Rekonstruksi Citra Budaya Madura

FERRY ARBANIA
By -
0
|Ferry Arbania|Oleh: Kadarisman Sastrodiwirjo
Tema dialog yang diselenggarakan RRI Sumenep (9/12/2006) yang lalu bertajuk “Membangun Kembali Citra Positif Budaya Madura” dipastikan berangkat dari keyakinan bahwa Budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotype tentang orang Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan.
Nilai-nilai sosial sebuah budaya, menurut Latif Wiyata bersifat lokal dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya. Sejalan dengan ini, seharusnya Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang religius, yang berkeadaban dan sederetan watak positip lainnya. Akan tetapi keluhuran nilai budaya tersebut pada sebagian Orang Madura tidak mengejawantah karena muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam menyelesaikan masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (Giring, 2004). Akibatnya, timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.
Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang Orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra Orang Madura yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura, ternyata hampir semuanya berubah 180 derajat pandangannya tentang Orang Madura. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa Orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima tamu.
Citra negatif ini pula yang kemudian melahirkan sikap pada sebagian Orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai Orang Madura, karena Madura identik dengan keterbelakangan atau kekasaran Keadaan ini harus diakhiri. Perlu dilakukan upaya untuk menunjukkan bahwa Orang Madura dan budayanya tidak sejelek yang diduga orang lain.
Upaya pertama adalah membangun citra positif. Membangun citra ini dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari Budaya Madura. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi yang cermat nilai-nilai sosial budaya yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan dalam pelbagai parebhasan, saloka, bangsalan atau paparegan yang banyak memuat “bhabhurughan becce’”.
Nilai-nilai ini perlu dipilah menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah nilai-nilai yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Di antaranya adalah ungkapan-ungkapan : “Manossa coma dharma”. Ungkapan ini menunjukkan keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu, “Abhantal ombha’ asapo’ angen, abhantal syahadad asapo’ iman” Ungkapan ini menunjukkan berjalin kelindannya Budaya Madura dengan nilai-nilai agama Islam. Bahkan, penting dimasukkan “Bango’ jhuba’a e ada’ etembang jhubha’ e budi”.
Ini semua, ajaran yang bagus dalam manajemen perencanaan, yang mengisyaratkan perlunya disusun rencana yang cermat dalam setiap kegiatan, agar tidak mengalami kesulitan di kemudian hari karena salah perencanaan. Bandingkan dengan selogan: “Perencanaan memang mahal, akan tetapi akan lebih mahal lagi akibatnya apabila kita membangun tanpa rencana”. Misalnya, tercermin dalam “Asel ta’ adhina asal” yang mengingatkan kita untuk tidak lupa diri ketika menjadi orang yang sukses dan selalu ingat akan asal mula keberadaan diri.
Pun, “Lakona lakone, kennengnganna kennengnge” Bandingkan dengan “the right man on the right job”. “Pae’ jha’ dhuli palowa, manes jha’ dhuli kalodu’”. Ini juga nasehat agar kita tidak terburu-buru mengambil keputusan hanya berdasarkan fenomena. Kita harus mendalami akar permasalahan, baru diadakan analisis untuk kemudian menetapkan kebijakan. “Kar-karkar colpe’”, bisa dikembangkan untuk menumbuhkan sikap mau bekerja keras dan cerdas, apabila kita ingin menuai hasil yang bisa dinikmati.
Kelompok kedua adalah ajaran yang sementara ini penafsirannya cenderung mengarah kepada hal-hal yang acapkali menimbulkan ketakutan kepada pihak lain. Ajaran ini perlu kita beri redefinisi, atau reinterpretasi sebagaimana misalnya “Clurit Emas”nya Zawawi Imron. Clurit jangan lagi kita lihat semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau menebas leher orang, akan tetapi bagaimana clurit ini kita maknai sebagai alat untuk “menebas ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan”. Ada beberapa ungkapan yang termasuk dalam kelompok ini, misalnya : “Etembhang pote mata, bhango’ pote tolang”. Ini kita berikan penafsiran baru menjadi ajaran untuk meneguhkan semangat berkompetisi. Kalau tidak ingin “pote mata”, kita harus memperbaiki diri, meningkatkan kapabilitas, sehingga tak perlu “pote tolang” Ungkapan itu perlu diubah menjadi “ta’ terro pote mata, ta’ parlo pote tolang” Bandingkan dengan “Hidup mulya atau mati syahid” (Isy kariman aw mutsy syahidan).
“Oreng jhujhur mate ngonjhur”, kita robah menjadi “oreng jhujhur mate pojhur”. “Oreng sabbhar nompa’ jikar”. Kedua ungkapan ini seolah-olah menggambarkan bahwa orang sabar atau orang jujur kondisinya kurang bersaing. Ungkapan ini perlu kita reposisi menjadi misalnya “oreng sabbhar nompa’ kapal ngabbher”. “Ola’ neng bato, odi”. Kalau semula ungkapan ini untuk menggambarkan sikap orang yang suka “narema papasten”, bisa kita beri semangat baru, bahwa perlu ada sikap ulet, tekun dan tabah untuk mempertahankan hidup.
Kelompok ketiga adalah ajaran yang kita tanamkan untuk menumbuhkan nilai-nilai baru yang positip yang sejalan dengan perkembangan zaman. Bandingkan dengan pepatah Inggris “Time is money” yang sesungguhnya bukan nilai budaya asli orang Inggris yang dimiliki sejak zaman dulu, melainkan ditumbuhkan sejak Inggris memasuki era industrialisasi. Agar masyarakat mau menghargai waktu, maka waktu dikaitkan dengan uang/profit.
Kita perhatikan beberapa ungkapan baru yang bisa kita tanamkan dan kembangkan, misalnya:
  • “Lamon terro amodel, kodhu amodal”
  • “Lamon terro penter, kodhu ajar komputer”
  • “Ta’ atane, ta’ atana’”, ini dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat mengembangkan kehidupan di bidang agriculture dan agribisnis
  • “Ta’ adhagang, ta’ adhaging”, dimaksudkan untuk mengembangkan semangat kewiraniagaan
  • “Kembhang malate kembhang bhabur, mandhar bhadha’a paste, terro daddhia haji mabrur”
Upaya selanjutnya, membangun citra ini perlu diikuti dengan perubahan perilaku dari sebagian “taretan dibhi’”. Untuk itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita kurangi atau dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan dijadikan modal dalam membangun citra.
Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan dan keserempakan (sinergi). Peningkatan pendidikan masyarakat adalah jawaban yang tepat untuk ini. Penanaman budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-anak, mutlak diperlukan. Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya Ulama/Kyai dan para pemimpin formal. Upaya ini perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan terencana, yang dimotori oleh mereka yang memiliki kesadaran tentang hal ini.
Upaya berikutnya adalah menanamkan dan menumbuhkan kecintaan dan kesetiaan orang madura kepada budayanya. Ini perlu agar budaya madura tidak pupus dalam satu-dua generasi. Jangan sampai terjadi baru pada generasi kedua saja Bahasa Madura sudah tidak dikenal; sopan santun, sikap andhap asor sudah menghilang.
Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura”. (*)
SumberJawa Pos, 24 Des 2006

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)