by: Ferry Arbania
Oleh Ferry Arbania||Tujuh
hari tujuh langit tujuh bumi tujuh matahari dan tujuh penghasilan
manusia puncak dari keterasingan diri.Dua hati tujuh samudera,satu cinta
dua tubuh,butuh Asmara,hijau mengalir dari pucuk cemara.Sekuntum rindu
diterbangkan angin,hinggap didahan-dahan resah .Jemari dingin menyembul
dari jendela sukma yang tengah menatap segelas anggur putih kesuciaan ....
Dari
menit kemenit tujuh gunung tujuh warna tujuh belasan ,nuansa Pubertas
yang pulang pergi dalam kanvas sejarah,kemerdekaan tergadai,,rintik
hujan yang menetas,terkelupas menjadi puting badai,meneteki pedih bumi
yang geram.
“selamat datang pasukan surga”.
Kilau mutiara telah menggelantung pada lengkung kitab turast,ikhtibar yang menorehkan kisah pelaut,gembala bermalam di sehelai sprey basah gunung-gunung kerucut hitam,senantiasa mengumandangkan aromanya yang berdenyut-denyut ,mengantongi sebatang sigaret dari surga;andai kelam tak mengalungkan pelangi pada buah pantatmu yang kenyal dan menguning ,mungkin sajak kemarau sudah gugur dalam orgasme waktuku,malam ini
Kilau mutiara telah menggelantung pada lengkung kitab turast,ikhtibar yang menorehkan kisah pelaut,gembala bermalam di sehelai sprey basah gunung-gunung kerucut hitam,senantiasa mengumandangkan aromanya yang berdenyut-denyut ,mengantongi sebatang sigaret dari surga;andai kelam tak mengalungkan pelangi pada buah pantatmu yang kenyal dan menguning ,mungkin sajak kemarau sudah gugur dalam orgasme waktuku,malam ini
Kepak
rindu telah bersayap-sayap dalam rumah tak berpintu;pun ketika bibir
tasbih bersahutan dalam isak tangis pengantin,keranda hati kita yang
bergetar,kembali datang diusung bimbang.Cakrawala luas janji kita,adalah
sarang kecemasan burung di nadi ku,dan bulan sabit jingga itu,adalah
rindang tatap mu .yang kutemukan dipertiga malam,lantaran
Dalam di jiwa ada batu
sungai-sungai dan laut kesangsian lumut
mencipta percik dari ringkik musim gugur,
sampai pun kaki Ismail terjulur kerahim zamzam
Ibrahim datang dengan haus pedangnya,
mengembalakan seruling Daud yang meliuk-liuk dalam irama hati
“duh”.
Dalam di jiwa ada batu
sungai-sungai dan laut kesangsian lumut
mencipta percik dari ringkik musim gugur,
sampai pun kaki Ismail terjulur kerahim zamzam
Ibrahim datang dengan haus pedangnya,
mengembalakan seruling Daud yang meliuk-liuk dalam irama hati
“duh”.
pengantin itu,kembali membuka nyayian pantatmu
meramu hasrat menjadi ayat,
wujud Qidam Baqa’
a ,I,u,
aura
telah menindih kepura-puraan
kembang kempis ombak
bernapas dalam gemetar jantung
ketika laut maha menagih janjiku
aku tak bisa berujar kecuali mengerang,bahkan pada burung yang bersiul dijendela bibir mu yang lembab,
aku lupa menjawab panggilan subuh-Mu
meramu hasrat menjadi ayat,
wujud Qidam Baqa’
a ,I,u,
aura
telah menindih kepura-puraan
kembang kempis ombak
bernapas dalam gemetar jantung
ketika laut maha menagih janjiku
aku tak bisa berujar kecuali mengerang,bahkan pada burung yang bersiul dijendela bibir mu yang lembab,
aku lupa menjawab panggilan subuh-Mu
“terlalu nikmat untuk sekedar pantat”.Kalimat arif yang menyilet
namun terlalu hitam noktah kamar mu memalam-i hasrat diubun-ubunku
namun terlalu hitam noktah kamar mu memalam-i hasrat diubun-ubunku
bulan dirahimmu telah kubalut dengan riuh bom.
maka perih yang tumbuh dari pergesekan kelamin itu
telah membangunkan jerit debu-debu diranjang mu
telah membangunkan jerit debu-debu diranjang mu
keniscayaan jagad ?
menguntum aroma sayang,
lalu kucipta kembali kamar bebunga
dengan salam kehangatan Rabbku,
menguntum aroma sayang,
lalu kucipta kembali kamar bebunga
dengan salam kehangatan Rabbku,
13 Januari 2010
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia