Sehelai Kain dan percakapan sunyi

FERRY ARBANIA
By -
0
by: Ferry Arbania

      laut ini telah lama tak bergelombang, Ibu
           hanya irama kasihmu yang mengalun lembut di nadiku
                  memancarkan kemilau cinta yang berbukit-bukit dilangit ketujuh
                        "Allah".

                               Aku merindukanmu, Ibu
                                     sutera kasihmu senantiasa mengancik rinduku
                                           pada bait-bait sepi yang tak mampu kuterjemahkan
                                                 kecuali dengan air mata do'a
                                                      sambil sesekali menuliskan aksara fatiha
                                                            dan  yasin.

                                                                  Kutahu Ibu tak pernah 
                                                                           mengharapkan sesuatu dari anakmu
                                                                                yang papa ini,


kupahami Ibu tak kan pernah menadah sebentuk pemberian apapun.
Ibu hanya berharap
dan merekomendasikan aku dalam d0'a-do'a mu,
agar Tuhan senantiasa mengalungkan predikat sholeh  kehambaanku.
Menjadi bekal ibadah yang berkepanjangan dan tak pernah henti mengalir. 

"Hiasi kuburku dengan amal kebajikanmu nak
jangan tangisi sesuatu yang telah di-reward-kan Allah atasmu
jangan kecewakan amanah ini
kau pasti menjadi teladan"

"jangan pernah menanak sangsi di atas puing-puing kebimbangan
sebab keyakinanmu adalah senjata menuju surga
biarkan orang menyingkir dari jamaah  modern yang sesat,
lantaran waktumu sudah tak panjang lagi".

Teruslah berjalan diatas keyakinanmu, Nak.
jangan lupa untuk menyirami  rumahku dengan fatiha, ayat-ayat suci,
bacaan-bacaan pengampunan sehabis lima waktu.


aku tak benar-benar mati,
aku hanya istirahat disini,
menenangkan sensus penduduk yang tergesa-gesa ini.

                                        Yakinlah Nak,
bahwa kita ini bukan siapa-siapa,
kau pasti kembali juga ke tanah, sama seperti aku yang terbaring dingin, meratap kenangan, sambil menatapmu dan  anak cucuku yang lain. 

"Jangan serakah Nak, kau tak kan pulang membawa secuilpun milikmu" . Kamar ini terlalu sempit dan pengap, tak ruang untuk menaruh bantal diatas kepala. Orang-orang sudah semakin sangar anakku, lihatlah keserakhan mereka dibalik gedung mewah yang gemerlap. 
Tangan-tangan kekuasaan mereka sepertinya hendak menggali rumah kami yang tak berjendela. Mereka menyangka rumah ini dipenuhi lempengan emas dan berlian. Hingga sebagian kubur-kubur kami di singkirkan, disamaratakan dengan tanah dan ambisi mereka yang tak pernah selesai.

"Terimakasih Ibu telah mengingat anak-anakmu yang durjana ini"

Sumenep,13052010 disepertiga malam

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)