Memetakan Sastra Jawa

FERRY ARBANIA
By -
0
sastra jawa (ist) Sumber google search
|Ferry Arbania|Dilihat dari capaian estetik dan genre, sastra Jawa bisa disejajarkan dengan sastra dunia. Itu bisa dilihat dari karya Jawa Kuno hingga capaian Ronggowarsito. Namun, seiring laju waktu, ternyata sastra Jawa "terjun bebas".

Nilai estetikanya tak lagi bisa dijadikan patokan, ragam genre yang diusungnya pun terkesan stagnan. Pertanyaannya, apa penyebab mendasar dari kemerosotan ini? Jika kita menengok karya-karya Jawa kuno, banyak karya yang masih bisa ditemui, seperti pada masa Kahuripan, Singasari, Majapahit. Karya-karya seperti Pararaton, Sutasoma, Negarakertagama, Hariwangsa, dan lainnya adalah karya yang bernilai tinggi.

Pujangga Jawa pun melimpah, di antaranya Barada, Tanakung, Prapanca, dan Tantular. Mereka adalah kampium kawi (sebutan untuk ahli dan penulis sastra Jawa kuno). Untuk sastra Jawa pertengahan (setelah masuknya Islam), kita bisa menemukan banyak karya bernilai sastra tinggi, baik di perpustakaan keraton-keraton Jawa, Kasunanan Surakarta, Mangkunekaran, ataupun di Kasultanan Yogyakarta.

Kondisi yang gemilang itu ternyata menjadi kenangan manis saja karena awal abad 21, ketika kemerdekaan RI sudah sampai pada usia 63 tahun, kita menyaksikan stagnannya perkembangan sastra Jawa. Saat ini tak banyak dijumpai para penulis muda yang getol dan nggetih dalam menulis sastra Jawa.

Mungkin sebagian orang melihat bahwa meredupnya hidup sastra Jawa disebabkan sudah habisnya wahyu kapujanggan karena Ronggowarsito dianggap sebagai pujangga penutup Jawa. Namun, alasan ini sebenarnya hanya mencari-cari apologi dari keterpurukan. Mungkin yang perlu diubah adalah mainstream memahami kapujanggan serta bagaimana memperlakukan sastra Jawa dengan cerdas, kreatif, dan sesuai tuntunan zaman.

Artinya, ruh tradisi harus "dibaca" kembali dalam kekiniannya dengan pendekatan kritik struktur, kritik historis, dan ideologinya. Bagaimanapun, dalam era modern, sastra Jawa bukanlah pengabdi raja, penguasa, atau ngarso dalem. Kondisi itu terjadi pada masa Jawa kuno dan Jawa tengahan. Hanya pada masa Jawa tengahan akhir, sezaman dengan Ronggowarsito, muncul beberapa karya yang cukup "edan" dan tidak menghamba pada raja.

Bahkan, karya ini bisa dikatakan sebagai penentang teks-teks mapan yang terpusat pada otoritas raja. Dalam hal ini, bisa disebutkan contohnya Suluk Gotoloco, Serat Darmogandul, Suluk Syek Siti Jenar, dan Teks Kajen (tandingan Serat Cebolek). Di luar itu, sastra/tradisi lisan pun berkembang sedemikian rupa, elastis, dan tak menghamba pada pusat (kekuasaan). Dengan cara pandang yang progresif, sastra Jawa mengemban jiwa zamannya.

Bila kemudian berkembang guritan (puisi bebas) dan gancaran (prosa bebas), itu bisa dimaklumi. Namun, yang sering kali kurang terkontrol adalah adanya pemberontakan yang berbasis tradisi Jawa sendiri. Sebab, dalam masalah ini, seakan-akan sastra Jawa mengekor sastra Indonesia. Dalam sastra Indonesia, pemberontakan itu diwakili Chairil Anwar lewat bahasa Melayu rendah dan membebaskan puisi dari metrum lama.

Di Jawa, tak ada pemberontakan yang dengan "gagah berani" memuat jargon mengubah atau mendobrak bentuk dan memperkaya isi yang sesuai tuntunan modernitas. Padahal, dalam sastra Jawa, konsep metrum atau bentuk sangat ketat. Sebenarnya, jika diukur dari tradisinya, sastra Jawa tidak lagi perlu bersoal tentang bentuk dan isi yang terkait masalah identitas kejawaan.

Keduanya sudah matang. Maka, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan sastra Jawa untuk merespons perkembangan dan kemajuan. Jadi, sangatlah tidak produktif jika masih ada sastra Jawa yang mempersoalkan masalah jati diri kejawaan. Pokok persoalan yang utama adalah bagaimana orang Jawa sebagai manusia Indonesia menghadapi tentangan masa kini dan masa depan.

Untuk soal ini, sastra Jawa "kalah" dibandingkan sastra Indonesia, terutama dalam beberapa karya penulis sastra Indonesia, yang berlatar kultur Jawa, semisal Kuntowijoyo, Arswendo Atmowiloto, bahkan Umar Kayam. Dengan demikian, yang harus dilakukan adalah bukan berkutat pada eksistensi lokalitas, melainkan meletakkan eksistensi lokalitas itu dalam percaturan zaman dan dunia.

Dalam konteks sastra Jawa, seyogianya sastra tak hanya dipahami dalam kapasitas dulce et utile (indah dan berguna-seperti pendapat Horace). Terkait masalah tuntutan zaman ini, tentu sastra Jawa harus bisa beradaptasi dan melakukan regenerasi dengan canggih. Sekarang kondisi ini memang semakin membuat dada sesak.

Keterbukaan informasi dan percepatan teknologi telekomunikasi telah menjadikan tantangan terhadap lokalitas semakin tak terbendung dan tak terelakan. Globalisasi informasi memang rentan untuk penguatan lokal. Seharusnya, dengan semakin global, nalar lokalnya semakin kuat sebagai sebuah pijakan atau fondasi dalam menentukan koordinat diri dalam percaturan budaya dan interaksi dunia. Di sisi yang berbeda, telah terjadi bias budaya.

Hal-hal yang tabu, adiluhung, sakral, kitsch, konsumerisme, dan profan tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Dalam jagat sastra, terjadi peleburan antara selera sastra populer dan serius di masyarakat kita. Meski di kalangan tertentu sastra serius masih dipandang sebagai satu bentuk resistensi agar tidak jatuh pada keawaman dan selera massal yang sering dipermainkan pasar.

Agar sastra Jawa bisa hidup dan berkembang, ia harus bisa bersenyawa dengan perangkat zaman tanpa harus melacurkan diri. Ia bisa ikut bermain dalam kecanggihan teknologi. Misalnya, membuka homepage sastra Jawa di internet, ada SMS yang berisi guritan bahasa Jawa, serta modifikasi tembang-tembang sastra Jawa yang tentu saja memiliki kualitas sastrawi.

Lalu, bagaimana dengan lomba-lomba penulisan sastra Jawa? Lomba-lomba itu penting. Lomba itu bisa merangsang kreasi, terutama bagi generasi muda dan pegiat sastra Jawa. Namun, jika hanya berhenti pada lomba, tanpa ada penanganan lebih jauh, tentu yang diharapkan hanyalah omong kosong. Sebab, sering terjadi adanya keterbatasan ruang dan waktu menyangkut konsistensi dalam pembinaan. Bahkan, sering kali arah pembinaan itu tak jelas karena peta sastra Jawa sendiri masih cukup kabur saat ini. (*)

Mashuri
Staf pengkajian sastra Balai Bahasa Surabaya
(//mbs)
kampus.okezone.com  edisi Minggu, 20 Juli 2008 11:47 wib

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)