Mengapa Kita Mencintai Andik Vermansyah

FERRY ARBANIA
By -
|Mengapa kita mencintai Andik Vermansyah?
Saya kira di Indonesia cukup banyak pemain bertubuh kecil dengan kemampuan individu dan kecepatan seperti dia. Namun Andik tetap dianggap 'berbeda'.

Saat Andik digunting oleh David Beckham dari belakang, kita tahu, betapa publik sepakbola mencintainya. Sependek ingatan saya, publik sepakbola di senayan jarang (untuk tidak mengatakan tidak pernah) memberikan respons balik negatif kepada pemain bintang luar negeri, yang melanggar pemain lokal dengan keras.

Namun Rabu malam itu (30/11/2011), kita melihat, seorang Beckham mendapat teror teriakan 'huuu' dari puluhan ribu penonton di Gelora Bung Karno setiap kali menguasai bola. Publik seperti lupa, bahwa salah satu daya pikat pertandingan Indonesia Selection melawan Los Angeles Galaxy adalah Beckham.

Dan dalam dua hari belakangan ini, mendadak nama dan foto Andik menghiasi media massa. Cerita soal Beckham yang mau bertukar kaos dengannya menjadi pelengkap ceria sepakbola Indonesia yang sedang terpuruk. Andik diundang dalam acara talkshow dan tayangan infotainment layaknya artis. Pacarnya pun ikut kena 'getah' ketenaran Andik, dan diwawancarai pekerja infotainment.

Di kalangan Bonek, suporter Persebaya Surabaya, Andik banyak disebut sebagai 'Lionel Messi Indonesia'. Saya tidak tahu, siapa yang menyebut Andik sebagai Messi pertama kali. Namun saya yakin, sebutan itu tak lepas dari tubuhnya yang kecil dan gaya permainannya yang meliuk-liuk seperti Messi.

Saya ingat, khusus di Beritajatim.com, saya menuliskan sebutan Messi ini pertama kali, saat mereportase pertandingan Persebaya dari tribun penonton. Di tengah lapangan, Andik meliuk-liuk, dan salah satu Bonek berteriak: 'Cuuuukkk... koyok Messi.'

Para Bonek, setiap kali Andik diganjal keras, kompak berdiri serentak dari tempat duduknya sembari berteriak: 'Heeeeiii..." Terus terang, saya belum pernah menemui bintang Persebaya menerima apresiasi dan perlakuan dari Bonek sebagaimana ditunjukkan untuk Andik.

Persebaya selama ini tak pernah henti memproduksi pemain hasil kompetisi internal. Bonek jarang sekali memiliki pemain idola yang berasal dari luar hasil kompetisi internal klub. Namun, saya merasakan pengidolaan yang berbeda terhadap Andik Vermansyah. Rasa memiliki terhadap Andik lebih besar daripada rasa memiliki terhadap Bejo Sugiantoro.

Apa yang membuat mereka mencintai Andik Vermansyah? Saya rasa ini bukan hanya perkara bakat dan kemampuan teknis Andik yang luar biasa. Kecintaan itu muncul karena Bonek, dan mungkin juga suporter Indonesia umumnya, melihat diri mereka pada sosok Andik.

Andik mewakili mimpi besar suporter untuk berada di lapangan membela tim kebanggaan mereka. Cerita tentang Andik bukan sekadar cerita tentang pemain sepakbola, tapi cerita tentang seorang yang tumbuh dari keluarga besar suporter sepakbola.

Hidupnya persis cerita heroik soal pemain sepakbola dan kecintaannya terhadap klub. Sejak kecil, ia adalah Bonek. Jauh sebelum menjadi pemain, ia pernah menjadi bagian dari suporter fanatik Persebaya, dan melihat klub itu jatuh, bangun, dan berjaya.

Andik Menjadi bagian dari suporter, saat Persebaya melewati masa terberat dan masa gemilang. Ia kemudian tumbuh dan setia membela klub ini sebagai pemain di masa PSSI era Nurdin Halid, kendati diancam tak akan pernah bisa memperkuat tim nasional Indonesia.

Andik lahir dan tumbuh dari keluarga kelas menengah bawah urban, yang pindah dari Jember ke Surabaya. Ayahnya pekerja bangunan, ibunya buruh jahit. Sepatu bolanya adalah sepatu dengan harga murah. Ia berlatih sendiri dengan cara berlari kencang mengejar taksi, atau naik-turun jembatan penyeberangan.

Ia sempat dilarang keras bermain sepakbola oleh orang tuanya, karena sepakbola tak menjanjikan uang cepat bagi keluarga Andik yang tak selalu berkecukupan. Andik mewakili mimpi masyarakat kelas bawah, sebuah kelompok masyarakat yang tak wangi, tempat sebagian besar suporter Persebaya berasal.

Mimpi itulah yang hari ini semakin terancam oleh globalisasi sepakbola. Globalisasi menyebabkan klub-klub sepakbola dunia macam Real Madrid maupun Arsenal membuka akademi sepakbola di Indonesia. Tentu saja, biaya untuk ini tak murah dan sulit dijangkau oleh keluarga sosial menengah ke bawah.

Iwan Fals pernah menuangkan kisah tentang anak-anak perkotaan yang kesulitan tanah lapang untuk bermain sepakbola. "Sepakbola menjadi barang yang mahal. Untuk mereka yang punya uang saja, dan sementara kita di sini, di tanah ini," lantun Iwan.

Tren global itu tentu tak bisa ditampik. Di satu sisi, semakin diminatinya sepakbola oleh kelas menengah ke atas yang mapan dari aspek finansial tentu kabar baik. Ini menunjukkan bahwa profesi sepakbola cukup menjanjikan. Dengan masuknya anak-anak dari kelas menengah ke atas, maka akan semakin banyak bakat-bakat muda yang bisa dipilih. Mereka juga digembleng dan mendapat pembinaan sepakbola yang benar dari awal.

Dari aspek kesehatan, anak-anak kelas menengah menjanjikan kondisi tubuh yang bagus. Asupan gizi mereka lebih terjaga dibandingkan anak-anak kelas menengah bawah.

Dari aspek mentalitas, anak-anak kelas menengah atas sudah dibiasakan disiplin oleh keluarga mereka. Mereka dari apa yang disebut sebagai 'leisure class' oleh Thorstein Veblen: sebuah kelas sosial yang punya banyak waktu bersenang-senang. Mereka bersepakbola tanpa harus memikirkan beban finansial. Ini tentu berpengaruh jangka panjang bagi pembentukan tim nasional kita ke depan.

Dari aspek mentalitas, anak-anak pesepakbola dari kelas menengah atas tak akan mudah dikejutkan dengan gaya hidup mewah yang bisa dicapai kala mereka sukses. Mereka sudah terbiasa dengan hidup tak susah, sehingga tak ada sindrom 'orang kaya baru' atau 'kere munggah bale' (si miskin jadi raja).

Di tengah pergeseran tren pencarian bakat-bakat sepakbola, Andik menjadi penting. Ia menjadi contoh, bahwa anak-anak kelas menengah ke bawah juga patut mendapat perhatian. Bakat-bakat pesepakbola yang muncul dari kelas sosial bawah tak boleh diabaikan. Pemerintah dan PSSI harus mulai memberikan perhatian kepada mereka, tak hanya mengasah dari sisi bakat, tapi juga perhatian pada kebutuhan kesehatan dan mental mereka.

Sepakbola bukan hanya urusan bakat. Jepang sudah membuktikannya. Model-model sekolah sepakbola (SSB) atau klub-klub yang berbasis pembinaan di daerah-daerah yang potensial harus diubah dengan mengadaptasi gaya pelatihan di akademi klub-klub Eropa. Kita ingin tumbuh 'La Masia-La Masia' (akademi milik Barcelona) di Indonesia.

Jadi, saya kira, itulah kenapa kita mencintai Andik Vermansyah. Karena kita melihat harapan bisa tumbuh dari mana saja. Bahkan dari seorang bocah yang biasa berlari kencang mengejar taksi di jalanan. [wir]

sumber (bjt)