Reshuffle Jangan Jadi Repuzzle SBY

FERRY ARBANIA
By -
0
Adhie Massardi, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB).
JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah kalangan meragukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan melakukan perombakan (reshuffle) kabinet, meski wacana tentang itu belakangan kembali mencuat.
Mengingat karakter kepemimpinan SBY adalah peragu dan tidak tegas, mencuatnya kembali wacana reshuffle ini malah memunculkan teka-teki baru atau repuzzle tentang pemerintahan.
Orang pun lantas mencurigai itu sebagai upaya pengalihan isu di tengah babak belurnya citra Partai Demokrat akibat beberapa kadernya terbelit perkara hukum.
Demikian pendapat koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi, pengamat politik Iberamsjah, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie yang disampaikan secara terpisah di Jakarta kemarin.
Menurut Adhie Massardi, SBY memainkan isu reshuffle kabinet sebagai bagian upaya untuk menangkis isu-isu yang memojokkan Partai Demokrat. Targetnya, isu tersebut mampu membungkam parpol yang punya wakil di kabinet.
"Bisa kita lihat, isu reshuffle ini selalu muncul di saat Presiden tersudut oleh isu-isu sensitif," kata Adhie. Tapi, menurutnya, sekarang ini masyarakat tidak akan terpancing lagi oleh isu ataupun teka-teki tentang reshuffle ini. Masyarakat ataupun parpol yakin bahwa isu tersebut hanya ancaman untuk membungkam parpol yang memiliki wakil di kabinet.
Adhie menyebutkan, wacana perombakan kabinet seperti dibuat terstruktur. Dimulai dari munculnya keluhan Presiden soal kinerja menteri-menteri. Namun kemunculan ungkapan kekecewaan ini justru membuat parpol yang tergabung dalam koalisi melihat kader-kader mereka tidak memberikan nilai tambah bagi parpol lantaran mereka ikut berkinerja buruk.
"Dengan memunculkan kekecewaan atas kinerja para menteri, Presiden telah mendegradasi kinerja anggota kabinet. Akibatnya, parpol-parpol yang mempunyai wakil di kabinet menyesalkan kader mereka ikut buruk akibat kinerja kepemimpinan buruk," kata Adhie.
Menurut Adhie, seharusnya Presiden juga mengevaluasi diri sendiri karena justru yang selama ini terjadi adalah lemahnya pemerintahan akibat kepemimpinan SBY tidak mumpuni. "SBY seharusnya jangan langsung menyalahkan menteri-menteri, dong. Sebab, sebenarnya siapa yang salah? Yang memberi instruksi ataukah yang melaksanakan instruksi itu," katanya.
Hampir senada, Iberamsjah menuturkan, Presiden SBY sebenarnya tidak memiliki alasan untuk tidak melakukan reshuffle kabinet. Sebab, seperti kata Presiden sendiri, sejumlah anggota kabinet tidak bekerja maksimal. Buktinya, 50 instruksi presiden mengenai pembangunan tidak mereka laksanakan.
"Seharusnya Presiden bertindak tegas tanpa perlu mengeluarkan keluh-kesah (mengenai kinerja menteri-menteri) kepada publik," kata Iberamsjah. Karena itu, dia menilai pernyataan Presiden soal 50 instruksinya yang tak dilaksanakan para menteri itu merupakan blunder politik jika tak ditindaklanjuti oleh perombakan kabinet. "Menteri-menteri juga jadi merasa bersalah, sehingga tak nyaman lagi bekerja," katanya.
Menurut Iberamsjah, Presiden perlu transparan membeberkan program-program yang mangkrak akibat tak diimplementasikan menteri terkait secara optimal. Pembangunan yang tak tercapai itu jelas bisa dijadikan indikator mengenai menteri atau kementerian yang tak bekerja sebagaimana mestinya.
Dalam pandangan Iberamsjah, ungkapan kekecewaan Presiden mengenai kinerja para menteri itu menumbuhkan kebingungan. Itu dikarenakan Presiden tidak menjelaskan kekecewaannya secara gamblang.
Namun, kenyataan itu justru memperteguh ketidaktegasan SBY sebagai pemimpin. Dia, menurut Iberamsjah, sekadar ingin menjadikan kelemahan menteri sebagai senjata untuk menekan partai politik asal menteri bersangkutan. "Kalau ada niat baik, SBY harusnya mengganti menteri yang tak bekerja itu," ujarnya.
Jadi, menurut Iberamsjah, Presiden harus tegas. SBY harus memastikan, entah kabinet akan di-reshuffle ataupun tidak. Isu reshuffle jangan terus-terusan digantung karena berdampak menteri-menteri tidak nyaman bekerja sebab orientasi dan konsentrasi mereka jadi rusak.
"Jika isu reshuffle terus diambangkan, itu sungguh tidak sehat bagi negara dan pemerintah. Dalam konteks ini, rakyat akan menilai bahwa Presiden dan pemerintahannya hanya sibuk mengurus diri sendiri alias tidak fokus mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara," tutur Iberamsjah.
Bagi Jimly Asshiddiqie, Presiden seharusnya tidak lagi menambah kekacauan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan dengan memelihara isu reshuffle kabinet. "Kasihan rakyat yang sudah jenuh dengan tidak efektifnya pemerintahan selama ini," katanya.
Sementara itu, Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham membantah reshuffle kabinet dilakukan dalam waktu dekat. "Kabar itu tidak benar. Tidak ada reshuffle. Jika memang ada reshuffle, pasti kami pun akan diajak komunikasi. Nyatanya, sampai saat ini belum ada komunikasi antara Pak SBY dan Pak Aburizal Bakrie," ujarnya.
Idrus juga membantah bahwa Agung Laksono akan dicopot dari pos Menko Kesra dan digantikan Syarif Cicip Sutardjo yang sama-sama kader Partai Golkar. Dia juga menepis kabar yang menyebutkan bahwa Partai Golkar mengincar pos Menteri Sosial yang kini dijabat Salim Segaf Al Jufri.
Tak hanya reshuffle, masalah lain yang juga kini masih mendapat sorotan publik menyangkut kritikan pemerintah terhadap media atas kinerja pemerintah sebagai suatu yang positif. Bahkan dapat pula menjadikan kritikan tersebut sebagai masukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menilai hasil kerja menteri-menterinya.
Dalam diskusi bertema "Ada Apa dengan Demokrasi dan Media Massa" di gedung DPD sejumlah kalangan di antaranya Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Wina Armada Sukardi, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumatera Barat Alirman Sori menyayangkan kritik yang disampaikan SBY.
Wina menyayangkan sikap yang ditunjukkan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dalam menanggapi kritikan media mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader Partai Demokrat.
Sebab, kritikan tersebut sebenarnya bagian dari upaya di dalam pengawasan publik terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan.
"Berita yang dimuat di media massa dan bersumber dari isi BlackBerry Messenger (BBM) itu mengandung kepentingan publik. Jika pers diam, nantinya masyarakat tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi," katanya.
Wina menilai, terdapat siklus bahwa seorang yang baru berkuasa di pemerintahan akan mendekat ke media, tetapi dalam kurun waktu tertentu "bulan madu" kedua belah pihak tersebut mulai merenggang karena pers mulai kritis terhadap pemerintah.
Sementara itu, Benny membantah adanya upaya pengebirian terhadap kebebasan pers yang dilakukan Partai Demokrat menyusul pernyataan SBY beberapa waktu lalu.
"Kita tidak menolak pers bebas, kita malah mendukung. Kalau ada yang mengatakan pada mempersalahkan pers tidak mendukung kebebasan pers, itu salah. Penilaian itu dibuat atas pemahaman yang salah," ujarnya.
Sementara itu, Alirman meminta pers tidak berhenti memberitakan kasus Nazaruddin. Namun, pers harus berpegang pada prinsip keadilan dan kebenaran. "Saya harap berita soal Nazaruddin tetap ada, ini agar masyarakat mengetahui yang sebenarnya," katanya. (Tri Handayani/Feber/Rully)

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)