Meraba Indonesia, Meraba Isu Tak Seksi

FERRY ARBANIA
By -
0
Meraba Indonesia, Meraba Isu Tak Seksi
 
Sabtu, 30 Juli 2011 22:38:22 WIB
Reporter : Oryza A. Wirawan

Jember (beritajatim.com) - Indonesia belum tuntas ditafsirkan. Setiap generasi haruslah menuliskan tafsir mereka sendiri atas Indonesia dan keindonesiaan.

Ahmad Yunus dan Farid Gaban, dua wartawan, memilih menafsirkan Indonesia dengan 'merabanya' melalui perjalanan sepeda motor Win 100 CC bekas yang dimodifikasi. Hasilnya 10 ribu frame foto, 70 jam video, dan cerita yang dibungkus dalam buku 'Meraba Indonesia: Ekspedisi Gila Keliling Nusantara'.

"Awalnya, kami ingin mengenal Indonesia lebih dekat. Kita sama sekali tidak punya data jelas tentang kondisi sesungguhnya pulau, alam, dan manusia," kata Yunus, dalam diskusi bukunya di aula Radio Prosalina, Sabtu (30/7/2011).

Indonesia yang dipahami Yunus adalah Indonesia khayali. Benedcit Anderson, Indonesianis asal Amerika Serikat itu, menyebutnya komunitas terbayangkan. Imagined Communities. "Kita sejak SD nyanyi dari Sabang sampai Merauke. Tapi kita tidak tahu bagaimana Sabang dan Merauke," kata pria yang pernah bekerja menjadi kontributor Yayasan Pantau ini, sebuah yayasan jurnalisme.

Mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Demikian Soe Hok Gie, aktivis tahun 1966 pernah berkata. Dan, Yunus tahu Gie benar. Dan itulah yang tidak pernah dipahami oleh elite politik Indonesia selama ini.

Para elite politik berjualan isu tentang kemasyarakatan. Namun, menurut Yunus, masyarakat tak peduli. Ini disebabkan para elite itu tak mau turun langsung ke lapangan dan mencari tahu persoalan di daerah.

Warga lokal menjadi bagian dari 'yang bisu'. "Dan semangat kami memberi suara pada yang tak bersuara," kata Yunus.

Masyarakat menjadi 'bisu', karena media massa lebih tertarik pada isu-isu drama politik macam skandal Nazaruddin dan Demokrat. "Kebijakan pelayanan publik di media massa dianggap kurang seksi, karena tidak ada dramanya. Isu pelayanan tidak menjual. Jadi kita coba keluar, dan mencoba memberi isu yang relatif sederhana dan tak dilihat orang," kata Yunus.

Maka Yunus pun memilih bercerita, bagaimana Sungai Kapuas di Sintang menyusut dan menjadi lapangan sepakbola. Ia bercerita tentang bagaimana susahnya urusan akses transportasi antar-pulau di Indonesia timur. Negara seolah tak hadir, pemerintah seolah tak ada di sana, mengulurkan tangan kepada warga.

Yunus merasa mereka tak memiliki ikatan apapun dengan Indonesia. "Mereka hanya menjalani kehidupan sehari-hari," katanya.

Akhirnya, Indonesia kita belum selesai, kata Yunus. "Tugas kita menulis tentang Indonesia seperti Sukarno dan Hatta lakukan dulu." [wir]

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)