Tinjauan Hukum kasus Pemukulan dan Kekerasan Terhadap Wartawan

FERRY ARBANIA
By -
0
by: Ferry Arbania
Tinjauan Hukum kasus Pemukulan dan Kekerasan Terhadap Wartawan

KEKERASAN TERHADAP PERS

Selama ini kalangan pers menilai berbagai kasus yang melibatkan wartawan, misalnya dalam perkara pemukulan, aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan KUHP, padahal sudah ada UU Pers yang tentu bersifat “lex specialis”. Tetapi saya rasa penyidik maupun jaksa akan jeli melihat kasus pemukulan tersebut. Misalnya dengan mencari apa yang melatarbelakangi terjadinya pemukulan tersebut. Karena apabila menggunakan UU Pers, maka harus dapat dibuktikan bahwa tindakan pemukulan tersebut memang sebagai bentuk upaya menghambat/menghalangi pelaksanaan hak pers (seperti : mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi). Jadi disini harus jelas perbuatan seperti apa yang kategorikan menghambat atau menghalangi wartawan dalam mencari dan memperoleh informasi. Apabila hal ini tidak dapat dibuktikan, maka terhadap pelaku pemukulan tersebut tidak dapat dikenakan Pasal 18 ayat (1) tersebut, dan akhirnya hanya dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang ancaman pidananya paling lama 2 tahun 8 bulan atau bisa sampai 5 tahun apabila meenyebabkan luka berat.
Pemukulan terhadap wartawan kembali terjadi. Kali ini menimpa wartawan SCTV, Carlos Pardede yang sedang menjalankan tugasnya sehari-hari mencari informasi untuk disampaikan kepada publik. Namun bukan informasi atau hasil wawancara yang didapat, justru tindak kekerasan dari oknum satuan pengamanan (satpam) Bank Indonesia (BI) yang membuat Carlos terluka. Walaupun disini terlihat wartawan sebagai korban, kiranya semua pihak menghormati Asas Praduga Tak Bersalah, termasuk rekan-rekan wartawan yang memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap rekan seprofesinya. Solidaritas ini juga muncul karena adanya ketakutan kejadian serupa akan menimpa kembali wartawan yang lain dan lebih jauh lagi ada kekuatiran akan munculnya upaya pengekangan kebebasan pers.

Ketakutan dan kekuatiran ini hal yang wajar, namun yang terpenting saat ini adalah menuntut agar kepolisian memeriksa kasus ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan terus melakukan kontrol selama proses pemeriksaan sampai dengan putusan pengadilan dikeluarkan. Diakhirnya nanti akan terungkap, apakah Carlos atau oknum satpam yang bersalah ? Apakah pemukulan ini bentuk pengekangan kebebasan pers, apakah Carlos yang memang tidak memenuhi prosedur BI sehingga menyebabkan efek samping emosi sesaat oknum satpam yang lepas kontrol atau hanya permasalahan pribadi ? Biarlah proses hukum yang akan menjawabnya.

Bukan Yang Pertama

Kasus pemukulan wartawan ini bukanlah kejadian yang pertama kali. Ada beberapa kejadian serupa yang pernah terjadi sebelumnya. Misalnya kasus pemukulan Oka, wartawan Harian Posko biro Minahasa Selatan oleh sekurity Bupati Minahasa Selatan di kantor Bupati Minahasa Selatan, kasus pemukulan dua wartawan Tribun Batam oleh oknum porter yang terjadi dipelabuhan Beton Batam, kasus penganiayaan terhadap kontributor Metro TV, MH Imran oleh staf Biro Protokol Setda Provinsi Papua di Bandara Sentani, kasus pemukulan wartawan di dekat jembatan Golden Gate atau Jembatan Kutai Kartanegara dan kasus pemukulan kameraman Lativi, Doni Kristyansah di Samarinda Ulu, pada saat meliput operasi yustisi Pemkot Samarinda. Berulang-ulangnya kasus pemukulan inilah yang kemudian memunculkan kekuatiran kalangan pers akan upaya pengekangan kebebasan pers, ditambah lagi beberapa kasus tersebut pemeriksaannya terkesan jalan ditempat. Oleh karena itu, diharapkan berbagai kasus pemukulan wartawan dapat segera dituntaskan dan apabila memang pelaku pemukulan/penganiayaan tersebut terbukti bersalah agar dijatuhi sanksi pidana yang dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun pihak lain agar tidak melakukan hal yang sama. Kasus pemukulan terhadap Carlos memang bukan yang pertama, tetapi hendaknya menjadi yang terakhir.

Perlindungan Kuli Tinta

Wartawan dalam menjalankan profesinya mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 8 UU No 40/1999 tentang Pers yang isinya menyatakan bahwa ”Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”. Dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan "perlindungan hukum" adalah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap orang yang menghambat atau menghalangi wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, berdasarkan Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa Setiap orang yang menghambat atau menghalangi kebebasan pers dan menghambat/menghalangi pelaksanaan hak pers (seperti : mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi) dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000;.

Terhadap kasus pemukulan wartawan tadi, penyidik maupun jaksa perlu hati-hati dalam menentukan pasal.yang akan digunakan untuk menjerat pelaku. Apakah cukup perihal penganiayaan sehingga menggunakan ketentuan KUHP, atau menggunakan Pasal 18 Undang-undang Pers tersebut.

Selama ini kalangan pers menilai berbagai kasus yang melibatkan wartawan, misalnya dalam perkara pemukulan, aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan KUHP, padahal sudah ada UU Pers yang tentu bersifat “lex specialis”. Tetapi saya rasa penyidik maupun jaksa akan jeli melihat kasus pemukulan tersebut. Misalnya dengan mencari apa yang melatarbelakangi terjadinya pemukulan tersebut. Karena apabila menggunakan UU Pers, maka harus dapat dibuktikan bahwa tindakan pemukulan tersebut memang sebagai bentuk upaya menghambat/menghalangi pelaksanaan hak pers (seperti : mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi). Jadi disini harus jelas perbuatan seperti apa yang kategorikan menghambat atau menghalangi wartawan dalam mencari dan memperoleh informasi. Apabila hal ini tidak dapat dibuktikan, maka terhadap pelaku pemukulan tersebut tidak dapat dikenakan Pasal 18 ayat (1) tersebut, dan akhirnya hanya dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang ancaman pidananya paling lama 2 tahun 8 bulan atau bisa sampai 5 tahun apabila meenyebabkan luka berat.

Etika Berburu Berita

Dalam bebarapa kasus pemukulan wartawan, pelaku biasanya juga akan membela diri tidak bersalah karena merasa apa yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada, walaupun tentunya kita sepakat tindakan kekerasan bukanlah alternatif solusi. Namun sebagai upaya preventif agar preseden buruk yang mencederai kalangan pers ini tidak terulang kembali, harus ada titik temu komunikasi antara wartawan maupun nara sumber. Wartawan dalam memburu berita hendaknya bertindak etis, profesional dan menghormati hak privasi nara sumber, karena setiap wartawan terikat dengan kode etik jurnalis. Begitupula kepada narasumber agar terbuka dalam memberikan informasi yang menjadi hak publik dan bagi para security agar mempermudah prosedur peliputan oleh wartawan, sehingga tidak terjadi lagi pemukulan wartawan, tidak ada lagi pengekangan kebebasan pers dan masyarakat mendapatkan haknya atas informasi.
 
 Penulis : Dwi Haryadi, S.H.,M.H. Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Bangka Belitung
Tulisan ini telah dipublish di Harian Umum Metro Bangka Belitung (Metro BABEL) Tanggal 25 mei 2009

Sumber: http://www.ubb.ac.id

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)