Buku Cetak Tetap Penting

FERRY ARBANIA
By -
0
Sastrawan dan Novelis Peru, Vargas Llosa
Novelis asal Peru, Mario Vargas Llosa, peraih Penghargaan Nobel dalam bidang kesusastraaan tahun ini tetap menyukai buku-buku cetakan. Bahkan dia khawatir, buku-buku cetakan akan hilang dalam era buku elektronik (e-book) dan digitalisasi.

“Harapan saya adalah bahwa teknologi baru tidak akan menjadi sebuah banalisasi terhadap isi buku,” katanya pada Kamis (7/10).

Sastrawan hebat Amerika Latin berusia 74 tahun yang dalam tulisan-tulisannya mengkombinasikan antara imajinasi dengan keterlibatan dalam perjuangan politik pada masanya itu dianugerahi Penghargaan Nobel Kesustraan oleh Akademi Swedia tahun ini (2010). Dia dipuji sebagai sebuah kesadaran moral.

Dalam konferensi pers, Vargas Llosa mengatakan, pengumuman bahwa dia menerima Penghargaan Nobel sungguh sangat mengejutkannya. Dia berharap, dalam sisa hidupnya tetap bisa terus berkarya dalam dunia sastra.

“Saya akan terus menulis sampai hari-hari terakhir hidupku. Saya tidak berpikir bahwa Penghargaan Nobel ini akan mempengaruhi tulisan-tulisanku, gayaku menulis, dan tema-tema tulisanku,” ujarnya.

Sejak novel pertamanya yang diterbitkan tahun 1962 dengan judul “The Time of the Hero sampai karya-karyanya terbaru, seperti “The Feast of the Goat”, Vargas Llosa tidak saja mengangkat situasi di negerinya Peru, tetapi juga tentang tokoh diktator Republik Dominikan, Rafael Leonidas Trujillo.

Tema karya-karya Vargas beragam, mulai dari politik, kegagalan suksesi kepemimpinan di Peru, debat melawan revolusi Kuba sampai tulisan-tulisan tentang perang dan konflik sebagai karya jurnalistik.

Karena itu dia berharap ke depan, sastra tetap akan menyentuh masalah-masalah esensial yaitu masalah sosial dan kemanusiaan. “Saya kira ada sebuah bahaya bahwa teknologi akan mengurangi isi buku. Tetapi ini juga tergantung kita. Kalau kita ingin sastra itu tetap dipertahankan sebagaimana adanya, itu sangat tergantung kita,” ujarnya.

Sementara terakit lahirnya era buku-buku digital atau e-book (buku eletronik) dia mengatakan, perubahan itu tidak bisa dihindarkan. “Tetapi saya tidak tahu apakah saya bahagia dengan itu. Yang saya pikirkan adalah bahwa buku adalah buku cetakan di atas kertas,” uarnya.

Vargas Llosa yang mengajar filsafat sastra semester ini di Princeton University, New Jersey menekankan bahwa buku-buku cetakan itu masih relevan. “Membaca haruslah menjadi kebiasaan generasi kita dan anak-anak mudah khususnya harus melihat bahwa sastra tidak hanya pengetahuan, sastra bukan hanya cara untuk mendapatkan konsep dan ide yang pasti, tetapi dia adalah sebuah kesenangan yang sangat luar biasa,” paparnya.

Sastra yang baik adalah sesuatu yang sangat mendasar bila kita ingin hidup dalam kebebasan di masa mendatang. Sebab sastra membuat warga negara tidak mudah dimanipulasi oleh meraka yang berkuasa. [AFP/A-21/www.suarapembaruan.com]

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)