Puisi-puisi Hidayat Raharja

FERRY ARBANIA
By -
0
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
ilustrasi
SEPASANG PENGANTINSepasang pengantin, sepasang kembang kenanga dan melati Langit biru tua warna mewangi
Sepasang pengantin, sepasang burung. Kicau kepodang dan jalak hutan, saling bersahut merimbunkan hehunian
Sepasang pengantin, sepasang jajanan, kue lemper dan kukusan. Berbungkus daun pisang pupus, dan segulung kertas dalam kardus
Sepasang pengantin, sepasang hehijauan, daun muda dan jenang ketan Gula aren dan air nira, manis-manis dirasa
Sepasang pengantin, sepasang sungai memanjang membentang meliuk menikung, ke laut terlentang.
Sepasang pengantin, sepasang lautan; ikan, lokan, gelombang, garam, pasiran pantai, terumbu karang, bakauan dan akar bahar.

Sumber:  http://oase.kompas.com Edisi Jumat, 15 Juli 2011 | 01:12 WIB
Sepasang pengantin, sebatang garam. Percik berkilau, asin ditelan perih diderau.
Sepasang pengantin, sepasang ikan terbang di atas perairan di bawahnya bayang-bayang menghitam beretakan.
Sepasang pengantin, bayang-bayang hitam di kamar, saling berangkulan menyalakan lampu bohlam, semalaman.
Sepasang pengantin, sepasang lampu pijar. Bergoyang-goyang ditimpa angin berkesiur menggetarkan sekujur
Sepasang pengantin, sepasang angin yang bersandar dan gurat kemerahan sekujur badan.
Sepasang pengantin sepasang merah, bibir perempuan, dan kudung lelaki pagi membakar sunyi dalam diri
Sepasang pengantin, sepasang bulan, bulan terbit dan bulan tenggelam. Bulan datang bulan terhalang menunggu tangis  merah kehidupan
Sepasang pengantin, hidup dan mati saling mendekap saling merapat saling mengikat menunggu saat
NEGERI SEOLAH-OLAH
Seolah-olah negeri ini kaya namun orang miskin di pinggir sana
Seolah-olah negeri ini makmur namun banyak TKI diekspor
Seolah-olah negeri ini berdaulat namun batas lautan belum juga sepakat
Seolah-olah negeri ini berkuasa namun banyak pulau disia-sia
Seolah-olah negeri ini hijau namun banyak hutan api meranjau
Seolah-olah negeri ini santun namun banyak kekerasan bertahun-tahun
Seolah-olah negeri ini subur namun banyak nasib petani dikubur
Seolah-olah negeri ini sejahtera namun banyak birokrasi jadi peminta
Seolah-olah negeri ini maju namun pendidikan sebatas harga dan baju
Seolah-olah negeri ini puisi namun terlalu banyak basa-basi
Seolah-olah negeri ini mati namun hidup dalam hati
IRINGAN
Iringan takbir di jalanan, mengingatkan barisan demonstran menuju balai kota. Mereka tak sedang memuji, tetapi tengah beraksi.
JALAK
Burung jalak hinggap di dahan Hujan baru reda bertumpahan Bau tanah dan rumput basah Memenuhi udara resah
Burung jalak hinggap di dahan Pada sekeping uang logam Wajahnya kabur, lama dimakan usia Suaranya beku tertahan lalu masa
Burung jalak itu kini terbang Menyusuri luas angan Menjelajahi pohon-pohon kata Dan ranting-ranting kisah Mendatangi bukit-bukit sepi Memetik sunyi
Burung jalak itu kini kesepian Terkurung dalam sangkar hari Menyanyikan hutan dan sunyi Merindukan sarang dan keturunan
RAMA DAN SHINTA
Relief rama & shinta masih terpajang di ruang tamu. Kuning keemasan. Sebagian kulitnya mengelupas berwarna keputihan. Kesetiaan atau sekadar kebanggaan. Panah dan gendewa terselip di pinggang, dan kedua tangan saling meraih. Tak ada  dasamuka di situ, hanya langit gelap dan kemilau kulit keemasan dengan dada setengah terbuka. Membuka sembulan kisah yang belum usai kubaca juga, tidak pernah beranjak dari ruang tamu.
PULANG
Pulang. Selalu membawa rasa girang. Bertemu rumah, taman, dan kenangan yang lekat di ruang dalam, dan halaman depan
Pulang. Selalu meminta rasa lapang. Terusir dari keluarga, rasa nyaman. Ada luka nganga di pintu pagar dan kamar depan
Pulang. Selalu meninggalkan rasa gamang. Sepeninggal kisah kekasih yang  selalu membasah
MUSIK NEGERI
Hiruk pikuk. Teriakan gitar, nyaring menggesek kebangsaan yang kian kering. Suara gedebuk drum kian keras, mengingatkan jatuhnya martabat. Di kejauhan suara suling mengalun, birokrasi yang selalu meniupkan janji, dan minta dilayani. Dentang suara organ, mengingatkan suara demonstran yang berteriak di depan gedung dewan. Lihatlah, biduan  yang menari itu, mengingatkan lagak lelaki tambun yang selalu ingin dipuji hanya dengan bernyanyi.
KITA KATANYA, DULU NYATANYA
Katanya: “kalau kita kaya, kuasa, beli senjata, dan siap menghadapi segala ancaman marabahaya. Maka, bila kita tak kaya, akan dikuasai, tak mampu belanja senjata, dan akan dilecehkan martabatnya oleh lain bangsa.”
Nyatanya: “dulu, kita tak kaya dijajah semena-mena, tak memiliki senjata. Hanya, runcing bambu bermata, mampu menaklukkan penjajah Belanda. Kita tak kaya, tak ada senjata. Tetapi, kita punya harga diri dan martabat berharga, dan pemimpin yang bisa dipercaya.
IDUL FITRI
Kubah dan menara masjid memantul cahaya di antara di antara lelambai daun palma. Langit coklat keputihan menghadap  matahari dan merayapi lubang ventilasi.
Menyusuri pagi, jalanan sepi benderang, pohon-pohon gemulai meniup angin, butiran cahaya menari-nari beriring riang anak-anak memakai baju baru. Di tangga, mereka menaikkan takbir,  kumandang sampai puncak tujuh doa.
KEMBANG MERAH
Ringkik kuda itu memekakkan malam, berderap menyusur aspal jalanan. Pekak ladam memukul pendengaran. Payung hitam di atas ribuan kepala diguyur lampu jalan, mengabadikan pasangan remaja yang tengah menabur kembang merah. Lengan sungai merngkul dingin, dan kesunyian yang hijau bersama tumpahan gerimis berjatuhan dari rambutmu. Dan dua mata  mengintip dari cadar malam, menghitung guguran pedih dari atap-atap waktu yang berkarat.
BARISAN POTRET
Deretran potret di dinding ruang keluarga dari yang coklat ke yang hijau. Ada senyum mengambang dan pantulan usia mengembang. Sorot matanya, menidurkan segala waktu, dan rindu. Binar wajahnya, melabuhkan hari-hari dan huru-hara, senyum dan kedip mata yang tertahan.
Deretan potret  di dinding ruang keluarga, mengisahkan pertemuan, dan waktu, dan wajahmu, dan usia tertahan. Sementara hari-hari terus bergerak memberangkatkan detak. Denting yang jatuh. Di cermin yang terpaku di ujung ruang, keringat matanya menandai garam perih ditinggal para kekasih.
Biodata:
Hidayat Raharja, kelahiran desa omben – sampang, 14 juli 1966. Puisinya banyak dipublikasikan di berbagai media cetak baik terbitan lokal, mau pun nasional. Beberapa karyanya terangkum dalam antologi bersama  yang terbit di berbagai kota. Saat ini selain menulis puisi dan esai, juga berkhidmat sebagai guru di SMA 1 Sumenep.

Sumber:http://oase.kompas.com/edisi 15 Juli 2011

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)