google search |
Bermula dari rasa yang sebelumnya tak pernah kupikirkan, tiba-tiba kau
datang menyelinap dibalik kelam sujudku. Menandai serpihan tangis yang
memanjang dilorong-lorong sepi. Kau
begitu angkuh dan tajam menatap kekalahan ini. Hingga tak sadar, ku ucapkan
kesal dan takjubku yang pelan-pelan jadi merdu, merayu.
Setiap kali aku pergi dengan sisa
asa yang masih meredup ditingkap bianglala, kau tampak seperti bayangan waktu
dan masa laluku.
Setiap kali aku bicara padamu
dimalam sunyi tanpa bintang dan ombak tangisku, kaupun hadir menorehkan senyum
yang entah apa maknanya.
Barangkali umurku sudah tak cukup
buat mencumbui kesia-siaan. Seperti juga obsesiku meraih bintang-bintang. Tapii
senyummu, ya senyummu makin nakal menggelitik jiwaku, sakitku pasti.
Entah berapa lama lagi mesti ku
diamkan anak-anak panah itu menempel di dadaku. Ciut, resah dan hasrat
mencabutnya sudah tak begitu beranpsu. Aku hanya ingin sepi ini segera
berakhir. Dan cinta ini, ya cinta ini tak lagi membatu.
Saat ini kupercayakan hati pada
lapuk do’a. Biarkan saja wajah angin menyembul dan terbit dalam geram
malam-malamku. Lantaran tak sejedahpun kau bisa membuatku kembali bersama
bintang itu. Tetapi, satu hal yang masih menyisakan tanya dalam kesendirian
rinduku. Ada sebait puisi yang pernah kau tuangkan dalam kamar imajenasiku,
yakni ketulusan.
Lama-lama aku seperti binatang
hutan dalam permainan apimu. Daun-daun dan ketinggian pohon setia ini, tak lama
lagi akan merunduk mencari akar mimpi. Setelah itu kau akan pulang dan kembali
ke hutan tahayul. Melipat kamboja pada nisan kesndirian yang membara. Lalu kita
sama-sama berbaring mencari celah angin dan sakwa sangka.
Andai saja hutan dan binatang
milik rimbaku. Ingin kulepas penat ini pada rawa dan kawah gerimis yang masih
biru.
Tuhan, masih lelap tidurku.
Tolong aku dalam teriknya sadarku. Aku tahu telah memujamu dengan cinta. Tapi
tidurku tak senyenyak burung gereja. Dzikirku perih dalam tasbih. Aku ingin
kembali jika itu yang Kau mau. Aku ingin bertahan, jika kematian bukanlah yang
terbaik. Lepaskanlah rasa takut dan kebencian rindu yang malu-malu ini. Berikan
satu arti saja dalam meraih kebersamaan. Atau aku hanya binatang –binatang
kecil yang mendambakan kebesaran bintang.
Sebenarnya siapa yang pantas
kubilang sayang? Kaukah bintang, atau Tuhanku telah bimbang?
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia