“Bali Inspires”: Puncak Karya Seni Rupa

FERRY ARBANIA
By -
0
Putu Supadma Rudana,
Project Director dari buku “Bali Inspires”
(foto:Dok.Destar)
|Ferry Arbania| PELUNCURAN buku “Bali Inspires” (Ilham dari Bali) digelar begitu agung malam itu (Sabtu, 21/5) di Museum Rudana, Ubud. Acara ini diawali prosesi Angkus Prana, dalam bentuk tarian yang bersifat reflektif meditatif yang memaknai buku yang merangkum sejumlah karya terpilih dari para maestro seni rupa Bali, Indonesia, bahkan dunia berikut kajian mendalam atas capaian kreatif mereka,yang ditulis budayawan dan kritikus seni rupa ternama, Jean Couteau.
Menurut President of The Rudana, Putu Supadma Rudana, buku “Bali Inspires” diterbitkan sebagai konsep memuliakan ketulusan. Dalam hal ini seni budaya Bali diharapkan mampu memberikan inspirasi bagi bangsa Indonesia maupun dunia bahwa betapa indahnya hidup ini jika bergelimang seni. Bahkan, Putu Rudana menyebutkan nama BALI mempunyai makna Beautiful, Amazing, Loving, Indonesia.Dengan demikian Pulau Dewata mampu memancarkan keindahan dan kecintaan bagi Indonesia, serta menginspirasi dunia agar menjaga perdamaian berlandaskan seni budaya.
“Melalui seni, kita tidak hanya menemukan keindahan. Di dalam sebuah karya termasuk juga seni rupa, terkandung buah pikiran dan kedalaman perenungan kreatornya akan berbagai hal. Karenanya, The Rudana kali ini secara khusus menerbitakan buku ‘Bali Inspires‘, yang tidak hanya bermakna sebagai suatu dokumentasi budaya, namun juga semofa dapat memberi relfeksi secara utuh akan makna hadirnya sebuah karya seni bagi Bali, Indonesia dan juga dunia,” ujar Putu Supadma Rudana, Project Director dari buku “Bali Inspires” yang belum lama ini diluncurkan di Museum Rudana serangkaian dengan Hari Buku Nasional yang jatuh pada 21 Mei 2011.
Terdiri atas 5 bab serta 312 halaman, buku “Bali Inspires” diterbitkan dalam edisi khusus berbahasa Inggris oleh Yayasan Seni Rudana serta BAB Publishing. Adapun sebagai penulis ialah Jean Couteau, kritikus, budayawan, serta curator yang menerbitkan buku-buku seni budaya, dan kerap diundang sebagai juri atau pembicara dalam event-event nasional maupun internasional. Buku ini juga diperkaya dengan beragam foto-foto karya lukis, patung, hingga topeng.
Buku Bali Inspires merangkum hubungan khusus antara Bali dan daerah lain di Indonesia melalui perspektif seni rupa. Secara umum, buku ini memaparkan bagaimana Bali menjadi ilham bagi seniman dan budayawan di pulau itu ataupun nasional, bahkan internasional. Couteau dengan cermat menelusuri gambaran besar historis warisan seni adiluhung Bali dan pembaruan artistik yang terjadi pada awal abad ke-20. Kemudian melihat bagaimana seni modern pertama kali muncul di Indonesia sebagai reaksi terhadap ‘Orientalisme’ seni kolonial. Penulis menguak pengalaman para perupa modern Indonesia yang menyerap teknik dan gaya Barat, namun berhasil mempertahankan keindonesiaan dalam karya mereka, dan bagaimana gambaran Bali memberikan kontribusi untuk proses ini. Secara paralel, kita memperoleh wawasan simbolisme Hindu dalam seni modern di Bali.

Putu Supadma Rudana menyerahkan "Bali Inspires" untuk tokoh agama di Pura Besakih
Terdapat tiga bahasan besar dalam buku setebal 312 halaman itu. Pertama, “An Island that Inspires”, yang menelusuri sejarah Bali dan juga kebudayaannya. Karya seni rupa Bali tradisional sangat kental dengan unsur Hindu. Dan ini tak lepas dari kenyataan mayoritas masyarakat Bali yang menganut Hindu. Ikon-ikon cerita Mahabharata maupun Ramayana mendominasi seni lukis tradisionalnya. Seperti lukisan pada selembar kain berjudul Sita Melabuh Geni (Sita’s Test of Fire). Lukisan itu diambil dari kisah Ramayana yang menceritakan Dewi Sita menceburkan diri ke dalam kobaran api untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama.
Membicarakan koleksi seni rupa tradisional Bali tentu tak lepas dari para senimannya, meski banyak di antaranya anonym (tak bernama). Salah satu maestro seni tradisional Bali adalah I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978). Lempad adalah seorang undagi atau arsitek tradisional dari Cokorda Gede Agung Sukawati. Ia dipercaya membangun candi air Saraswati.
Ketika ia melukis pada medium kertas, namanya menjadi sangat terkenal. Ia selalu memilih subyek legenda Bali dan kisah klasik dari mitologi Hindu-Bali. Karyanya, Jayaprana at the MarketJayaprana and Layonsari’s Wedding Ceremony, dan Love Scene from the Jayaprana Story, adalah sebagian dari lukisan yang digambar di atas kertas hanya dengan tinta, seperti sketsa halus tanpa pewarnaan di dalamnya.
Seni rupa tradisional Bali kemudian mengalami perkembangan pada awal abad ke-20. Lukisannya lebih rumit, detail, dengan gradasi pewarnaan yang makin kaya. Dalam kurun waktu ini ada seniman I Gusti Nyoman Moleh (1918-1997), I Made Gombloh, I Gusti Ketut Kobot (1917-1999), Anak Agung Gede Meregeg (1908-2000), I Dewa Ketut Ding (1920-1996), dan I Dewa Nyoman Tjita.

Karya Wayan Bendi
Buku ini juga memaparkan perkembangan seni rupa Bali selanjutnya. Seperti karya I Wayan Bendi berjudulModernity (1995). Lukisan itu menggambarkan kehidupan desa yang sudah disusupi oleh modernitas karena aktivitas pariwisata. Ada berbagai macam budaya berakulturasi di sana. Seperti sebuah cerita dalam sketsa besar, tiap sisi bidang penuh dengan ornamen.
Bagian kedua buku ini menjelaskan ihwal kajian seni rupa nasional. Couteau lebih menarasikan seni rupa modern Indonesia beserta perspektifnya dalam bab ini. Seperti karya Basoeki Abdullah berjudul Alone at the Crossroad.
Ada lagi karya maestro Affandi. Couteau menjelaskan siapa Affandi dalam buku tersebut. Selain itu, karya Srihadi Soedarsono berjudul Bedoyo Ela Ela-Moment of Meditation (2002) juga menjadi koleksi dalam museum ini. Ada pula karya Abas Alibasyah, Bagong Kussudiarjo, dan Sunaryo.
Seniman luar negeri, seperti Don Antonio Blanco, yang menetap di Bali setelah menikahi penari Bali, juga menjadi bahasan dalam buku ini. Karya Antonio Blanco tentang perempuan Bali sangat terkenal.
Menurut Couteau, seniman Bali mulai menghasilkan karya seni rupa modern setelah belajar di Jawa. Misalnya, Made Wianta, yang belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia), Yogyakarta. Karya-karyanya, seperti Blue Calendar atau Calendar, didominasi oleh pola geometrikal yang kompleks.
Buku "Bali Inspires"
Buku "Bali Inspires" merangkum puncak karya seni rupa
Bagian terakhir buku ini menjelaskan ihwal keluarga Rudana. Nyoman Rudana adalah pendiri Museum Rudana, yang didirikan pada 26 Desember 1995. Menurut Presiden Direktur Museum Rudana, Putu Supadma Rudana, selain museum, ada juga Rudana Fine Art Gallery, Yayasan Seni Rudana, serta Pusat Pengkajian dan Dokumentasi Rudana (Destar). “Semuanya berada dalam satu naungan The Rudana,” ujarnya.
“Buku ‘Bali Inspires’ boleh dikata adalah cermin bagi kita untuk melihat segala kemungkinan kreativitas serta makna yang tersimpan dalam berbagai karya para maestro seni. Lebih jauh lagi, ‘Bali Inspires’ adalah sebuah persembahan, didedikasikan kepada para pencinta keindahan yang meyakini bahwa seni kuasa mencerahkan setiap pribadi dan menginspirasi insan manusia guna menemukan tujuan hidupnya yang sejati,” ujar Putu Rudana seraya mengungkapkan apresiasi kepada tim penyusun dan pendukung penerbitan buku ini khususnya Bapak Joop Ave selaku Editorial Advisor. (Tim JB)
Sumber:journalbali.com Edisi June 11, 2011

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)