blok Mahakam. Alasannya, keuangan Pertamina sangat terbatas. Kalau keuangan Pertamina dialokasikan seluruhnya ke blok Mahakam, maka perusahaan plat merah itu bisa bangkrut.

Argumentasi Jero Wacik terbantahkan. Kata Marwan Batubara, salah satu pengusung petisi juga, bahwa keterbatasan keuangan di tangan, cash on hand, bukan masalah, sepanjang Pertamina memiliki underlying asset yang bisa menjamin kucuran kredit perbankan atau lembaga keuangan.

Kalau soal pengalaman, Pertamina juga punya. Direktur PT Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, Pertamina punya kesanggupan untuk menjadi operator (Bisnis, 22 Juli 2012). Kalau soal bukti, Karen bilang, Pertamina sudah terbukti dalam mengelola blok sebelumnya seperti Blok West Madura Offshore (WMO) dan Blok Offshore North West java (ONWJ). Di kedua blok itu Pertamina sukses menggenjot produksi.

Ironisnya lagi, Jero Wacik malah menuding para pengusung petisi Blok Mahakam sebagai "Nasionalis Emosional". Ia sendiri mengklaim dirinya sebagai "Nasionalis Rasional". Entah apa yang dimaksud "nasional emosional" dan "nasionalis rasional" itu?

Yang kita tahu, Jero Wacik ini memang sangat patuh pada asing. Lihat saja, dalam proses renegosiasi dengan sejumlah perusahaan asing, dimana Jero Wacik ditunjuk sebagai komandan, tak ada kemajuan sama sekali. Dua korporasi asing besar, PT. Freeport dan PT. Newmont, seakan tak mau diajak berdialog. Padahal, dua korporasi itu sudah puluhan tahun menjarah kekayaan bangsa ini.

Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) sudah menegaskan, "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di sini ada penegasan, seluruh kekayaan nasional, supaya bisa mendatangkan kemakmuran bagi rakyat, harus dikuasai oleh negara.

Memang, seperti ditegaskan Bung Hatta, makna dikuasai memang tak berarti negara yang bertindak sebagai pengusaha. Melainkan negara bertindak pembuat peraturan agar pengelolaan kekayaan alam itu terpastikan benar untuk rakyat.

Sidang BPUPKI, yang diketuai oleh Bung Hatta, menegaskan, Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagi usaha Negara. Bung Hatta tahu betul, tambang merupakan kekayaan vital bagi bangsa. Minyak dan gas merupakan bahan penting dalam memajukan sebuah bangsa.

Pertanyaannya, apakah pengelolaan SDA di bawah korporasi asing, yang jelas didorong mencari keuntungan dan patut pada azas "liberalisme", bisa mendatangkan kemakmuran bagi seluruh rakyat?

Saya tak perlu mengumbar angka-angka untuk menjawab itu. Kita lihat saja kenyataan di sekeliling kita: Negara kita penghasil gas terbesar di dunia, tapi rakyat membeli bahan bakar sangat mahal. PLN juga terus-menerus tergencet oleh kurangnya pasokan bahan bakar.

Coba suruh Jero Wacik belajar menghitung. Apakah adil kalau Freeport mendapat keuntungan 99% keuntungan emas-perak dan 95% keuntungan tembaga di tanah Papua sedangkanIndonesia hanya menerima 1 persen (emas dan perak) dan 1-3,5 persen (tembaga)?

Entahlah, mungkin yang dimaksud nasionalis rasional oleh Jero Wacik itu adalah "nasionalis bego": sudah tahu dirugikan, tapi dia bilang diuntungkan. Sedangkan nasionalis emosional adalah mereka yang tak mau berkompromi dengan penjajahan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Kalau begitu, saya minta ditambahkan sebagai pendukung nasionalis emosional!

Ya, Jero Wacik ini tipe orang Indonesia yang mengidap penyakit "inferiority complex", sebuah penyakit warisan kolonial yang ditandai dengan sikap selalu rendah diri dan tak mampu di hadapan bangsa asing. Sampai kapanpun, bahkan sampai kiamat sekalipun, orang berpenyakit "inferiority complex" tak akan bisa memajukan bangsanya. Sebab, ia selalu percaya dengan pihak asing, yang notabene sebagian perampok, untuk mengelola kekayaan SDA-nya.

Harusnya, kalau ada keterbetasan modal dan teknologi, kita berjuang keras untuk mengatasinya. Dengan demikian, kita bisa mengelola sendiri kekayaan SDA ini. Dan, dalam kasus blok Mahakam, apa salahnya kita memulai ini sebagai titik awal untuk mengelola kekayaan migas kita secara berdaulat. (Seruu.com)