Oleh: Ferry Arbania
Ketika dunia bersama lautan api,
dan kebenaran tak lagi diagungkan,
para pencari keadilan
berbondong-bondong
mengerumuni nisan sesepuh mereka,
sambil memohonkan ampun atas
kerakusan saudara-saudara mereka
yang tengah berkuasa., menggelapkan
mata hati dalam nyata.
Bumi diguncangkan air mata,
matahari terkesiap mengeringkan
tangis bianglala,
sementara penguasa,
makin deras di gebuki gelombang unjuk
rasa.
Malam ini tak ada lagi suara –suara,
hanya rintihan gamelan dan gending
Puspo
yang makin gemulai menandai siaran radio
menambah semangat seribu sembilan
ratus ’45 nyawa.
7 Juni 2011/ disebuah Desa Di Indonesia
bagus Fer, puisinya semakin memikat dengan diksi yang kuat
ReplyDelete