Setangkai Sunyi

FERRY ARBANIA
By -
0
by: Ferry Arbania
Malam ini angin  terasa begitu menggigil dan menyeret bulu kudukku kearah tenggara. Batu manikam, lempengan emas dan minyak bumi yang meruah, sepertinya malam ini akan dikuras habis oleh ketakutanku yang menjelma keranda.

Disekelilingku, dikamar  pengap berpagar kamboja putih, pucat. Sesobek kain menggelantung di kamar mandi tua. Angin menliukkan secarik benang yang tergeletak diujung nisan, memandikan sesalku pada langit-langit usia.

 Tuhan Maha hidup
sedang aku hidup dalam kematian senyap
menandai bayang-bayang cinta dan kebencian hati
dari sejumput setia yang kau lepas sehabis rokaat.

seribu suara berbisik dan merintih dikedalaman sepi
kau datang tanpa suara, namun rintihanmu jelas mengalir, menyeruak disela bumi yang kuinjak dingin, pengap dan mengerikan.

Apakah cinta benar-benar ingin kau padamkan,
mencabut  cahayanya  hingga gelap gulita,
dan kau biarkan sebentuk pengharapan menjadi secarik nestapa?

wahai sang pemuja,
gugurkanlah janin kebencian ditaman hatimu,
lalu datanglah padaku dengan setia.

lihatlah istana yang kita bangun dengan air mata,
kini telah menjulang menakar salam dibibir bintang
kenapa hendak kau robohkan menara cinta itu,
bukankah engkau yang senantiasa mengajari aku agar senantiasa pandai menyimpan rasa?

mendekatlah permaisuri hatiku
jangan biarkan angin malam meyilet perkawinan setia
lalu melempar keniscayaan pada rumput dan ladang sesal yang sia-sia.

bisakah jemput pengharapan ini,
atau kau biarkan kosong dan remuk menjadi santapan luka
sudah renta kalimatku kekasih,
tak ada yang lebih muda lagi buat sekedar menyusun kegombalan,
lantaran rumah hati ini, telah kupagari dengan abjad-abjad namamu.

pergi dan pulanglah pada halaman rinduku,
sebab tak ada lagi yang mampu mengusir tangis bianglala,
keculai maut dan rekah bibirmu menguncup di kuburku yang dingin.
Tags:

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)