By: Ferry
Arbania
Seribu kali
menuliskan puisi
Seribu kali
itu pula ketemukan wajah duia tanpa senyuman
Bidadari
cinta menorehkan rayu pada rengkuh tafsirku
Sedang
selebihnya hanyalah kebisuan kata yang terucap, kaku.
Tangan-tangan
ini hendak menggapai sajak-sajak dunia
Namun begitu
terbayang wajah negeriku yang mangsai
Kubiarkan
percik imajenasiku meliar
Tanpa kehadiran
publikasi dan media massa.
Mempertahankan
kebenaran bukanlah mustahil dan sulit dicari
Walau pada
kenyataannya tak segampang memasak nasi
Orang-orang
waras dinegeri ini seakan sembunyi entah kemana
Membiarkan
pencari keadilan telanjang dada dijalanan
Sambil
meneriaki pejabat mereka yang makin tenggelam dalam kerakusan.
Entah bahasa
apalagi yang mesti diucapkan
Ketika poster-poster
dan spanduk para pengunjuk rasa bertuliskan “jangan hianti amanat rakyat”
Kaupun lebih
nyaring menyeringai dan bertriak dikoran-koran dan layar telivisi
“Jangan
salahkan kami, kami sudah beri apa yang kami miliki”.
Krisis
kepercayaan yang meluber di seantero negeri berkeyakinan Pancasila
Kenapa masih
marak dengan permusuhan dan penindasan
Corong-corong
demokrasi yang menyala di setiap sudut kota
Seakan
melegitimasi pengingkaran yang terencana, begitu juga ambisi kekuasaan,
meregang nyawa.
Wajah-wajah
perjuangan yang tengah mabuk dirindu kebebasan
Hari ini
kembali mengernyitkan dahi
dan gelengan kepala
Lantaran suara mereka nyaris terabaikan
Bahkan tak
jarang hanya jadi menu berita yang menyakitkan.
Para patriot
bangsa, makin terkepung dalam sayembara
politik yang merajalela
Kepentingan
dan kekuasaan telah mencabut hati dari kemanusiaan yang menyala
Jiwa-jiwa
pemimpin yang tersesat, senantiasa mengubur nurani pada lumbung pencitraan
Begitu rapuh
dan lumpuh, meski kedzaliman selalu tampak angkuh dan menawan.
“jangan
manjakan kami dengan kegombalan Tuan-tuan dan Nyonya”. Pintaku padamu , Amin.
Sanggar Kopi
Madura, 16 Juni 2011
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia