|Ferry Arbania| Musibah dan anugerah adalah dua hal yang tidak luput dari
kehidupan manusia. Agama telah mengajarkan bagaimana menyikapi kedua hal
tersebut. Saat mendapat musibah kita harus bersabar, dan itu baik bagi
kita karena dengan kesabaran, kita berharap Allah mengampuni dosa-dosa
kita. Jika mendapat anugerah kita harus menyikapinya dengan bersyukur,
dan itu juga baik bagi kita. Dengan bersyukur akan menambah tabungan
untuk bekal kehidupan kelak diakherat. Barang siapa bersyukur, Insya
Allah, Allah akan menambah nikmat kepada orang tersebut dan barang siapa
kufur, sesungguhnya azab Allah sangat pedih.
Sebagian orang lebih mudah untuk bersyukur tatkala menerima anugerah
dan kenikmatan dibandingkan bersabar saat sedang diuji dengan musibah.
Banyak orang menjadi putus asa dengan ujian berupa musibah dan memandang
musibah adalah sesuatu yang harus dihindari. Dengan doa, Insya Allah
akan menolak musibah yang akan terjadi, namun jika musibah sedang
menimpa atau telah menimpa diri kita, kita harus berusaha menyikapi
dengan sabar dan mengambil hikmah dibalik musibah tersebut.
Musibah sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan,
sesuatu yang menyedihkan dan lain sebagainya. Namun jika kita renungkan
sedikit ternyata banyak hal yang pada mulanya kita anggap sebagai
musibah pada akhirnya menjadi sebuah berkah bagi yang mengalaminya.
Hikmah di balik musibah tersebut ada yang kita sadari, namun banyak juga
yang kita lewatkan begitu saja. Ibarat murid disekolah, mereka akan
naik kelas setelah lulus ujian, demikian pula Allah akan menguji
hamba-Nya yang beriman dan akan mengangkat derajat dengan balasan di
dunia dan di akherat.
Musibah letusan gunung Merapi yang terjadi beberapa waktu lalu, telah
meluluh lantakkan hampir seluruh tanaman disekitarnya, semburan awan
panas telah menghanguskan sayur mayur di lereng-lerang gunung merapi.
Namun beberapa bulan berikutnya, tanaman dan sayuran sangat subur hijau
royo-royo yang membuat terkesima mata memandang dan menyejukan hati bagi
para petani. Dan masih banyak contoh-contoh lain yang dapat kita petik
hikmahnya dari sebuah musibah ataupun bencana.
Musibah tidak hanya berupa bencana alam, kesulitan ekonomi,
kekurangan bahan makanan, hilangnya gas dari peredaran, kesulitan
memperoleh lapangan pekerjaan seringkali menyimpan misteri hikmah
didalamnya. Dan bersama kesulitan terdapat kemudahan.
Secara ekonomi kami dibesarkan dari keluarga yang boleh dibilang
kurang mampu, hal ini bukan berarti kami tidak menyukuri nikmat yang
telah Allah anugerahkan. Untuk keperluan sehari-hari memang waktu kecil
adalah masa-masa yang berat. Belum pernah rasanya pergi ke sekolah waktu
SD memakai sepatu dan memakai tas. Berangkat sekolah dengan kaki
telanjang dan dengan tas kresek adalah hal yang lumrah. Saat berangkat
sekolah pun tidak jarang harus menunggu pakaian dicuci dulu, karena
hanya satu-satunya dan berangkat dengan pakaian setengah basah.
Walaupun kondisinya sangat berat, semangat belajar keluarga kami
sangat besar. Saat sekolah lanjutan berjalan kaki 6 km dalam sehari,
tidaklah begitu dirasakan. Sepulang sekolah menjelang Asyar kepingin
rasanya cepat-cepat sampai dirumah dan menikmati hidangan makan siang.
Kadang-kadang Sampai dirumah ternyata belum tersedia makanan, karena
ayah ibu juga baru pulang dari ladang. Maka kami harus membantu memasak
terlebih dahulu, itupun tidak semudah memasak beras, karena waktu itu
sehari-hari dengan nasi jagung, sehingga sebelum dimasak harus di tumbuk
dulu supaya menjadi tepung. Sambil menanak nasi, sebagian kami mencari
sayur atau umbi-umbian untuk dijadikan lauk.
Setelah istirahat sejenak, sehabis asyar kami mulai berangkat ke
ladang membantu ayah, berangkat membawa pupuk kandang yang sangat berat,
dan pulangnya membawa kayu bakar atau rumput buat pakan ternak. Sambil
perjalanan pulang pergi ke ladang yang lumayan jauh, biasanya saya
manfaatkan untuk sambil membaca pelajaran yang telah diringkas menjadi
potongan kertas kecil. Tangan kiri memegang keranjang dan sabit, tangan
kanan memegang catatan pelajaran.
Untuk membayar biaya sekolahpun adalah hal yang tidak mudah waktu
itu, tidak jarang kami menunggak SPP hingga beberapa bulan. Jika
pembayaran sudah jatuh tempo namun belum mempunyai uang, maka pagi-pagi
sehabis subuh kami bersama ibu mencabut singkong ke kebun dan dibawa ke
pasar. Harga singkong juga sangat murah waktu itu, sehingga supaya cukup
untuk biaya SPP kami harus mengangkut beban yang sangat berat, bahkan
pernah bawaan kakak sampai roboh. Saya juga tidak jarang membawa beban
berat (nyunggi) hingga sampai sekarang masih ada bekas cekungan karena
tekanan sekarung singkong yang saya bawa. Selain itu kami juga rajin
menguliti batang pisang lalu dijemur, setelah kering dijual untuk bahan
membuat keranjang tembakau (tombong). Hasil penjualan batang pisang
(debog) tersebut kadang untuk keperluan dapur, kadang untuk membayar
biaya sekolah.
Uang saku ke sekolah adalah sesuatu yang langka, jika teman-teman
yang lain ke kantin saat istirahat, saya lebih memilih berdiam diri di
kelas atau membawa bekal singkong yang saya masukkan dalam tas plastik,
dan saya makan dikebun dekat sekolah, karena malu jika dilihat
teman-teman. Waktu SMEA bekal yang dibawa juga masih setia, singkong dan
singkong, ya sesekali bisa ke kantin jika ada uang lebih, apakah sedih
hanya mbekel singkong, enggak juga tuh, biasa aja.
Bahkan saat SMEA, saya pernah sampai tidak berangkat sekolah saat
ujian nasional, karena sampai batas waktu yang ditentukan belum sanggup
melunasi SPP. Saya malah berangkat ke ladang membantu ibu memetik hasil
tani. Saya tidak bilang sama Ibu bahwa saya tidak berangkat karena belum
bayar SPP, karena saya khawatir beliau sedih jika mengetehuinya. Namun
baru sekitar setengah jam saya diladang, ada utusan pak guru yang
menjemput saya dan memperbolehkan saya mengikuti ujian walaupun belum
lunas. Akhirnya saya langsung berangkat ke sekolah yang berjarak 20an km
dengan membonceng utusan tersebut, dan walaupun tinggal sisa waktu
setengah, Alhamdulillah saya lulus saat pengumuman bahkan mendapat point
A pada mata ujian tersebut (Terima kasih pa Mulyono dan mas Supadi).
Menginjak kelas 3 SMEA saya membantu memasarkan dagangan koperasi
sekolah, dengan pembayaran setelah laku. Saya dapat membantu
sedikit-sedikit kebutuhan di rumah dari laba hasil penjualan tersebut
dan sisanya saya tabung. Setelah lulus SMEA dengan berbekal tabungan
sebesar 25 ribu saya merantau ke Jakarta untuk memperbaiki ekonomi
keluarga. Banyak lamaran yang telah dimasukkan namun tidak ada yang
dipanggil, pernah dipanggil sebagai Cleaning Service dan sempat saya
jalani beberapa bulan. Namun penghasilan yang diterima jauh dari cukup.
Pada saat yang bersamaan saya mencoba mendaftar sekolah kedinasan dan
Alhamdulillah diterima dan kuliah Gratis. Untuk biaya sehari-hari saya
sambil jualan kacang telur yang saya titipkan ke warung-warung saat
berangkat kuliah dan sorenya saya menagih hasil penjualan.
Dari tempaan kondisi yang sulit tersebut justeru memacu saya semangat
berdagang/berwirausaha. Setelah selesai kuliah usaha dagang tetap saya
teruskan. Dengan aneka dagangan yang lebih banyak, membuat kripik,
membuka warung indomi, cheese stick, dan lain-lain. Bahkan sempat
penghasilan yang saya peroleh dari berdagang hampir sepuluh kali lipat
dibanding dengan gaji, dengan dibantu sekitar 10 orang tenaga kerja dan
menyuplai lebih dari 400 toko serta beberapa supermarket.
Hingga saat ini, justeru berdagang menjadi hobi tersendiri yang
sangat membantu ekonomi keluarga. Hal ini mungkin tidak akan pernah
terjadi jika saya dibesarkan dari keluarga yang berkecukupan. Namun
karena kondisi sulit tersebut memaksa kami untuk menciptakan
peluang-peluang penghasilan. Dengan dipadukan dengan teknologi internet
berdagang menjadi lebih mudah dan lebih menyenangkan. Alhamdulillah
sudah banyak kemajuan yang saya peroleh melalui usaha dagang tersebut.
Membantu keuangan keluarga di kampung, tempat tinggal dan kendaraan roda
2 dan 4 walau sederhana sedikit banyak saya peroleh dari wirausaha
tersebut, walaupun materi bukanlah satu-satunya ukuran kesuksesan
seseorang.
Musibah dan anugerah, sukses dan gagal, jika diibaratkan dalam
perjalanan di kereta api, bisa saja seperti pemandangan kiri kanan rel,
sawah hijau membentang, gunung-gunung tinggi menjulang, air mengalir,
pohon-pohon, dan kadang pula menemui bebatuan terjal, sambungan rel yang
renggang, yang sedikit mengurangi kenyamanan, namun kita tidak terlena
dengan keadaan di sekitar perjalanan, itu bukanlah tujuan, tetapi hanya
pemandangan sekejap, tujuannya adalah suatu tempat stasiun/kota yang
masih jauh di seberang sana.
Demikian pula, musibah dan anugerah, gagal dan berhasil dalam
kehidupan adalah sebagai bumbu pemanis dalam mengarungi bahtera
kehidupan, tujuan akhir kita adalah kembali kepada Allah atau Tuhan kita
dalam keadaan yang diridhai, dan kebahagian yang tiada akhir.
Wallahu a'lam bishowab.
Sumber: www.eramuslim.com
Sumber Gambar: gemintang.com
Ada Hikmah Dibalik Musibah
By -
September 29, 2011
0
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia