PUISI
MENULIS KATA
By: Ferry
Arbania
Orang bilang
menulis puisi buang-buang waktu,
tak menghasilkan apa-apa.
Lainnya lagi bilang hanya menambah kecambah
uban dikepala
Aku percaya saja, sebab mereka punya hak
menyampaikan kata.
Aku tetap saja menulis puisi.
Sebab pada puisi, kutemukan arti hidup mengenali diri.
Tuhan bilang:
“Kenali
dirimu sendiri”,
kuyakin bisa
mengenali-Ku.
Kubungkam
ragu demi menuliskan bongkahan-bongkahan kata pada puisi.
Kutemukan
penyair-penyairku berseberang teori,
Beda baju,
Beda ragu,
beda guru,
beda pula Tuhannya.
Bagiku,
inilah fenomena puisi
Buah dari
ranumnya diksi-diksi dan abdi,
Meski kadang
tak jelas arti
Untuk siapa
mengabdi, pengabdian yang juga entah
bagaiman lagi?,
“Terus saja
menulis.
Jangan
risaukan lolong perbedaan.
Bukankah dengan cemooh,
puisimu menjalani arti”.
Hidup ini
bukan teka-teki
Dan Tuhan mu
tidak akan pernah mati,
begitu juga dengan
puisi, punya tempat pada hati, bukan basa-basi.
Hidup
penyair memang tak segemerlap bintang dan forum diskusi.
Tapi arti, siapalagi yang hendak menyaingi?.
Keyakinan
inilah yang akan membesarkan puisi menjadi evaluasi, bahkan revolusi.Bukan
repot nasi. Sedang kecerdasan diksi akan
terpelihara bagai mantra. Senantiasa berucap dalam terang, meski gelap kadang
mengumpan api.
Tuhan dan
puisi-puisi yang mati
Terletak
pada kidung interpretasi
Jika lautmu
melahirkan gelombang
Untuk
apalagi menanam jiwa pada bimbang
Teruslah
menulis sampai mati
Sebab hidup
adalah ilustrasi
Senandung
getir dan kesenangan yang palsu
Bersungguh-sungguhlah
mencintai sajak –sajakmu.
Dunia telah
menyempit dilayar blackbarry
Lantas pada
siapa lagi kita luaskan diskusi
Kalau bukan
pada cinta
Puisi kehidupan
kata kita.
00:44/15/6/2011
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia