Mennjadi penyair di dunia yang
serba canggih saat ini bukanlah suatu
hal yang tidak mungkin dilakukan oleh siapapun, termasuk dari kalangan ibu
rumah tangga, tenaga guru dan bahkan masyarakat biasa, yang kesehariannya sama
sekali tidak bersentuhan langsung dengan dunia penyair. “Dan memang tidak harus
demikian dalam melahirkan produktifitas maha karya”.
Buah karya yang tiba-tiba menetas
di situs-situs internet, mulai dari fasilitas jejaring sosial berupa facebook,
blogspot, word press dan twiter dewasa ini, menjadikan puisi semakin mudah
dibaca, dimiliki dan di copy paste oleh ribuan orang dibelahan dunia.
Apalagi, dalam proses publikasi
sebuah puisi di internet akhir-akhir ini makin populer diperbincangkan. Ada
yang beranggapan, penulis puisi internet tidak lebih dari sekedar penyair maya,
tukang puisi “jadi-jadian” yang hanya bersulang dengan anggur-anggur layu dan
tidak jelas eksistensinya. Sebagian lain malah beranggapan, kehadiran puisi di
internet mampu menjadi pelipur lara atas beragam penyakit kronis yang diderita
bangsa ini. Banyak kalangan sengaja menanggalkan pertengkaran kecil mengenai
status puisi dunia maya dengan puisi-puisi yang harus sudah dibukukan.
Alasannya sangat sederhana, hampir tidak ada bedanya puisi yang sudah dicetak
kedalam sebuah buku menjadi antologi dengan puisi-puisi yang hanya sanggup
bertahan diberanda facebook dan blog gratis.
Mengapa kehadiran puisi selalu
dipersoalkan? Kenapa puisi seperti juga para penulisnya seringkali digolongkan pada catatan manusia
unik dan njelimet dan cenderung tidak gaul dengan semua kalangan seperti halnya
musik dan sinetron?
Inilah pertanyaan-pertanyaan
besar yang semestinya harus dijawab oleh para pelaku dan penggiat puisi itu
sendiri.
Kalau penyair punya ego yang
begitu tinggi, “Kenapa tidak kalian tegakkan sehelai benang menjadi jalan
penentu dari sebuah peradaban?”. Dan jika benar kata dalam puisi menjadi sebuah
senjata, kenapa kita harus menebaskan pedang kita pada sesama penyair?
Lantas bagaimana dengan
anggapan-anggapan miring yang mensdiskreditkan
puisi-puisi maya yang makin laris manis di pajangkan banyak orang di internet?
Siapa lagi yang merecoki rimbunnya kata menjadi sebuah makna.
Sepertinya telah tumbbuh
sekat-sekat perbedaan antara para pelaku
seni dan komunitas penikmat seni. Dimana para pengamat sastra lebih sibuk
meneriaki baju publikasi sebuah puisi hingga tanpa malu-malu berusaha untuk
meyakinkan diri sebagai yang terdepan dikelasnya. Ada kecemburuan identitas
meski tidak saya sebut sebagai pembunuhan karakter. Jika ini dibiarkan, bukan
tidak mustahil akan mengacaukan serumpun kata yang tengah diupersiapkan penulis
–penulis baru di senatero jagad nusantara.
Berdasarkan perbedaan rasa dan selera “manusia puisi”
itulah, saya bisa simpulkan dua hal:
Yang pertama, Penyair kita cenderung
berjalan sendiri-sendiri baik secara individu maupun kelompok mereka. Satu
contoh, ketika ada seorang pemula ingin mendekat dan belajar lebih dekat
bagaiman cara terbaik dan paling mudah dalam “menjajakan” puisi ke publik,
malah termiskinkan dalam segi peran dan
cenderung tidak dilibatkan secara proporsional dan intensif.
Penyair Dan Kelahiran Puisi Maya
Akhir-akhir ini pikiran saya
sering “terganggu” sekali dengan kalaim sejumlah penyair yang secara
terang-terangan “tidak sudi” adanya publikasi puisi hanya sebatas di dunia
maya. Puisi yang benar-benar puisi harus dibukukan dalam sebuah buku atau
antologi puisi. Dan kehadiran puisi maya, tak uabahnya spam dan sampah yang
berserakan tanpa legalitas formal.
Hikss, anggapan-anggapan miring
seperti diatas saya pikiir terlalu berlebihan dan tidak patut diamini. Metinya
kita berterimakasih kepada dunia yang telah melahirkan faisilitas jejaring
sosial facebook dan twiter, blogspot, worpress dan atau apapun fasilitas dunia
maya lainnya. Dengan demikian, kehadiran puisi tidak lagi menjadi kesepian
sepanjang sejarah kreatif kelahirannya. Kebebasan licentia puitika sebuah puisi
tak perlu diperdebatkan. Bukankah puisi tak ubahnya bermuara pada kata. Aada
pesan-pesan spritual, sosial-kemanusiaan, kebenaran dan cinta. Sedang
penggunaan diksi adalah sebuah keniscayaan yang sebenarnya__kadang diabaikan_
oleh sang penyair sendiri. Masing-masing penulis memiliki karakter yang berbeda
dalam penulisan puisi-pusinya. Ada yang setia pada teori penulisan sajak
pendahulunya, ada juga yang membangkang dari teori-teori persajakan. Namun
semuanya sama-sama memiliki arti dan nilai pembaca yang juga sama-sama
diperhitungkan. Lantas kenapa harus memusingkan diri dengan kehadiran puisi
maya? Bukankah ini cara yang paling gress untuk “memperkenalkan” kehidupan
puisi pada dunia semakin menyempit di layar komputer?.
Nah, melihat pertarungan diskusi
antara oposan puisi maya dengan kalangan penyair orde sebelumnya, kita malah
lebih enjoy mengambil jalan tengah diantara pro kontra tersebut. Taruh contoh
saja inisiatif dan langkah kongkrit yang telah dilakukan penyair muda Rini
Intama Tangerang, yang berhasil meyeret pertentangan itu mennjadi diskusi
kebersamaan yang menghangat dalam lingkar Tangerang Serumpun. Belum lagi
puisi-puisinya yang baru terbit dan beredar di senatero Nusantara. Penyair yang
juga pendidik ini mencoba mengekalkkan jejak sajanya pada sebuah buku (Antologi)
puisi bertajuk “GEMULAI TARIAN NAZ, Q-Publisher 2011. Dalam upaya mengkongkrit
buah pikir dan perjalan batin sang penulis yang banyak dituangkan di dunia maya
inilah, Rini Intama melahirkan buku puisi yang ke enam. Bahkan lewat Gemulai
Tarian Naz, dirinya mencoba menjadi Ratu sajak yang tampil jelita dan
mempesona. Dalam buku itu telah tertuang seribu jejak kehidupan manusia yang
kompleksitas. Apalagi dibagi dalam beberapa tema universal yang sangat
menggugah. Diantaranya ada delapan tema sangat mewakili perjalan batin manusia
facebook dewasa ini, yang kemudian dibagi dalam sejumlah sub judul yang
memukau, antara lain KEPADA CINTA, KEPADA PEREMPUAN, KEPADA KEKASIH, KEPADA
TUHAN, KEPADA ALLAM, KEPADA RINDU, KEPADA SAHABAT DAN KEPADA NEGERI. Di Dub
judul yang terakhir ini, Rini Intama mencoba menyajikan tema yanag sedikit
seirus dan renyah tentang “Kidung Ngeri”, berikut lengkap sajaknya:
KIDUNG NEGERI
Oh Negeri
Bumi membasah kerena luka
Berlari mimpi di negeri angin
Seperti pavarotti menyanyikan
sebuah lagu klasik
Ada kata, nada dan irama indah
Duhai pertiwi
Ada kidung juga
Yang kualunkan sendiri
Kutanam cinta di tanahmu
Kusisip rindu disela bebatu.
Nah, puisi yang ditulis Rini Intama pada
bulan Januair 2011 ini hanya contoh kecil yang saya tuliskan disini untuk
sekedar meyakinkan hati yang mudah bertuhan pada pemikiran baru tentang penyair
maya. Padahal tak seorangpun yang bisa menghentikan tangan-tangan kreatif untuk
terus menuliskan jejak sajaknya.
Dengan puisi, mari kita obati
segala kekecewaan yang menghancurkan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
kita di muka bumi. Kita dan para penyair, jangan hanya larut memikirkan diri
kita sendiri. Bukankah Bumi Tuhan tidak hanya Indonesia?.
Arus informasi yang berjubel ternyata memang menggoda puisi untuk turut hadir di dalamnya, dan kenyataannya tak sedikit penyair yang mencoba menulis puisi dg kesadaran informasi tersbut. Dan kehadiran dunia maya ternyata juga menarik puisi untuk menambah fungsinya agar puisi juga dapat di baca di ruang publik yang lebih luas, Terima kasih Fer
ReplyDelete