Tangis Prita - Pelesiran Nazar, Cermin Hukum ‘Pisau’ Negeri Ini

FERRY ARBANIA
By -
0
|Ferry Arbania|Ketika  publik disuguhi kasus Wisma Atlet yang kian menggurita dan pelesiran M. Nazaruddin-- aktor ‘kunci’--di luar negeri, tiba-tiba muncul Prita Mulyasari jilid II. Inilah wajah hukum Indonesia, bak pisau, tumpul di satu sisi (ke atas/kalangan elit) namun tajam di sisi lain (ke bawah/akar rumput). Ironis!
Apa yang terlintas dibenak kita ketika kita mengingat nama Prita Muliasari? Selain gerakan ‘Koin Prita’, juga bukti ketidakadilan makin menjamur di negeri ini. Lebih menyedihkan lagi, saat publik menganggumi ‘kesaktian’ Nazaruddin yang bisa keliling Asia Tenggara meski telah menjadi buron internasional, tanggal 9 Juli 2011 muncul Prita Jilid II pasca MA memutuskan Prita memang bersalah. “Inilah wajah hukum Indonesia, tumpul ke atas namun tajam ke bawah,” tulis Aktivis Gerakan Peduli Bangsa,Tri Fani Arrohmah.
Untuk mengingatkan, saat kasus Prita yang diperkirakan oleh RS Omni dengan tuduhan pencemaran nama baik akibat Prita Curhat di email mengenai pelayanan buruk rumah sakit tersebut pada 2009, Gerakan “Koin Prita Mulyasari” mengebrak Indonesia. Kala itu dukungan masyarakat sangat luas--koin terkumpul Rp 800 juta dan telah disumbangkan ke korban Merapi.
Saat itu, Prita bebas dari tuntutan pidana berkat simpati masyarakat yang sudah muak dengan hukum yang diskriminatif. Prita digugat Rumah Sakit Omni Internasional gara-gara menulis surat elektronik yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit itu pada 2008. Di jalur perdata, Rumah Sakit Omni menuntut ganti rugi Rp 204 juta dari ibu rumah tangga itu. Dalam kasus pidana, atas laporan Rumah Sakit Omni, Kejaksaan Negeri Tangerang menuntut Prita dihukum enam bulan penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik. Jaksa pernah menahan Prita selama 23 hari.
Kala itu ending-nya hakim menyatakan tidak bersalah dan Prita dibebaskan dari dakwaan. Namun tanpa disangka 30 Juni 2011, kasasi jaksa atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis bebas Prita, dikabulkan majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang kemudian diumumkan Sabtu akhir pekan lalu.
Sangat menggelitik ketika masyarakat menanti para penegak hukum segera mengakhiri masa pelarian Nazaruddin atau Nunun Nurbaeti, justru datang vonis yang lagi-lagi mengusik rasa keadilan. Sampai saat ini Nazaruddin entah ada di mana. Terakhir, imigrasi menginformasikan mantan bendahara umum Partai Demokrat itu sudah meninggalkan Singapura pada 20 Juni lalu.
Kabar terbaru, kader partai binaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginjakkan kaki di Ho Chi Minh, Vietnam. Sayangnya, tak ada jaminan Nazaruddin masih berada di Ho Chi Minh, lantaran bisa jadi sudah ‘jalan-jalan’ lagi ke tempat lain dan memilih hidup nomaden daripada memenuni panggilan KPK. Bagaimana dengan Nunun, ya setali tiga uang. Nunun seakan ditelan bumi.
Untuk menjerat Nazaruddin dan Nunun memang bukan pekerjaan mudah. Kedua orang ini bisa jadi mendapat perlindungan dari orang kuat. Apalagi Nazaruddin yang sepertinya tak ingin dirinya sendiri yang menanggung aib tersebut. Kasus Nazaruddin ini sudah menggoyahkan kekuatan dan soliditas Partai Demokrat sebagai partai penguasa. Begitupun dengan Istana, ikut terseret-seret dan citranya dipertaruhkan. Dari tempat persembunyiannya, Nazaruddin ‘bernyanyi’ soal dana haram yang masuk ke Demokrat plus para petingginya.
Bagaimana dengan Nunun? Tak jauh beda. Nunun mendapat perlindungan dari suaminya yang juga mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Awalnya, Nunun pergi ke Singapura untuk berobat sakit lupanya yang katanya kian akut. Tapi hingga kini tak tahu ia ada di mana,yang lama-lama publik pun mungkin akan melupakannya sejalan munculkan kasus baru yang lebih besar.
Dan perkara Prita jilid dua ini seolah-olah ingin mengalihkan perhatin publik yang selama ini terus tertuju ke Istana, yang tersandera isu-isu miring dan kedodoran dalam menanganinya. Prita yang tak berdaya, tanpa bekingan orang kuat, nasibnya kian terombang-ambing dalam banyak kepentingan.
Anggota Komisi Hukum DPR Aboe Bakar menyayangkan adanya anomali pada penegakan hukum di Indonesia. “Hukum kita sedang sakit, tajam ke bawah tumpul ke atas, coba lihat kasus Prita ataupun kasus Randy Ipad, bandingkan dengan kasus surat palsu MK, mafia pajak ataupun Century,” beber anggota Panja Mafia Pajak tersebut.
Menurut Aboe, putusan kasasi MA menciderai rasa keadilan masyarakat, karena hukum dirasa tidak dapat melindungi kepentingan pasien. “Secara perdata Prita menang, namun pada perkara pidana dia kalah. Sungguh aneh memang,” jelasnya. Seharusnya, kata politisi PKS ini, MA melakukan harmonisasi atas kasus tersebut. Sebab, MA merupakan muara seluruh perkara. “Ini merupakan tugas MA, di sinilah ujung keadilan itu dicari,” ujar Aboe yang menyarankan Prita segera mengajukan PK.
Hal senada dikemukakan Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning. Kasus yang menimpa Prita tidaklah melanggar hukum. “Hukum di Indonesia memang tak memenuhi rasa keadilan. Soal Prita selalu dikejar-kejar, tapi soal Nazaruddin malah dilepas,” kata Ribka. Sebab itu, anggota dewan lainnya, Martin Hutabarat berharap Jaksa Agung menunda eksekusi terhadap putusan kasasi Prita Mulyasari. Penundaan ini dilakukan sampai dengan keluarnya putusan PK yang rencananya akan diajukan kuasa hukum Prita.
“Putusan MA yang menyatakan Prita bersalah merupakan anti-klimaks dan tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat. Tanpa bermaksud mencampuri kewenangan MA, Martin mengatakan, seharusnya putusan MA memperhatikan rasa keadilan masyarakat,” terang anggota komisi hukum DPR itu.
Kecaman juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). “Putusan 30 Juni 2011 yang menjatuhkan pidana pada Prita Mulyasari mengoyak rasa keadilan masyarakat. Saya geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung itu. Itu menodai komitmen penegakan hukum atas dasar keadilan,” kata Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming.
Sementara advokat senior Adnan Buyung Nasution menilai apa yang dilakukan Prita hanyalah bentuk pengawasan publik terhadap suatu lembaga. Karena itu, dia meminta agar Mahkamah Agung menangguhkan hukuman bagi Prita. “Ini bukti kalau MA tidak peka dengan teknologi maju. Pokoknya MA harus menangguhkan Prita,” tandasnya.
Saat tudingan miring terus mengalir, MA mulai ‘ngeles’ (menghindar,Red) dengan mengatakan Prita divonis 6 bulan, tapi dengan masa percobaan selama 1 tahun. Artinya, Prita tidak perlu dipenjara, asalkan tidak mengulangi perbuatannya dalam waktu satu tahun.
“Amar putusannya itu kabul kasasi jaksa. Kemudian hukumannya itu 6 bulan dengan masa percobaan satu tahun,” kata anggota majelis kasasi MA, Salman Luthan.
Menurut majelis kasasi, Prita terbukti memenuhi kualifikasi tindak pidana pencemaran nama baik. Pemenuhan unsur tersebut terkait pernyataan Prita dalam surat elektronik mengenai Rumah Sakit Omni Internasional.Dengan putusan itu, Prita tidak perlu ditahan untuk menjalankan hukuman 6 bulan. Hanya saja, Prita dipastikan harus berkelakuan baik selama satu tahun dan tidak mengulangi perbuatannya melakukan pencemaran nama baik.”Kalau tidak mengulangi perbuatannya selama satu tahun itu, ya dia tidak akan dipenjara,” jelas Salman.
Meski kenyataannya tak harus di penjara, tapi Prita artinya tetap menjadi terpidana.  Menurut Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming batalnya putusan bebas murni Prita menjadikan julukan ‘Benteng Terakhir Keadilan’ yang selama ini melekat pada MA sudah runtuh.
“Saya sebagaimana para pencari keadilan lainnya merasa geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung tersebut yang justru menodai komitmen penegakan hukum atas dasar keadilan. Dengan putusan seperti itu, maka julukan ‘Benteng Terakhir Keadilan’ yang selama ini melekat pada MA sudah runtuh dan porak poranda,” katanya.
Runtuhnya julukan MA tersebut, lanjut Saharuddin, disebabkan oleh fungsionaris MA sendiri yang cenderung menerapkan hukum dan keadilan seperti pisau tajam ke bawah dan ke depan tetapi tumpul ke samping, ke belakang dan ke atas. Menurutnya, di tengah-tengah miskinnya produk yudikatif yang merefleksikan ‘Juctice Value and Sense of Law’, MA sebagai puncak peradilan di Indonesia kembali mengoyak perasaan keadilan masyarakat. Hal itu didasarkan atas putusan MA yang menjatuhkan pidana pada Prita sebagai pelaku pencemaran nama baik RS Omni International.
“Meski berbagai pihak termasuk Komnas HAM telah memberi rekomendasi bahwa apa yang dilakukan Prita terhadap RS Omni adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM jo UU No 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil. Putusan MA tersebut sudah jelas-jelas melanggar HAM dan menjungkirbalikkan hukum dan keadilan,” ujarnya.
Komnas HAM bertekad akan melaporkan kasus tersebut ke Special Reporteur PBB Frank LA, yang rencananya akan datang ke Indonesia. Saharuddin juga mendorong Komisi Yudisial dan Yudicial Watch, agar mengusut tuntas oknum hakim agung yang memutus perkara ini. “Bahkan jika perlu, DPR menggunakan hak inisiatif membuat UU anti kesewenang-wenangan peradilan, kalau ada gerakan untuk boikot pengadilan dan MA, saya pun mendukung. Demi membersihkan benteng keadilan dari mafia pengadilan,” tutupnya.ins,dtc,viv

Sumber:http://www.surabayapost.co.id/

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)