Dengan demikian, rentang sejarah yang
panjang telah menjadikan perempuan seni di Madura teruji menjadi subjek
dalam formasi sosial masyarakat Madura.
Terkadang, faktor ekologis sebuah wilayah
bisa menjadi faktor utama pembentukan kultur sebuah masyarakat. Tradisi
diasporik masyarakat Madura, berawal dari sejarah kelangkaan ekologis
(ecological scarcity) yang panjang pada abad ke-18, yang memaksa
penduduknya untuk berimigrasi ke daerah lain terutama pulau Jawa. Jika
melakukan pendekatan sejarah ekologi (eko-historikal) pada masyarakat
Madura untuk menemukan pola atau formasi sosial serta perubahan
sosialnya, maka motif ekonomi terlihat sebagai sebuah kesadaran yang
mengembalikan sentimen kooperatif masyarakat Madura pada awal abad
ke-20.
Migrasi dan Pembentukan Tradisi
Sejarah Madura selama hampir seabad
(1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor
ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan
nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe
tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan
ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur
(Kompas, 24 Februari 2005).
Penelitian Kuntowijoyo (2002) tentang
pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa migrasi ke
pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Dibukanya
perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di
perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura
tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian Timur. Di Jawa Timur,
sebagai kelompok mayoritas (kecuali Banyuwangi), orang Madura aktif
berperan dalam pergerakan nasional di kota dan di lingkungan kelompok
etnis Madura umumnya (Kuntowijoyo, 2002: 75-81).
Salah satu penyebab mobilitas orang Madura
yang didasari oleh kondisi pertanian yang miskin adalah, dibentuknya
organisasi militer dengan nama barisan yang memiliki misi mendampingi
Belanda dalam berbagai perang dan ekspedisi untuk melawan
pemberontakan-pemberontakan yang muncul di kepulauan Indonesia. Barisan
adalah sebuah kekuatan militer kerajaan-kerajaan Madura yang ditujukan
untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa Kolonial. Organisasi
militer yang berbasis pada kekuatan rakyat Madura itu merupakan
manifestasi politik para penguasa Madura (aliansi militer antara madura
dan Belanda) atas jasa Belanda yang melindungi Madura melepaskan diri
dari hegemoni Mataram.
“…tetapi dalam kondisi tanah pertanian yang
miskin itu, barisan juga merupakan sebuah lapangan pekerjaan yang
mendatangkan penghasilan pokok bagi orang-orang kebanyakan, bergabung
dalam barisan berarti pula: pekerjaan, penghasilan, penghargaan, dan
yang terpenting berkesempatan untuk mobilitas sosial…” (Kuntowijoyo
2002: 145-150).
Karena perubahan struktur sosial dan
ekonomi, masyarakat Madura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan
petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka
masyarakat Madura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam
budayanya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih banyak menetap dan
bertani. Sehingga artikulasi kesenian masyarakat Madura tertuang dalam
bentuk kerajinan lukisan dan patung.
Untuk memahami posisi kesenian di Madura,
pertama-tama kita harus memahami bahwa tradisi Islam dalam melihat seni
(pertunjukan) tidak terlalu penting, selayaknya kaum Hindu yang
mengadopsi unsur-unsur kesenian di dalam melakukan upacara keagamaan.
Karena seni pertunjukan tidak menjadi bagian dari agama, maka orang
Madura lebih melihat agama ketimbang tradisi. Agama lebih mengikat
daripada tradisi, kalau bicara tradisi orang Madura bisa saja mengikuti
tradisi Jawa. Berbeda dengan masyarakat Bali, yang memiliki pelindung
dari kepunahan budaya, karena tradisi Bali sudah lebur menjadi tradisi
Hindu. Sebaliknya, masyarakat Madura bisa menjadi orang lain ketika
budayanya musnah.
Orang Madura bisa menjadi siapa saja,
karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat
menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik
tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk
berbagai macam agama dan kepercayaan. Hal inilah yang menjadi masalah
pada masyarakat Madura. Tradisi itu dibentuk oleh mazhab Syafii sebagai
mazhab dominan yang bersumber dari dalil akal dan dalil fikih. Ketika
sebuah permasalahan muncul dan tidak bisa diselesaikan secara akal maka
mekanisme penyelesaian dikembalikan pada kitab fikihnya. Mazhab Syafii
mengutamakan dalil fikih yang sarat dengan kultur agraris feodal, hal
ini lebih disebabkan pembentukan budaya masyarakat Jawa Timur pasca
jatuhnya kerajaan Mataram yang kemudian dilanjutkan oleh VOC. Saat itu
sempat ada kekosongan kekuasaan, sehingga tidak ada sosok di dalam
masyarakat feodal yang bisa dijadikan pimpinan, kecuali ulama. Hukum
yang bersumber pada mazhab Syafii dibuat untuk masyarakat agraris
feodal. Mazhab Syafii ini tidak terlalu memperdulikan seni. Bagi mereka
seni itu hanya untuk hiburan saja, bukan sebagai kontemplasi. Kalau di
Jawa bagian tengah, orang berkesenian sebagai sarana kontemplasi, yang
sifatnya sangat meditatif. Kebanyakan kesenian Jawa bagian timur
berfungsi sebagai media hiburan. Jadi di Madura hanya ada kesenian
rakyat yang bersifat populis. Pada tingkatan ini agama tidak campur
tangan, agama hanya memberikan larangan, misalnya, karena perempuan
tidak boleh tampil di depan umum maka kesenian-kesenian ini pada umumnya
ditampilkan oleh laki-laki. Namun sekarang sudah berubah, inilah yang
kemudian menimbulkan masalah gender.
Kenyataan bahwa seorang kiai (ulama) mampu
memobilisasi pengikutnya, menunjukkan bahwa kedudukan kiai bertambah
penting menjelang abad ke-20. Peran kiai mengalami evolusi, dari
pemimpin ritual keagamaan semata-mata, kemudian menjadi pemimpin
masyarakat ke pemimpin politik (Kuntowijoyo, 2002). Hal ini sangat
berbeda dengan tradisi kepemimpinan di Mataram, di Jawa bagian timur
pada abad ke-17 tidak ada keraton yang mendominasi, maka pada saat itu
ketundukan orang Madura adalah pada kiai atau ulama. Sesudah direbutnya
Madura, baik barat maupun timur, banyak sekali tawanan perang pria,
wanita, dan anak-anak yang diangkut dari pulau Madura ke Gersik dan Jawa
bagian tengah untuk dipekerjakan oleh para pemenang. Raja-raja Mataram
memerintahkan dan melaksanakan pemindahan secara besar-besaran kelompok
petani dan buruh dari daerah-daerah pendudukan ke pusat kerajaan mereka.
Pemindahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan
oleh para raja terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu,
berakibat leburnya tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan
perkawinan penduduk desa (De Graaf 2003: hal. 195-199).
Di beberapa daerah di Madura bagian utara,
dominasi kiai pada kesenian tradisional pada umumnya kurang kuat, dan
ada sisa-sisa kekuatan keraton yang membatasi pengaruh ulama. Sejak lama
keraton didominasi oleh kekuatan gabungan antara santri dan kaum
feodal. Suami dari pemimpin saat itu rata-rata adalah kiai, jadi di
Madura tidak ada permasalahan dengan santri dan abangan seperti di Jawa.
Di Madura itu sudah lama tidak ada
feodalisme. Mereka mengenal pemimpin administratif seperti bupati yang
merupakan warisan kolonial Belanda. Di Madura tidak ada yang bisa
dieksploitasi oleh Belanda, karena untuk itu sebagian besar penduduk
Madura dijadikan pekerja perkebunan. Kesenian tradisional di Madura
hidupnya di desa, bukan di kota. Ludruk adalah salah satu kesenian
rakyat yang hidup di desa. Kesenian Madura mengalami puncaknya di bidang
seni rupa dan seni sastra, misalnya kaligrafi atau seni hias.
Meski pernah mengalami puncak di bidang
seni rupa dan sastra, saat ini sastra Madura itu sudah terbunuh oleh
budaya modern. Sastra Madura mengalami puncak pencapaian tertinggi
ketika keraton Sumenep belum menjadi keresidenan. Namun kemudian
mengalami kemunduran. Meskipun demikian orang Madura tidak merasa
kehilangan karena bagi mereka yang disebut sebagai budaya Madura itu
adalah gabungan antara budaya Jawa dan Melayu. Jadi untuk mendeteksi
kebudayaan Madura, tinggal melihat kebudayaan Jawa dan Melayu saja,
inilah keuntungan orang Madura.
60 persen kosa-kata bahasa Madura berasal
dari bahasa Melayu. Sementara tata bahasanya serupa dengan bahasa Jawa.
Meski begitu, dibandingkan dengan bahasa Using, bahasa Madura lebih
jelas tatanannya. Sampai pertengahan abad ke-18, sastra Madura masih
memakai bahasa Jawa madya. Barulah kemudian pada akhir abad ke-18
menggunakan bahasa Madura tinggi, dan itupun tidak begitu berbeda dengan
bahasa Jawa. Bedanya hanya cara mengucapkan saja. Bangsawan-bangsawan
di sana rata-rata mengetahui bahasa Jawa.
Bukti-bukti otentik mengenai sejak kapan
sastra Madura berkembang masih belum ditemukan. Sebuah bukti yang
terdapat di Kebon Agung, sebelah Barat Sumenep, hanya menunjukkan bahwa
pada zaman kerajaan Singasari di Madura sudah dikenal tulis menulis.
Inskripsi menunjukkan angka tahun 1280 atau tahun saka 1212, dan tahun
1438 atau tahun saka 1360 (Zawawi Imron dalam Huub de Jonge (ed.), 1989:
181-205). Ada beberapa jenis bentuk sastra Madura, antara lain:
Dungngeng, berisi tentang budi pekerti, cerita fabel, dan legenda serta
cerita kepahlawanan seperti, Joko Tole, dan Trunojoyo. Lok-Alok, sebuah
jenis sastra lisan yang terdapat pada pacuan sapi atau karapan sapi.
Kemudian sastra lisan berbentuk puisi mainan anak-anak, yang berupa
kumpulan kata-kata yang bisa ditafsirkan bebas dengan unsur bunyi yang
cukup dominan, mensaratkan lompatan-lompatan imajinasi. Selain itu
sastra lisan Madura juga tertuang di dalam puisi ritual, yang digunakan
sebagai sarana tolak bala, biasanya terdapat di desa-desa terpencil atau
tepi pantai. Sampai pada tembang, pengaruh kesusasteraan Jawa pada awal
abad ke-20 terlihat sangat kental. Tembang biasanya berisi tentang
kisah atau hikayat zaman dahulu.
Perempuan Seni di Madura
Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Kalau tidak ada perempuan maka tidak akan ada masyarakat. Namun demikian kalau tidak ada laki-laki juga tidak akan ada masyarakat. Jadi keduanya merupakan sesuatu yang inklusif dan merupakan bagian integral dari masyarakat.
Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Kalau tidak ada perempuan maka tidak akan ada masyarakat. Namun demikian kalau tidak ada laki-laki juga tidak akan ada masyarakat. Jadi keduanya merupakan sesuatu yang inklusif dan merupakan bagian integral dari masyarakat.
Untuk konteks Indonesia, jika kita lihat
sebagian sejarah Indonesia, perempuan memegang peranan penting.
Misalnya, Teuku Malahayati pada abad ke-7 sudah menjadi panglima
angkatan laut di Aceh. Selanjutnya, lima orang raja Aceh itu adalah
perempuan. Melayu juga punya raja perempuan yang punya kekuasaan.
Sehingga permasalahan ketimpangan gender bukanlah menyoal tentang
ketertidasan perempuan oleh patriarki (laki-laki) saja, akan tetapi
lebih pada penindasan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.
Misalnya saja di keraton-keraton Jawa,
perempuan-perempuan bangsawan itu juga menindas perempuan lainnya. Jadi
persoalannya bukan gender, melainkan kelas. Di Eropa memang pernah
mengalami fase penindasan yang berbasis pada gender, karena setelah
revolusi industri timbul suatu masalah ketika lapangan perkerjaan yang
seharusnya dikerjakan bersama (perempuan), malah dipegang oleh
laki-laki. Hal tersebut terjadi karena masih ada anggapan yang bias
gender, karena laki-lakilah yang bisa melakukan pelayaran jauh, bisa
kemana-mana. Sementara perempuan tidak bisa, karena perempuan tugasnya
adalah reproduksi. Di dalam perang juga demikian, kalau perempuan ikut
berperang, maka habislah penduduk. Jadi karena perempuan jarang yang
ikut berperang, maka proses reproduksi tetap berlanjut.
Dikaitkan dengan permasalahan di atas,
perempuan di Madura juga tidak sepenuhnya mengalami masalah ketimpangan
gender. Perempuan di Madura memang tidak dijunjung seperti di Bugis,
tapi dia punya hak yang tinggi. Seorang istri bahkan bisa mengusir suami
ketika misalnya si suami ini tidak pernah memberi nafkah dan pergi
selama tiga bulan. Selain itu dia juga punya ilmu santet, sehingga kalau
seorang suami pergi jauh dan berhubungan dengan perempuan lain, sang
istri bisa membuatnya menjadi impoten. Jadi perempuan dan laki-laki di
Madura sangat berbeda daya seksnya. Perempuan Madura lebih tinggi daya
seksnya. Hal ini disebabkan karena adanya pendidikan seks yang diberikan
sedari kecil. Anak-anak perempuan usia 12 tahun menjelang pernikahan
sudah tahu ramuan-ramuan, serta pola gaya berhubungan seks. Pendidikan
ini memang sifatnya informal dari nenek atau ibu. Mereka punya konsep
kering atau basah. Kalau kering itu dianggap sehat, kalau basah atau
becek itu malah tidak sehat. Jadi perempuan yang akan menikah jangan
makan timun atau makanan yang mengandung banyak air karena tidak bagus.
Jadi daya seksnya dijaga.
Selain itu, perempuan Madura juga bekerja.
Kalau misalnya suaminya berlayar, maka istrinya di rumah akan membatik.
Inilah yang kemudian berkembang jadi seni rupa. Perempuan juga mengukir,
sebagai aktifitas seni dan produksi. Persentase laki-laki Madura yang
menikah dengan perempuan dari luar jauh lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan Madura yang menikah dengan laki-laki dari luar. Perempuan itu
adalah tempat pemurnian, kalau ibunya orang Madura, maka dia akan
dikatakan sebagai orang Madura murni. Kalu ibunya Jawa maka artinya
tidak murni berdarah Madura. Jadi kebudayaannya lebih bersifat
matrilinial. Kalau menikah maka pasangan itu akan tinggal di rumah orang
tua perempuan. Pengawasan yang ketat pada perempuan di Madura,
menyebabkan perempuan kurang bisa berpartisipasi dalam seni pertunjukan.
Dalam hal ini, sinden dan tandha’ muncul sebagai anomali dalam ruang
tradisi patriarki yang kaku di Madura.
Kekakuan masyarakat patriarki Madura, salah
satunya ditunjukkan dengan pola kekerasan, carok, yang dilegitimasi
secara kultural untuk menjadi sebuah jalan peneyelesaian masalah. Carok
sendiri biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama masalah perempuan,
istri atau tunangan. Kedua adalah soal tanah dan ketiga adalah soal
ternak. Tradisi carok ini berawal pada zaman kerajaan di Sumenep, ketika
setiap orang diharuskan untuk memelihara ternak. Kalau ternaknya
diganggu dia akan kena sanksi pajak. Kemudian pada saat itu jumlah
laki-laki jauh lebih banyak dari perempuan, sehingga konflik yang dipicu
oleh harga diri terhadap perempuan sering memunculkan carok. Yang
ketiga, jumlah tanah sangat sedikit sehingga menjadi sangat berharga.
Jadi carok juga disebabkan oleh kondisi politik dan kondisi ekonomi.
Dalam Islam sendiri carok tidak diperbolehkan. Tapi kenapa dilakukan,
karena ini adalah soal tradisi bukan agama. Persoalan tradisi itu,
kadang-kadang bisa merembes ke permasalahan yang lebih konkrit, seperti
seorang perempuan yang memilih profesi tandha’ yang cukup stigmatis,
lantaran dorongan ekonomi.
Kalau kita lihat kesenian-kesenian yang ada
di kota, pada umumnya yang menyanyi perempuan, hal itu tidak menjadi
masalah karena tidak ada larangan agama. Begitu juga dengan sinden.
Bahkan ada tempat pelacuran yang terdiri dari bekas tandha’ yang sengaja
dilokalisasikan. Masyarakat tidak merasa khawatir karena aktifitas yang
berbau seksual tersebut sudah dilokalisasi. Fenomena ini sudah terjadi
dari zaman raja-raja dulu dan ditaati sampai sekarang, masyarakat pun
tidak akan terganggu. Jadi hal ini dilindungi secara kultur sehingga
tidak diapa-apakan. Mereka biasanya punya rumah sendiri yang jauh dari
masyarakat. Kemudian di rumah itu juga ada penjaganya. Tempatnya berada
di satu kompleks kecil dan sudah berlangsung turun temurun. Mereka
umumnya bekas tandha’ dan profesional sehingga dibayar mahal. Mereka
betul-betul dididik seperti Geisha di Jepang, mereka bisa bermain
gamelan dan nyinden.
Sejarah masyarakat Madura telah menunjukkan
betapa mereka begitu tangguh, bertahan hidup (meski harus berimigrasi)
dalam menghadapi kondisi alam dan ekologinya. Sehingga kesenian dan
karya sastra yang menjadi produk kebudayaannya, telah meletakkan
perempuan pada posisi tinggi dan memiliki peran vital dalam formasi
sosial masyarakat Madura. Dalam hal ini, sejarah pergulatan perempuan
seni tradisi di Madura bisa menjadi sebuah blue print perjuangan
pembebasan perempuan dari kungkungan patriarki yang multiface.
Abdul Hadi WM
(disarikan dari hasil wawancara mendalam oleh Franditya Utomo)
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia