[JAKARTA] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa dimintai pertanggungjawaban atau digugat terkait maraknya pelanggaran UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasalnya, pelanggaran masif yang dilakukan bawahannya, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) terhadap UU Penyiaran sudah lama terjadi dan tetap didiamkan.
Demikian pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens dalam rilis kepada pers di Jakarta, Jumat (1/7). Menurut dia, pelanggaran UU yang marak terjadi akibat tidak ada kontrol dari negara. Para pemodal pun menjadi liar. UU ditabrak semaunya.
“Menkominfo Tifatul Sembiring harus bertanggung jawab, logika dan dasar hukum apa yang dipakai untuk membenarkan PT EMTK TBK melakukan monopoli frekuensi. Ini contoh kasus yang buruk,” katanya.
Boni mendesak Presiden SBY untuk segera mencopot Menkominfo dan Ketua Bapepam-LK yang dengan sadar melanggar UU Penyiaran, ketika mengeluarkan izin akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK), yang juga memiliki SCTV dan O Channel.
Sebelumnya, dalam bedah buku "Televisi Jakarta Di Atas Indonesia" karya mantan anggota KPI Ade Armando di Jakarta, baru-baru ini, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Tjipta Lesmana mengatakan, UU Penyiaran sudah sangat jelas mengatur sistem penyiaran di Indonesia, tetapi karena kekuatan uang yang bermain, semuanya berantakan.
“Ini negara sudah rusak, karena sistem ekonomi liberal yang kapitalistik,” katanya.
Padahal, kata dia, semua persoalan bangsa ini bisa diselesaikan kalau ada kemauan politik pemerintah.
“Kalau sampai Presiden tidak bisa berbuat apa-apa, ya karena sistem itu tadi, karena kekuatan uang yang maha dahsyat" katanya.
Mengenai kewenangan KPI yang dipreteli, kata Tjipta, karena anggota DPR juga ikut bermain. Mereka dipengaruhi oleh kekuatan modal. “Semuanya ini tidak bisa didiamkan. Penanggung jawab utama semuanya ini adalah Presiden. Dia yang harus digugat, yang dituntut," katanya.
Anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya yang juga hadir sebagai pembahas, mengatakan, nafas UU No 32 Tahun 2002 adalah desentralisasi. Tetapi yang terjadi saat ini adalah UU itu terus dilanggar oleh beberapa pemilik televisi.
“Kita pernah memanggil mereka (pemilik televisi, Red) ke Komisi I DPR, tetapi mereka berlindung di balik UU Penanaman Modal," katanya.
Padahal jika terjadi pelanggaran UU Penyiaran maka pemerintah harus mencabut izin atau frekuensi yang adalah milik publik. Dalam Pasal 35 UU Penyiaran dituliskan, izin penyelenggaraan penyiaran dicabut jika dipindahtangankan ke pihak lain.
“UU Penyiaran jelas menegaskan itu. Pemerintah harus mencabut izin penyiaran kalau dilanggar,” katanya.
Selain mencabut izin penyiaran, UU Penyiaran juga mengamanatkan sanksi pidana kepada mereka yang melakukan pelanggaran. Dalam Pasal 58 Ayat 1 dikatakan, pihak yang melakukan pemusatan kepemilikan frekuensi dikenai pidana penjara dua tahun dan atau denda paling banyak Rp 5 miliar. [Ant/L-9]
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia