Dimensi Kehidupan Manusia dalam Teks Sastra

FERRY ARBANIA
By -
|Ferry Arbania|
Hingga sekarang, agaknya belum ada definisi sastra yang benar-benar sahih dan memuaskan. Benarkah sastra bisa menjadi sarana yang tepat untuk menyampaikan ajaran? Benar jugakah kalau orang mendefinisikan bahwa sastra adalah tulisan yang indah dengan menggunakan bahasa sebagai medianya? Tidak salah jugakah kalau orang mengatakan bahwa sastra merupakan tafsir terhadap berbagai peristiwa hidup dan kehidupan manusia pada setiap peradaban?
Agaknya, sastra memang tidak perlu didefinisikan. Siapa pun mereka, berhak untuk menafsirkan sastra beserta pernik-perniknya sesuai dengan alur logika dan emosinya masing-masing. Dengan menabukan monotafsir tentang sastra, maka kehidupan dunia sastra justru akan makin berkembang, dinamis, dan luwes sesuai dengan gerak zaman yang memolanya. Meski demikian, ada satu hal yang –menurut hemat saya– menjadi sebuah brand dan ikon dunia sastra, yakni adanya dimensi kehidupan manusia. Bisa jadi apa yang dituturkan dalam teks sastra bukan manusia yang “berdarah dan berdaging” –khususnya pada “sekte” simbolik– tetapi esensi persoalan yang ingin diungkap berkelindan juga dengan kehidupan manusia itu sendiri.
Menurut pemahaman awam saya, sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar dari dimensi kemanusiaan, lengkap dengan segala thethek-mbengek yang bergelayut dengan masalah kehidupan manusia dengan segala problematikanya yang begitu majemuk. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan sebagai sumber ilham bagi para sastrawan yang kemudian ditarik dalam khazanah imajinasi untuk dihayati, direnungkan, diendapkan, kemudian disalurkan dalam wujud karya sastra. Saya pikir, seorang sastrawan mokal akan menghindari proses kreatif semacam itu.

Dalam konteks demikian, manusia, masalah, dan lingkungannya itulah yang menjadi titik bidik para sastrawan dalam berproses kreatif. Seorang sastrawan, kebanyakan juga seorang intelektual. (Istilah intelektual tidak selalu merujuk pada derajat dan tingkat pendidikan). Mereka memiliki daya penalaran yang tinggi, mata batin yang tajam, sekaligus memiliki daya intuitif yang sangat peka. Dalam hal ini, karya-karya sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sang sastrawan.
Sebuah keabsahan jika dalam teks sastra kita jumpai unsur-unsur ekstrinsik yang turut mewarnai karya sastra, seperti filsafat, psikologi, religi, gagasan, pendapat, sikap, keyakinan, dan visi lain dari sang pengarang dalam memandang dunia dan kehidupan. Unsur-unsur ekstrinsik itulah yang menyebabkan mengapa karya sastra tak mungkin terhindar dari amanat, tendensi, unsur mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Sastrawan akan terus berupaya menyalurkan obsesinya yang begitu dahsyat mendesak-desak gendang nuraninya agar mampu dimaknai dan dinikmati oleh pembaca. Visi dan persepsi sang sastrawan tentang eksistensi manusia diharapkan akan bisa ditangkap dan dicerna oleh pembaca, agar pembaca, paling tidak, terangsang untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak memiliki kecenderungan untuk memuaskan kebuasan hati. Ini artinya, persoalan amanat, tendensi, unsur edukatif, dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam karya sastra. Bahkan, unsur-unsur tersebut merupakan unsur paling esensial yang perlu digarap dengan catatan tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab, kalau sebuah tulisan hanya mengumbar pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya bukan karya sastra, melainkan hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang meng-ekspose kejadian-kejadian negatif yang tengah berlangsung di tengah masyarakat.
***

Barangkali kita masih ingat luncuran konsepnya Paulo Freire yang mengatakan bahwa rakyat seharusnya jangan hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, tetapi justru harus dijadikan sebagai subjek. Pernyataan ini menyiratkan makna bahwasanya rakyat (wong cilik) adalah sosok manusia yang paling berat dihimpit ketidakberdayaan. Sanggupkah karya sastra mengentaskan ketidakberdayaan yang menghimpit rakyat? Secara langsung tidak memang. Akan tetapi, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat pembaca mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia secara langsung dan sekaligus mampu memberikan pencerahan dan katharsis terhadap berbagai persoalan hidup.
Pada mulanya, karya sastra memang untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk dipahami. Akan tetapi, mengingat bahwa karya sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka persoalannya menjadi lain. Karya sastra berkembang sesuai dengan proses kearifan zaman sehingga lama-kelamaan sastra pun berkembang fungsinya. Yang semula hanya sekadar menghibur, pada tahapan proses berikutnya karya sastra juga dituntut untuk dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi pembaca. Hal ini relevan dengan idiom sastra “Dulce et Utile” (menyenangkan dan berguna).
Memang, persoalan estetika tak mungkin dilepaskan dalam sastra. Akan tetapi, untuk menghindar dari berbagai persoalan etika, nilai-nilai moral, dan fenomena-fenomena sosial yang tengah bergolak di tengah masyarakat juga mokal. Jadi, keduanya sama-sama penting kehadirannya dalam karya sastra. Karya sastra yang hanya bertaburkan bias-bias keindahan dan hanya melambungkan khayal yang bombastis, zonder diimbangi adanya dimensi kehidupan manusia, sama saja kita berhadapan dengan rumah sakit yang megah, tetapi tak ada pasien yang dirawat. Kehadirannya menjadi tak bermakna.
Sastra tidak lagi memburu pegangan nilai-nilai moral, kesetiakawanan sosial, dan segala thethek-mbengek persoalan manusia. Dus, dapat ditarik sebuah sintesis bahwa selain aspek estetika (tipografi), karya sastra juga harus menampilkan aspek etika (isi) dengan mengungkap nilai-nilai moral, kepincangan-kepincangan sosial, dan problematika kehidupan manusia beserta kompleksnya persoalan-persoalan kemanusiaan.
(Tulisan ini sekaligus ingin mencoba untuk merespon komentar Bu Enny, Mas Tukang Kopi, dan Pak Slamet pada tulisan saya sebelumnya).
***
Seperti sudah saya singgung bahwa teks sastra yang baik sudah seharusnya mengangkat persoalan dan dimensi kehidupan manusia. Ibarat sebuah cermin, teks sastra memantulkan nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menyentuh kepekaan nurani pembacanya untuk melakukan pencerahan dan katharsis jiwa. Tentu saja, teks sastra tidak akan pernah melepaskan diri dari persoalan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa dalam teks sastra, dengan sendirinya, tidak sekadar digunakan untuk mendeskripsikan berbagai peristiwa kemanusiaan itu, tetapi juga digunakan untuk memberikan efek emosional tertentu kepada pembaca. Melalui bahasa dan muatan nilai yang terangkum dalam teks sastra itulah pembaca bisa menemukan banyak kandungan nilai kearifan hidup dan nilai-nilai luhur hakiki lainnya. Dengan kata lain, ada dua aspek yang menonjol dalam teks sastra, yakni muatan nilai (isi) dan style (bahasa) yang digunakan sang pengarang.
Ada banyak ragam dan jenis muatan nilai serta style yang diangkat oleh para sastrawan ke dalam teks sastra yang diluncurkannya. Bahkan, mengusung banyak aliran di dalamnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik dalam dunia imajinasi sang sastrawan. Teks sastra dengan berbagai muatan nilai dan style yang beragam dengan mengusung berbagai aliran semacam itu justru harus dimaknai sebagai dunia otonom yang mampu merambah ke berbagai versi yang tak terbatas dan bertepi, baik dari aspek bentuk (keindahan) maupun isi (amanat)-nya. Biarlah setiap sastrawan dengan berbagai macam aliran yang dianutnya berderap dan bertiarap sesuai komando zaman yang memolanya.

Persoalannya sekarang, apa yang membedakan antara teks sastra dan nonsasatra? Dalam pemahaman awam saya, dua aspek tadi (muatan nilai dan bahasa) bisa dijadikan sebagai unsur pembeda. Dari aspek muatan nilai, teks sastra selalu mengangkat persoalan dan dimensi kemanusiaan dengan beragam persoalan hidup yang rumit dan kompleks. Dari aspek ini, teks sastra tak jarang menciptakan konflik-konflik kemanusiaan yang mampu membangkitkan kesan emosional tertentu kepada pembaca, semacam sikap empati, haru, sedih, gembira, dan semacamnya. Dengan kata lain, nilai-nilai yang diangkat dalam teks sastra mampu mengajak pembaca melakukan refleksi dan katharsis diri untuk menemukan makna kearifan dan kesejatian hidup. Tak berlebihan kalau ada yang menyatakan bahwa membaca teks sastra tak ubahnya menjelajahi jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos), tempat diproyeksikannya berbagai persoalan manusia melalui perilaku tokoh yang diciptakan sang sastrawan.
Dari aspek bahasa, teks sastra seringkali menggunakan bahasa metaforik yang mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung, bahkan simbolik. Selain itu, juga banyak menggunakan idiom dan majas yang cukup terjaga secara estetis. Itulah sebabnya, teks sastra membuka banyak kemungkinan penafsiran (polyinterpretable) karena penggunaan bahasa yang cenderung emotif, intuitif, dan sugestif. Itu sah-sah saja.
Coba kita simak kutipan monolog seorang perempuan bunting dalam cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto berikut ini!
“O, rahim semesta. Demikian agungkah Engkau? Rahimku mengandung diriku sendiri, di mana aku bermain-main di dalamnya dengan tenteramnya.”
Sebuah kutipan yang indah sekaligus mengandung muatan nilai kemanusiaan yang kompleks, bukan?
Ini hanya sekadar contoh. Masih banyak style sastrawan lain yang dapat kita temukan lewat teks-teks kreatifnya. Hingga saat ini, saya masih percaya pada pernyataan Horace bahwa esensi teks sastra terletak pada “Dulce et Utile”-nya itu (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan karena kita mendapatkan hiburan dan gizi batin yang mencerahkan lewat penggunaan bahasa yang indah. Berguna karena mengangkat persoalan dan dimensi kehidupan manusia yang menyentuh nurani dan empati kita terhadap nasib sesama melalui tokoh yang diciptakan sang pengarang.
Dari sisi ini jelas bahwa teks-teks yang hanya sekadar memburu aspek hiburan dan selera pasar, zonder memperhatikan dimensi kehidupan manusia, agak sulit digolongkan ke dalam teks sastra. Apalagi, kalau teks-teks tersebut justru memicu adrenalin pembaca untuk melakukan tindakan tak terpuji.
(Mohon maaf kalau tulisan ini belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Kebetulan saja, saya tidak menggunakan pendekatan dan teori yang justru kerapkali membingungkan). Nah, salam budaya! ***(sawali.info)