Sjamsu Alam. (UGM) |
“Idealisasi usia perkawinan pada usia 21 tahun merupakan bagian yang sangat signifikan dalam merekonstruksi pemikiran hukum perkawinan di Indonesia,” katanya dalam ujian terbuka promosi doktor program studi filsafat di Universitas Gadjah Mada 12 Juli 2011. Rilis yang diterima Tempo, Rabu, 13 Juli 2011 menyatakan Sjamsu Alam lulus dengan predikat cumlaude.
Menurut Sjamsu, aturan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan usia minimal perkawinam bagi pria dan wanita masing-masing dipatok pada angka 19 tahun dan 16 tahun. "Jika tidak diubah, UU perkawinan di Indonesia akan dianggap melanggengkan perkawinan anak-anak,” kata pria yang berprofesi sebagai hakim agung di Mahkamah Agung ini.
Andi mencontohkan perkawinan antara pria 21 tahun dan wanita 19 tahun dianggap diskriminatif. "Itu artinya silakan laki-laki sarjana, sedangkan perempuan cukup SMA,” katanya. Idealnya, kata Andi, batas minimal usia perkawinan antara pria dan wanita ada di angka 21 tahun. Tapi, Sjamsu Alam tidak sependapat adanya peluang bagi perkawinan dengan selisih usia mencapai 20 tahun.
Lebih jauh Sjamsu Alam menjelaskan, pengaturan hukum perkawinan dengan ketentuan usia 21 tahun akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Indikasinya, pada usia 21 tahun akan terbangun keluarga yang sehat yang akan melahirkan generasi berkualitas. Tidak hanya dari segi lahiriah, tapi juga segi batiniah.
Dia mengkritisi perkawinan yang berangkat dari asumsi suami harus selalu lebih dewasa dan lebih cakap dari istrinya. Hal itu lantaran suami diposisikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan wanita ditempatkan sebagai pihak yang subordinatif.
Namun, kenyataannya, banyak rumah tangga berakhir dengan penceraian karena perbedaan mendasar antara suami-istri baik dari sisi kematangan usia. Bahkan, perbedaan status sosial dan ekonomi sering menjadi sumber perselisihan berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan ketidakharmonisan keluarga.
RUDY
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia