Menatap matahariku
yang terbit dari lumut negeri
berpasang-pasang mata membelah jantungku,
merobek kemeja yang kujemur di kawat khatulistiwa
angin datang menerbangkan sayap kemerdekaan
laut tertiup seketika meliuk gelombang napas penderitaan
yang kian tak berujung
sawah-sawah yang gembur subur
kini tak lagi kutemukan semerbak panennya
hanya sesekali hujan menumbuhkan benih keputus asaan
:datang menggahi impian kepodang kian bimbang
dalam kalkulasi harga beras beliung
teka-teki rumus keniscayaan
pun darah yang seketika membeku
tinggal kerlip lampu petromaks menangisi tembok tua
aku tengadah menyimpul do’a
meski yakin tuhan mendengar pintaku
adakah yang lebih berharga dari sebuah pengharapan
--selain pasrah pada hening
damai dalam hiruk pikuk air mata
March
11, 2007
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia