Sandyakala Sastra Mengkaji Karya Penyair Perempuan Era 80-an

FERRY ARBANIA
By -
0

Buku "2 di Batas Cakrawala"
|FerryArbania|Denpasar|Perkembangan kesusastraan Indonesia ditandai dengan maraknya penyair perempuan pada era tahun 80-an yang memperkaya khazanah puisi Indonesia.Forum Sandyakala Sastra ke-12 yang dihelat Bentara Budaya Bali berikhtiar membaca kreativitas Dhenok Kristianti dan Nana Ernawati, penyair perempuan  yang mewakili zamannya. Kedua ibu yang hingga kini konsisten untuk terus berkarya pada usianya yang menginjak 50 tahun, meluncurkan antologi puisi bersama berjudul “2 di Batas Cakrawala”, yang akan dikaji oleh dua pembahas, penyair dan esais Wayan “Jengki” Sunarta dan Ni Made Purnamasari.
Menurut Wayan “Jengki” Sunarta, Nana Ernawati dan Dhenok Kristianti, dua sahabat yang berbeda latar agama, sosial dan budaya,  pada masa 1980-an adalah dua penyair wanita yang cukup diperhitungkan, secara intens berkesenian di Yogyakarta, menulis puisi maupun cerpen, lalu mempublikasikannya di berbagai media massa dan sejumlah buku antologi puisi, di antaranya “Tonggak 4” yang dieditori Linus Suryadi AG, tokoh sastra yang sangat berpengaruh pada masa itu.
“Ditengah kesibukan masing-masing, sebagai ibu rumah tangga maupun berkarir, mereka hanyut dan tanpa sadar melupakan puisi.Di usia mereka yang setengah abad, puisi kembali hadir dan mengetuk pintu hati mereka. Pada titik ini, terjadi pertemuan yang begitu mengharukan, antara penyair dan puisi, antara orang tua dan anak rohaninya. Pengalaman mereka bisa jadi juga akan menimpa para penyair wanita generasi kini, yang mungkin telah menelantarkan puisi karena kesibukan rumah tangga dan pekerjaan. Suatu saat, puisi akan kembali menyentuh batin dengan ketulusan tak terkira,” ujar Sunarta, penyair produktif yang telah menerbitkan enam antologi puisi, yang juga alumini jurusan antropologi, Universitas Udayana, Bali.
Dalam kata pengantar bukun “2 di Batas Cakrawala” kedua penyair mengungkapkan bahwa puisi-puisi dalam buku ini dipilih dari sejumlah puisi yang mereka ciptakan selama berada dalam “persembunyian”, yang sungguh menyuarakan perasaan dan pemikiran mereka tentang berbagai masalah kehidupan. Buku ini bentuk lain dari kerinduan mereka pada masa aktif berkesenian, sekaligus pelecut semangat untuk meraih harapan yang lebih baik di masa depan, dalam konteks proses kreatif kepenyairan.
Dhenok Kristianti
Sedangkan penyair Ni Made Purnamasari memandang proses kreatif yang intens memungkinkan seorang kreator menemukan kematangan karya.”Upaya itu terbilang tidak mudah, sebab ia harus mampu mencari celah di tengah kerutinan hidup dan soal-soal di luar teks yang kerap menjadi batu sandungan bagi penciptaan. Maka ketika kandil kreativitas tersebut tetap menyala dalam diri seorang kreator, meski usia dan waktu mencoba ‘mengalahkannya’, ia sangat pantas untuk diapresiasi,” ujar penyair yang terpilih mengikuti Ubud Writer Reader Festival (UWRF) 2011 pada Oktober yang akan datang itu.
Pada galibnya selama ini kemandegan kreativitas kerap kali dikaitkan dengan usia. Seolah ketika tua, daya kreatif seseorang telah berkurang seiring kesehatan jasmaninya. Namun demikian, tak sedikit kreator yang tetap gigih berkarya di usia senja guna memaknai setiap detik hidupnya yang berharga. Setelah bebas dari penjara Salemba, Sitor Situmorang, seorang penyair sekaligus tokoh sejarah Indonesia, terus menulis hingga umurnya yang lebih dari 80 tahun. Ernest Hemingway, Knut Hamsun, dan sekian banyak penulis lainnya meraih Nobel Kesusastraan justru karena karya yang mereka gubah ketika tidak lagi muda.
“Kehadiran keduanya dapat dimaknai sebagai wujud nyata betapa kreativitas menjadi daya hidup para seniman. Menariknya lagi, Dhenok dan Nana sama-sama tumbuh di era 80-an. Kita dapat berdiskusi lebih jauh tentang fenomena perempuan penyair di masa tersebut sekaligus menelusuri posisi mereka di ranah kesusastraan Indonesia” ujar Ni Ketut Sudiani, anggota Komunitas Sahaja yang menjadi panitia acara.
Selain akan dikaji oleh dua pembahas, Wayan “Jengki” Sunarta dan Ni Made Purnamasari, puisi-puisi kedua penyair ini akan diapresiasi oleh Putri Suastini, Teater Angin, Kelompok Studi Teater Abu Bakar, dan berbagai kreator lain yang secara spontan akan merespon sajak Dhenok dan Nana.
Nana Ernawati
Adapun Dhenok dan Nana sama-sama tumbuh dalam pergaulan kreatif di Yogyakarta, di mana karya-karya mereka tersebar dalam berbagai rubrik sastra di media setempat maupun Jakarta. Mereka kemudian menempuh jalan hidup masing-masing, Dhenok Kristianti menjadi pengajar di Jakarta dan kini Denpasar, sedangkan Nana Kristianti aktif dalam berbagai bidang seraya tetap menulis.
Dhenok Kristianti, lahir di Yogyakarta, 25 Januari 1961. Pada tahun 80-an dikenal sebagai salah satu penyair wanita yang menonjol. Karya cerpen dan puisinya dimuat di Bali Post, Sinar Harapan, Nova, Kartini, Berita Nasional, Minggu Pagi, Basis,  antologi puisi Penyair 3 Generasi, Menjaring Kaki Langit, Tugu, dan Tonggak 4. Cerpen-cerpennya kerap memperoleh penghargaan sebagai juara dalam berbagai lomba. Nana Ernawati, lahir di Yogyakarta, 28 Oktober 1961. Karya-karyanya dimuat di berbagai media antara lain, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Sinar Harapan, dll, serta diikutsertakan dalam antologi bersama Penyair 3 Generasi, Tugu, dan Tonggak 4. (Ska/JB)
Sumber:journalbali.com Edisi June 23, 2011 

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)