Karya: Ferry Arbania
Malam itu bidadariku marah-marah
dan mengajakku bercerai muda, lantaran birahinya yang memuncak tak segera
terbalas. Entah kenapa sesuka ria ini dia berharap jarum suntuk kutusukkan di
pangkal gairahnya. Alhamdulillah, aku bisa menuliskan kata.
Sebelum tangan ini benar-benar
menguliti putih kulit permaisuri hatiku, kubiarkan saja pandangannya mendekat
dalam gemuruh jantung. Sembari menatap
lebih dekat, kueja kembali kekenyalan hasrat yang hendak tertuang kembali malam
ini.
Sepuluh menit sudah berlalu,
kubiarkan saja gemulai tubuhmu bermandi syahwat, Kubakar sebatang kretek dari
penyair yang menyulutkan api lewat sajak-sajak rinduku.
Ada senyum lain bermain dan mencumbui dengan kata. Kudekap gaun merah jambu, sepadan warna lipstikmu dikamar hatiku. Entah kenapa, tak ada belati terhunus ditas dipan dan spring bad putih romantika pengantin. Pandangan mata bersitegang melompati liuk tubuh yang terumpan.
Ada senyum lain bermain dan mencumbui dengan kata. Kudekap gaun merah jambu, sepadan warna lipstikmu dikamar hatiku. Entah kenapa, tak ada belati terhunus ditas dipan dan spring bad putih romantika pengantin. Pandangan mata bersitegang melompati liuk tubuh yang terumpan.
Bagai ikan dilaut lepas, kusambar
daun pintu yang terbuka sempit. Akh, imajenasiku kambuh, bulu-bulu kerakusan
tiba-tiba menumbuh diatas bukit. Burung-burung ditanah kerontang, mendongakkan
kepala, sembari meriuh desah pada telaga jiwa.
Remang-remang cahaya lampu,
timang-timang buah jambu, kupeluk juga aroma sumbu yang tercelup di sebotol
madu. Kau bantu aku menuntaskan kretek yang tinggal satu. Kau menikmatinya
dengan tersipu, kumerayu, kaupun mau.
“Akh, batang rokok mu ini
kekasih, makin nikmat saja tanpa suara”, katamu menandai petualang akhir
sebatang syahwatku yang hilang.
22 Juni 2011
22 Juni 2011
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia