Nasionalisme Puitis, Nasionalisme Satu Malam

FERRY ARBANIA
By -
0
Jember (beritajatim.com) - Apa hubungannya lagu 'Cinta Satu Malam' yang dinyanyikan Melinda dengan nasionalisme? Pakar kajian budaya Faruk HT menyebut nasionalisme saat ini sebagai nasionalisme satu malam.

"Nasionalisme adalah proses, bukan sesuatu sekali jadi. Terus-menerus dibangun, diproduksi, dan semua orang berperan mengonstruksinya," kata Faruk, dalam seminar nasional dalam rangka Pekan Chairil Anwar 2011, yang digelar Fakultas Sastra Universitas Jember, di Gedung Sutardjo, Rabu (18/5/2011).

Pada masa lalu, Soekarno bersama Muhammad Yamin menghidupkan wacana nasionalisme melalui jangkauan lintas etnis Majapahit dan Gajah Mada. Mohammad Hatta dan Sjahrir melakukan pilihan atas komunitas masa lalu yang lain, yaitu yang egaliter, tidak feudal seperti Majapahit dan Gajah Mada. Masa lalu yang diingat oleh kelompok yang kemudian ini adalah apa yang disebut dengan demokrasi desa, “gotong royong”.

"Nasionalisme masa lalu adalah nasionalisme ideologis. Sementara nasionalisme masa sekarang tanpa ideologi. Diam-diam ada konstruksi baru dalam membangun nasionalisme," kata Faruk. Nasionalisme ini tanpa narasi, dan terkait dengan konsumerisme.

Dalam makalahnya, Faruk mencontohkan, bagaimana pemandangan wilayah teritorial, geografis, sosial, dan kultural, dan bahkan, secara metaforik maupun metonimik, nasionalisme Indonesia direpresentasikan oleh banyak tayangan iklan komoditas dan juga tayangan program kuliner.

Sebut saja iklan rokok yang memiliki jargon dalam bentuk lagu: "I love the blue of Indonesia... You can taste me every where..." Menurut Faruk, sangat terasa nasionalisme didekati dengan pendekatan touristic yang konsumtif yang sesuai dengan isi lagu itu sendiri: "you can taste me every where".

Lebih lanjut, Faruk menyebutkan jenis nasionalisme puitis. "Nasionalisme konsumsi sesaat, yang heroismenya tidak akan kalah dari heroism perjuangan melawan penjajah, walaupun para korbannya tidak dimakamkan di makam pahlawan, tidak disediakan tugu kenangan. Nasionalisme itu adalah nasionalisme yang mudah lupa, mudah bosan, yang, seperti pengalaman puitik, menolak pengulangan," katanya.

Menurut Faruk, nasionalisme jenis inilah yang melandasi pengorbanan dana untuk tsunami atau gempa bumi, pengorbanan dana untuk Prita, pengorbanan “koin untuk sastra”, dan, tentu saja juga, pengorbanan “sukarelawan” untuk Ambalat, Sipadan, dan sebagainya. [wir]
(Rabu, 18 Mei 2011 18:20:27 WIB )Reporter : Oryza A. Wirawan

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)