Sosial Media, Anugerah atau Musibah...?

FERRY ARBANIA
By -
Ivone Andayani (Antara)
Oleh Ivone Andayani *)

Baru sekali ini, dalam profesi sebagai praktisi Public Relations, saya berpikir sesuatu yang tidak ilmiah, menuntut benda mati untuk bertanggung jawab. Dan, benda mati itu adalah internet.

Buntut dari tuntutan ini, suasana di ruangan kerja menjadi benar-benar tak nyaman. "Gak seru!," begitu istilah yang diucapkan teman kerja wanitaku. Karena, suasana penuh kegalauan ini, masih menurut istilah dia, membuat dia tak bebas lagi memutar lagu "Said I love u but I Lied" lantunan suara seksi Michael Bolton.

Akar dari kegalauan itu tak lain adalah merebaknya kicauan orang di sosial media dan media-media online, yang bagiku, mempunyai dua sisi enak, dan tak enak. Bukan sisi positif dan negatif.


Sisi enaknya, mempermudah kerja teman-teman di marketing. Mereka bisa jualan dengan "low cost", numpang promo sana-sini di internet. Pada konteks yang positif, sosial media ini potensial untuk memperbesar ekspos berita-beritaku, sehingga diperbincangkan sebagai "trending topic" yang seru.

Salah satu sisi tak enaknya justru sekarang dirasakan Public Relations. Saya, salah satunya ! Brand perusahaan dibicarakan dimana-mana, pada konteks yang positif dan bahkan negatif. Kadang-kadang, sakit hati juga jika diumpat habis. "Sense of belonging" pada perusahaan terlalu tinggi? Entah! Meski jika dipikir, praktisi Public Relations seperti saya mestinya punya "sense of belonging" di atas rata-rata. Konsekuensi profesi.

Fenomena maraknya jejaring sosial kerap jadi topik pembicaraan seru dimana-mana. Sebuah berita, tak lagi bisa dibendung akan diposting oleh siapa. Bukan (diposting) oleh sebuah kantor berita, bukan oleh sebuah perusahaan media, dan bukan oleh seorang "public opinion leader", tapi bisa juga diposting di mailing list dengan member jutaan orang, di website personal yang dikunjungi ribuan orang per harinya, di blog personal yang akhirnya menjadi "dinding iklan" dari banyak "brand" terkenal.

Sekarang, "expossure" yang ditempel di sana, sama-sama berpotensi menimbulkan kegalauan sampai level tertentu. Begitulah istilah yang sering kami pakai di ruangan kerja beberapa bulan terakhir ini.

Sisi seksi lainnya, "social media" bisa menjadi "alerting system" terhadap "crisis management". Jika suatu kali, terjadi "trending topic" yang bertahan dibicarakan, alias dikicaukan para netter dalam kurun waktu lama, mestinya bisa menjadi semacam "warning" atau "alert" bagi manajemen. Maka, jika "trending topic" itu meluas sampai ke media-media online besar, bahkan ke media online internasional, dampaknya bisa sangat seru. Kepercayaan pelanggan, kepercayaan investor, kepercayaan publik, ujungnya... kepercayaan stakeholder, dan... harga saham !

Beberapa majalah, tabloid, harian, sudah memunculkan beberapa edisi menguak fenomena merebaknya "Digital Marketing: yang dipicu munculnya sosial media. Dan, meskipun sudah beberapa kali saya membaca tentang topik seperti ini, namun selalu saja ada topik baru yang membuatku berteriak "Yuhuu...". Saya, seorang bertipe "Conversationalists", aduh inilah istilah baru yang kudapat untuk tipikal orang sepertiku di saat berinteraksi dengan "social media", mestinya aku sudah meng-upgrade peringkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yakni "creators".

Bukankah sudah jadi bagian dari profesi selama ini untuk menciptakan "issue" dan "news", namun kenapa belum pernah terpikirkan secara serius untuk memanfaatkan social media? Ahay, kemana saya selama ini? Hanya menggunakan sosial media untuk pertemanan. Melakukan update status yang kerap alay. Mengomentari status teman hanya untuk membunuh waktu...

Harusnya, maraknya jejaring sosial jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan profesi ini. Meski, pengelolaannya belum tentu bisa profesional. Apa daya. Seringnya, di sebuah perusahaan, membuat keseragaman visi seluruh top leader tentang pengelolaan sosial media saja sudah menjadi bahan debat tak berujung di meja rapat, apalagi jika diminta menjalankannya.

Namun, tentu saja, semua itu harus dimulai untuk dibangun. Atau, ibarat sedang membuat bangunan, bukankah bangunan besar dan megah itu dibangun dari batu bata kecil-kecil yang disusun rapi dan sesuai gambar perencanaannya? Dan, gambar perancangan bangunan itu idealnya adalah sebuah tujuan.

Maka, inilah batu bata pertama yang sedang saya susun untuk membuat bangunan megah itu. Sejak kehadiran jejaring sosial alias "social media" meluas, dengan mudah dan cepat "Press Release" yang saya kirim ke media ditayangkan di halaman media-media online. Bahkan, sudah bisa terbaca di seantero dunia beberapa menit setelah Konferensi Pers berakhir. Dan bahkan, saat panitia belum selesai melakukan "clean up" lokasi pertemuan. Kecepatan expossure ini memang menyenangkan, tapi pernah juga merepotkan...

Inilah salah satu kasus merepotkan. Ketika narasumber salah menyebut angka target, dan sudah termuat sebelum diralat. Otomatis secepat mungkin harus memberitahukan ke seluruh jurnalis yang datang. Meski tentu saja, usaha ini tak sepenuhnya berhasil. Yakni, media-media online lain, blog-blog, mailing list-mailing list, dan jejaring sosial yang sudah terlanjur meng-copy berita tersebut. Fenomena yang hebat.

Sisi menyenangkannya, sosial media bisa menciptakan "advocate customer". Fungsi advocation ini bisa jadi sisi positif jika kita memanfaatkan sosial media dan media online dengan baik. Suatu sore saat, sambil melakukan monitoring sosial media, saya membaca sebuah topik terkait teknologi informasi dibicarakan di situs "social media" terbesar di Indonesia, KasKus.

Ketika banyak orang mempermasalahkan kecepatan koneksi yang disediakan perusahaan, salah seorang di forum diskusi online tersebut selalu memberi pencerahan info. Menjelaskan, membela..., meski sesungguhnya tanpa dibela pun andai semua orang "aware" terhadap IT akan mengerti duduk masalahnya.

Pernah terpikir untuk menciptakan sebuah kekuatan expossure di sosial media dengan memanfaatkan besarnya jumlah karyawan? Ya, merekalah calon-calon "evangelist" atau "advocate customer" dari perusahaan ini. Semua info dengan value tinggi, langsung dibroadcast ke email karyawan untuk diteruskan ke akun-akun sosial media mereka. Karena bukankah karyawan adalah aset perusahaan, yang secara tak langsung adalah brand ambassador perusahaan? Alias potensial buzzer !

"Human resources is a potential buzzer". Selain sebagai aset perusahaan yang paling berharga, karyawan perusahaan adalah buzzer potensial untuk kampanye promo. Sebagai aset perusahaan, lihat banyak contoh ketika seorang karyawan dengan value tinggi, dibajak oleh kompetitor, maka bukan hanya karyawan itu yang pindah, namun seluruh knowledge akan ikut dibawanya... ke pesaing !

Maka, ketika jumlah karyawan yang besar ini kadang dinilai sebagian orang memberatkan lantaran gap kompetensi acapkali lebar. Namun, tentu tidak untuk "promo campaign". Walaupun... menggunakan banyak corong untuk sharing info harus benar-benar diatur kebijakannya. Salah-salah, dapur perusahaan ikut dishare.

Sebuah tulisan dari Dennis Walsh, Senior Consultant & Director of Social Media, di SharonMerrill tentang "Why Every Company Needs a Social Media Policy" bisa dijadikan sebuah referensi dalam membuat sebuah kebijakan implementasi "social media" monitoring and expose di sebuah perusahaan. Dikatakannya, seorang CFO dari sebuah perusahaan dunia, Gene Morphis, pernah membuat geger lantaran statement yang dia tulis di social media.

Inilah pentingnya membuat satu policy dan edukasi pada para executivies perusahaan terkait aturan dan bertanggung jawab sebagai "spoke person". Mr. Morphis adalah orang yang sangat aktif di social media, baik itu di twitter, personal blog, facebook, dan LikedIn. Sayangnya, sebagai manusia sosial (beredar di sosial media) atau selebriti dunia maya, Mr Morphis kerap berbicara sangat terbuka terkait pekerjaan yang dilakukan sebagai CFO di perusahannya. Ia sering berinteraksi dengan traders, media bisnis, dan sharing hal-hal terkait market.

Francesca, perusahaannya adalah sebuah butik ritel yang menjual pakaian, asesories, perhiasan, dan gift untuk wanita. Dijelaskannya bahwa sering ada bias pemanfaatan sosial media untuk kepentingan profesional atau personal. Untuk public company, sosial media seharusnya digunakan dengan alamat spesifik yang sudah ditentukan perusahaan dalam social media policy. Pada intinya, akhirnya, perusahaan memang harus menunjuk "spoke person" untuk berinteraksi di sosial media.

Akhirnya, "spoke person" di social media haruslah orang yang telah ditunjuk oleh perusahaan menjalankan fungsi itu. Dan, sebagai salah satu konsekuensinya, harus dibuat guidelines untuk mengedukasi. Dengan melakukan hal ini, corporate reputation akan lebih terjaga.

Jika kita sempat membaca tulisan di salah satu situs PR yang ditulis oleh Paul, tahun 2008, dia sudah meramalkan bahwa ada 10 hal yang menjadi trend PR selama lima tahun mendatang setelah tulisannya di tahun 2008 itu. Dikatakan, 10 trend inilah yang akan mampu mengubah cara kerja PR, dan dunia industri pada umumnya. Beberapa orang menyebutnya sebagai konsep Cyber PR.

Apakah ke-10 trend ini yang salah satunya menyebutkan sosial media. Inilah dia :
1. Social media
2. Press release online
3. Newsroom
4. Search Engine Optimization (SEO)
5. Content publishing
6. Social bookmarking
7. RSS (Really Simple Syndication) Feed
8. Google new alerts
9. Standardized services
10.Set pricing

Nah, karena fenomena ini akan terus merebak dan mengalami masa-masa keemasan, akankah kita menghindar dari manfaat sosial media bagi profesi seperti ini? Saya kembalikan jawabannya ke Anda... Sosial media, anugerah atau musibah...? (*).

*) Public Relations area Jawa Timur PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (ANTARA)