Penyair Taufik Ismail pun Dibuat Iri

FERRY ARBANIA
By -
0
by: Ferry Arbania
Suatu hari pada April 2004,penyair Taufik Ismail bertandang ke kediaman Anis Kaba.Sebelum pergi, pengarang puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia itu meninggalkan catatan di buku tamu.Dia menyatakan sangat cemburu dan iri melihat perpustakaan Anis. 

TAUFIK mengaku kagum dengan cara Anis Kaba merawat buku-buku yang dinilainya sangat rapi.Taufik bertekad meniru ketelatenan Anis tersebut saat dia kembali di Jakarta. Buku koleksi Anis Kaba memang tampak terawat baik.Dia mengaturnya dengan rapi di lemari. Secara berkala,buku koleksinya dibersihkan dari debu. Sebagian buku itu dibungkus plastik bening tipis.

“Saya memperlakukan buku dengan baik. Penghargaan kami terhadap buku dapat dilihat dari cara merawatnya,”kata pria ramah yang hari kemarin genap berusia 68 tahun ini. Salah satu buku tua yang menjadi koleksinya diterbitkan pada 1900. Buku tersebut berjudul Politeiayang diperolehnya di toko buku loakan. Buku berbahasa Belanda tersebut berisi teori politik sejumlah pemikir, seperti Plato, David Hume,Marten Luther. Selain buku, Anis juga mengoleksi album berisikan foto lukisan koleksi Bung Karno. Dua edisi album foto itu dicetak pada 1956 di China.“Ini sangat berharga karena foto lukisannya bukan cetakan,melainkan foto langsung direkatkan di kertas,”ujarnya. Anis lahir 12 April 1942 di Limbung, Gowa. 

Dia menghabiskan masa mudanya dengan berdomisili di banyak kota,antara lain Jakarta, Kendari,Manado.Pekerjaannya di sebuah perusahaan pertanian pada masa mudanya membuat Anis terpaksa harus berpindah-pindah tempat tinggal. Namun, keharusan berpindahpindah itu tidak mengurangi minatnya mengoleksi buku.Saat dia kembali ke Makassar, buku-buku yang diperolehnya di perantauan ikut diboyong pulang ke Makassar. Berhasil mengoleksi 6.000 lebih judul buku dengan uang sendiri, tidak lantas membuat pria yang juga penyair ini menyombongkan kemampuan intelektualnya. Dia menolak ketika orang menyebutnya seorang pustakawan. Baginya, memperoleh status pustakawan memiliki syarat tertentu, antara lain ada legitimasi dari pemerintah.“ Saya cukup disebut kolektor buku saja, jangan pustakawan,” ujarnya. 

Akibat pekerjaan yang membuatnya berpindah-pindah kota, dia terpaksa tidak bisa merampungkan kuliahnya di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Dia sempat menginjak tingkat empat atau semester akhir, sebelum akhirnya memutuskan berhenti. Padahal, hasratnya menjadi sarjana sangat besar.Sebagai pelarian atas kegagalan menjadi sarjana itu,Anis melampiaskannya melalui buku.“Saya bisa dibilang frustrasi tidak bisa melanjutkan pendidikan. Karena itu, saya lam-piaskan dengan mengakrabi buku,” tuturnya. Di lingkungan intelektual Makassar, Anis Kaba juga dikenal sebagai seorang penyair. Dia dikenal dengan puisinya yang banyak mengulik tentang alam semesta. 

Buku puisinya yang telah terbit, yakni Nyanyian Alam, Mantera Bumi, dan Kembara Angin dan Cahaya.Dia juga ikut menulis puisi dalam beberapa antologi, antara lain Ombak Makassar, Pintu yang Bertemu,dan Menepi ke Sepi Puisi. Setiap saat, mahasiswa dan masyarakat umum datang mencari literatur di perpustakaannya yang diberi nama Pustaka Usthask Kita. Biasanya, mahasiswa mencari literatur untuk keperluan penelitian skripsi,tesis,atau disertasi. “Mereka boleh datang kapan saja. Hanya saja buku tidak bisa dipinjamkan, hanya boleh dibaca di sini.Saya khawatir buku yang sulit diperoleh itu hilang,”jelasnya. Satu hal yang saat ini membuat Anis resah adalah masih minimnya minat generasi muda terhadap buku.Dia menduga hal itu disebabkan budaya membaca yang kian luntur akibat dominasi media audio visual, seperti televisi. 

Anak sekolah disebutnya lebih suka menonton, ketimbang membaca buku. Terhadap koleganya sesama penyair dan seniman, ayah empat anak ini senantiasa mengajak ikut mengoleksi buku. Satu-dua orang disebutnya sudah ikut menggeluti hobi itu.“Saya mengajak agar lemari di ruang tamu rumah kami diisi buku,bukan justru barang pecah belah,”pungkasnya. (bakti m munir)
Sumber:http://www.makassarterkini.com

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)