Meluruskan Kisah Nabi Ibrahim (Versi sebelum diedit)
Salah
satu kelebihan Harian Umum Republika adalah adanya rubrik Islam Digest
setiap hari minggu. Di dalamnya ditemukan beraneka macam khazanah
keislaman. Rubrik ini tentunya sangat memberikan manfaat yang banyak
kepada khalayak, selama informasi yang disajikan ilmiah dan akurat.
Minggu
lalu, Islam Digest edisi Ahad, 12 April 2009 dalam kolom Situs
mengangkat tema Namrud. Di dalamnya diceritakan tentang seorang raja
cerdas yang lalim. Sebagaimana diketahui bahwa Raja Namrud bin Kan’an
bin Kusy bin Sam bin Nuh adalah Raja Babilonia (2275-1943 SM) yang hidup
semasa dengan Nabi Ibrahim (W. sekitar 1900 SM).
Dalam
kolom Situs tersebut Islam Digest juga menceritakan ihwal sepak terjang
Nabi Ibrahim ketika menghadapi orangtua dan kaumnya termasuk Raja
Namrud yang musyrik. Sangat menarik untuk dibaca guna menambah wawasan.
Namun sayang, menurut hemat penulis ada uraian Islam Digest tentang Nabi
Ibrahim yang sangat berbahaya bagi kelestarian akidah umat Islam dan
karenanya mendesak untuk diluruskan. Bahwa “Sebagaimana dikisahkan dalam
Alquran, Ibrahim AS telah melakukan pencarian siapa Tuhan sebenarnya. Saat menyaksikan bintang, Ibrahim mengira itulah tuhannya. Demikian pula saat melihat bulan pada malam hari dan matahari di siang hari, Ibrahim mengira itulah tuhannya. Namun, ketika pada waktu-waktu tertentu, bintang, bulan, dan matahari itu tenggelam, Ibrahim mengeluh dan mencari Tuhan yang menciptakan bintang, bulan, dan matahari, yakni Allah SWT. Dan, ia percaya, tidak ada tuhan selain Allah yang menciptakan langit dan bumi.” (kutipan dari Islam Digest)
Asumsi
yang perlu diluruskan di sini adalah –sebagaimana beredar di kalangan
awam bahkan intelektual- kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Asumsi ini
menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim beriman dengan cara berfikir terlebih
dahulu -layaknya Filsuf-; siapa yang berhak untuk dijadikan sebagai
Tuhannya. Hal ini menyatakan bahwa ia pernah ateis (tidak
bertuhan/kebingungan mencari Tuhan) atau musyrik karena mengikrarkan
ketuhanan bintang, bulan dan matahari.
Pada
kenyataannya, sesungguhnya kisah Nabi Ibrahim bukanlah seperti asumsi
yang beredar selama ini bahwa Nabi Ibrahim adalah Bapak Monoteisme
karena petualangannya mencari Tuhan. Oleh karena itu, laik untuk
dicermati dan disimak arti QS. Al-An’am ayat 76-78 sebagai berikut; Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”. (76) Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “inilah Tuhanku”.
Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat”. (77) Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar”. Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, ” Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri apa yang kamu persekutukan”. (78)
Pada terjemahan ayat Alquran di atas yang perlu digarisbawahi adalah kalimat “Inilah Tuhanku (Hadza Rabbi)“. Dari kalimat itulah bersumber kesalapahaman di tengah umat. Padahal, makna hadza rabbi (inilah tuhanku) bukan bermakna ikhbar (pernyataan) tetapi bermakna Istifham Ingkari/Istifham Taubikhi (pertanyaan
untuk mengingkari/mencela pola pikir kaumnya yang menyembah bintang).
Jadi makna kalimat “inilah Tuhanku” semestinya diartikan dan ditulis
dengan “inikah Tuhanku?”. Hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh Imam Abu Hayyan al-Andalusi (W. 745 H/ 1345 M), ia
berkata dalam tafsirnya An-Nahrul Mad: “Perkataan Nabi Ibrahim hadza rabbi bukanlah
pernyataan keyakinan bahwa bintang (Yupiter atau Venus), bulan dan
matahari adalah tuhannya. Hal ini diibaratkan seperti ketika anda
melihat orang lemah yang tak mampu berdiri, lalu anda mengatakan hadza nashiri (inikah penolongku?)”.
Demikian juga pendapat Imam Fakhruddin Ar-Razi (W. 606 H/ 1210 M) dalam kitabnya Ishmatul Anbiya’: “Kalimat hadza rabbi datang ala wajhi al-I’tibar wa al-istidlal La ‘ala wajhi al-ikhbar (datang untuk memberi ibrah [pelajaran]
dan mencari dalil [bahwa bintang, bulan dan matahari yang disembah
kaumnya adalah tidak benar], bukan sebagai statemen/ pernyataan.”
Perkara
kedua yang perlu digarisbawahi bahwa semua Nabi termasuk Ibrahim
terpelihara atau dijaga oleh Allah dari kekufuran, syirik, melakukan
dosa besar dan dosa kecil yang menghinakan. Maka mustahil bagi seorang
penyampai dakwah rabbaniyah dan pembawa misi ilahiyah
tidak mengenal Tuhan yang ia sembah. Imam al-Qadli ‘Iyadl (W. 544 H/
1149 M) mengatakan dalam kitabnya asy-Syifa: “Sesungguhnya para Nabi itu
ma’shum (terjaga) -baik sebelum maupun sesudah menjadi Nabi-
dari kebodohan, keraguan (walau sedikit saja) dan ketidakmengenalan
terhadap Tuhan dan sifat-sifatNya”.
Allah berfirman dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 51: “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim Rusydahu [Petunjuk
kebenaran] sebelumnya (sebelum ia mencapai umur balig [tafsir Imam
Mujahid W. 104 H])”. Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum Nabi Ibrahim
berdakwah, ia telah diberikan iman yang kokoh dan ma’rifat/pengetahuan
bahwa hanya Allah Tuhannya yang layak disembah bukan bulan, bintang,
matahari dan lain sebagainya. Sedangkan konteks surat al-An’am ayat
76-78 di atas adalah disebabkan kondisi (medan dakwah) kaum Nabi Ibrahim
yakni kaum Harran yang gandrung terhadap ilmu astronomi bahkan mereka
sampai menyembahnya (bintang, bulan dan matahari).
Oleh sebab itu Allah mengutus Nabi Ibrahim kepada mereka dengan membawa hujjah qawiyah
argumentasi yang kuat. Bahwa; Apakah layak sesuatu yang terbit lalu
tenggelam, sesuatu yang berubah, dan tidak dapat memberikan manfaat dan
mudarat untuk dijadikan Tuhan? Oleh karena itu Ibrahim berkata kepada
kaumnya La uhibbul afilin (Saya tidak suka sesuatu yang
tenggelam). Dalam tafsir Jalalain (karya Jalaluddin al-Mahalli W. 864 H/
1459 M dan Jalaluddin as-Suyuthi W. 911 H/ 1505 M) dijelaskan: “-Saya
tidak suka sesuatu yang tenggelam- untuk dijadikan tuhan, sebab tuhan
itu tidak patut mempunyai sifat yang berubah-rubah, bertempat dan
berpindah-pindah. Karena sifat-sifat itu hanya pantas disandang oleh
makhluk”. Dari sini maka dikenal di kalangan Ulama alasan Nabi Ibrahim
dijuluki dengan Hujjatullah (Nabi yang diberikan kekuatan dalil
argumentasi yang kuat oleh Allah untuk mematahkan keyakinan kaumnya
yang sesat). “Dan itulah ‘Hujjah Kami’ yang Kami berikan kepada Ibrahim
untuk menghadapi kaumnya”. (QS al-An’am: 83)
Di
samping Nabi Ibrahim juga pernah mematahkan argumen Raja Namrud bin
Kan’an yang mengaku sebagai tuhan dengan memerintahkannya agar
menerbitkan matahari dari barat, fabuhital ladzi kafar (maka terbungkamlah Raja Namrud). (QS al-Baqarah: 258)
Adapun
dalil lain yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah
mencari-cari Tuhan atau kebingungan dan mengeluh siapa tuhannya adalah
diantaranya; QS. Al-An’am ayat 79: “Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” QS. Ali Imran ayat 67: “Ibrahim
bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia
adalah seorang yang hanif/lurus lagi muslim (seorang yang tidak pernah
mempersekutukan Allah dan jauh dari kesesatan) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik (tidak pernah musyrik sama sekali baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya).”
Sejatinya,
tafsir makna surat al-An’am 76-78 berdasarkan keterangan di atas adalah
sebagaimana berikut: “Ketika malam telah menjadi gelap, Nabi Ibrahim
melihat sebuah bintang lalu ia menyatakan “Inikah Tuhanku?sebagaimana kalian kira?”.
Maka ketika bintang itu terbenam dia menyatakan, “Aku tidak suka kepada
yang terbenam” yakni layakkah sesuatu yang terbenam dijadikan tuhan
sebagaimana yang kalian yakini? Maka ketika kaumnya tidak memahami
maksud pernyataan Nabi Ibrahim tersebut bahkan mereka tetap menyembah
bintang, maka Nabi Ibrahim menyatakan untuk kedua kalinya ketika ia
melihat Bulan dengan pernyataan yang sama “Inikah Tuhanku?”. Demikian Nabi Ibrahim mengulangi kembali pernyataannya ketika melihat matahari “Inikah Tuhanku?”. Lalu ketika Nabi Ibrahim tidak dapat memberikan kesadaran/hidayah terhadap kaumnya maka ia menyatakan kepada kaumnya inni bariun mimma tusyrikun (Sungguh, aku berlepas diri [tidak bertanggungjawab dan tidak ikut menyembah bintang] dari apa yang kalian persekutukan).
Kesimpulannya,
Ibrahim sebagai Nabi dan Rasulullah telah mengenal dan beriman kepada
Allah jauh-jauh hari sebelum menjadi Nabi. Sebagaimana para Nabi
lainnya. Tidak pernah ragu sedikit pun akan keberadaan Allah pencipta
semesta. Dan, ketuhanan hanya layak disandang oleh Allah, Dialah tiada
pencipta yang berhak disembah kecuali Allah. Bukan seperti asumsi
sebagian orang bahwa Nabi Ibrahim pernah suatu ketika, ia kebingungan,
ragu lalu mencari siapa tuhannya. Karena semua para Nabi mustahil
melakukan atau jatuh dalam kesesatan, kekufuran, syirik, dosa besar dan
dosa kecil yang menghinakan, baik sebelum maupun sesudah menjadi Nabi.
Karena para Nabi dan Rasul diutus sebagai Hudatan Muhtadin (orang yang mencerahkan dan tercerahkan) guna menyampaikan risalah kebajikan kepada seluruh alam semesta.
Nabi Ibrahim Berbohong?
Benarkah Nabi Ibrahim pernah berbohong? Secara prinsip agama, semua Nabi itu ma’shum (terjaga)
dari perbuatan bohong. Mustahil para Nabi nota bene penyampai wahyu
berbuat dusta, lalu apa kata kaumnya kalau Nabinya saja berdusta.
Lantas, bagaimana dengan sebuah Hadis Sahih riwayat Imam al-Bukhari dan
Muslim yang merekam bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda: “La yakdzib Ibrahimu illa tsalatsa kadzabat (Nabi Ibrahim tidak pernah berbohong kecuali dalam tiga kasus); Pertama, perkataan Ibrahim: Bal fa’alahu kabiruhum hadza (Patung besar itu yang melakukannya) QS. al-Anbiya’: 63. Kedua, perkataan: Inni saqim (Sesungguhnya
saya sakit) QS. ash-Shaffat: 89. Yang ketiga adalah perkataan Ibrahim
tentang Saroh (istrinya) ketika ditanya oleh Raja yang lalim, ia
menjawab: Hadzihi ukhti (dia adalah saudariku).”
Menurut
para ulama, seperti Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani (W. 852 H/ 1448 M)
mengomentari hadis tersebut dalam kitabnya Fathul Bari Bisyarhi Shahihil
Bukhari dan Imam an-Nawawi ( W. 676 H/ 1277 M) dalam kitabnya al-Minhaj
Syarah Shahih Muslim Ibnul Hajjaj; Bahwa tiga perkataan Nabi Ibrahim
tersebut merupakan bentuk Tauriyah (Hal menampakkan di luar
yang dimaksudkan) dan hal itu bukanlah suatu kebohongan apabila tiga
perkataan tersebut dipahami lebih dalam. Karena Nabi Ibrahim
menyampaikannya dalam redaksi yang mengandung dua pengertian (maksud)
dan apabila redaksi tersebut dipahami lebih dalam oleh pendengarnya maka
akan diketahui bahwa Nabi Ibrahim tidaklah berbohong.
Maka menurut sebagian Ulama, takwil tiga perkataan Nabi Ibrahim itu adalah; Pertama, Bal fa’alahu kabiruhum hadza
(Patung besar itu yang melakukannya) sebenarnya yang menghancurkan
berhala-berhala yang kecil itu adalah patung yang paling besar karena
sebab dialah aku (Ibrahim) melakukannya (isnad majazi). Kedua, Inni Saqimun (saya
sakit) maksudnya aku akan sakit, karena setiap manusia akan mati, dan
pada umumnya kematian didahului oleh sakit. Makna perkataan Ibrahim
tersebut senada dengan firman Allah Innaka mayyitun wa innahum mayyitun (Sesungguhnya engkau [Muhammad] akan mati dan mereka juga akan mati) QS. az-Zumar: 30. Ketiga, Hadzihi ukhti (ini saudariku) maksudnya saudaraku dalam iman dan Islam (fil ukhuwwah al-Islamiyyah) bukan saudara dalam nasab. Karena apabila Nabi Ibrahim mengatakan hadzihi zaujati (ini adalah istriku) maka Saroh akan dirampas oleh Raja yang lalim. Wallahu A’lam bis Sowab
*Versi lengkap sebelum dimuat di koran Republika, jumat 24 April 2009
Alvian Iqbal Zahasfan S.S.I
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia