by: Ferry Arbania
(belum dipublikasikan di media apapun, keculai di blog pribadiku ini)
Hujan mawar dipertiga malam. Jalanan senyap, bulan digigil dingin
yang memuncak. Lampu padam, hati bimbang, kesal dan memerah. Kelelawar
bersigagap dalam tempurung jambu dan pohon sawu yang tiba-tiba tumbang.
Akarnya tercerabut dari tanah. Mata angin menghunus gemasnya.
Pohon-pohon bersidekap dalam beku. Meranting senyap pada dahan-dahan
mawar yang rebah merangkul genangan air yang kian meninggi.
“Jalan tertutup, sebaiknya berbalik arah mencari jalur alternative”
Sekelebat bayangan berpesan parau dalam getar gigil yang bergemeretak
dalam benturan gigi bawah dan geraham.
“Minum kopi hangat Bang?” Perempuan semok setengah baya itu menawarkan
jasa sambil menggeser pinggulnya yang aduhai.
“ehhhkk, Mamam,,,,makasih Mbak. Waduh, Sudah larut malam kayak gini
warungnya masih belum tutup ya?”
“ Memangnya kenapa Bang?”
Bang Mamad sepertinya kehabisan kata untuk sekedar menjawab pertanyaan
sederhana perempuan kopi, cantik itu. Sementara tangannya sibuk
meraba-raba saku celananya yang sedikit basah oleh hujan.
“ya ampun, rokokku hancur kena air. Tolong ambilkan kretek satu pak ya
dik”.
Aminah bergegas mengambil rokok kesukaan Mamad dan menyodorkannya
sembari tersenyum hangat kearahnya.
“Tangan Abang dingin sekali”.
“Suaminya kemana dik, kok sendirian. Apa tidak takut sendirian di warung
seperti ini. Apalagi ini sudah larut malam”.
“Saya sudah biasa kok Bang. Bahkan sudah hamper setahun yang lalu.
Sebenarnya saya ingin berhenti jualan kopi. Namun apa boleh buat, cari
pekerjaan itu tidak mudah Bang. Oh ya, abang dari mana malam-malam
begini hujan-hujanan?”.
“Saya habis nganterin ponakan ke pondoknya. Tadi sore lupa nggak bawa
jas hujan. Ya begini kehujanan. Nambah kopinya ya, jangan dikasih susu
ya”.
Malam makin larut, angin dingin makin menusuk pori-pori. Namun entah
kenapa keduanya makin asyik ngobrol dan sesekali terlihat sangat akrab,
mendekat. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat dari kejauhan.
Sepertinya ledakan Gardu PLN terkena sambaran petir. Semenit kemudian
lampu padam. Suasana menjadi gelap dan mencekam. Tak ada lagi
suara-suara. Sepertinya ledakan keras itu tidak cukup dahsyat buat
membangunkan warga yang tengah lelap dalam mimpi mereka.
Daun jendela yang berserak terbuka, kini telah tertutup rapat. Daun
talas dan rumput teki yang memanjang disela ilalang, berayun-ayun ditup
angin basah yang melipat malam kian tenggelam. Sepasang sayap kehidupan
yang mengepak dari bahu binatang malam, kini telah melaut sepi. Seprti
telah terrsihir jarum jam yang menunjuk kearah 4 dini hari.
“Kamu memang luar biasa bang. Hati-hati pulangnya ya bang. Jangan sampai
ketahuan istrimu. Aku mencintaimu”.
“Aku juga mencintaimu dik. Kamu memang primadona desa yang menguncup
madu di tubuhmu. Aku tak menyangka kamu sudah janda”.
Si Mamad tak henti-hentinya melontarkan samudera pujian dileher janda
kembang yang putih mulus itu. Tangannya beraksi kemana-mana. Ibarat
gitaris sebuah kelompok band, tangan-tangan gemasnya terus meremas
senar-senar kenikmatan hingga basah. Bahkan tidak berhenti disitu, Mamad
jadi lupa segala-galanya. Lupa istri dan anak-anaknya yang menunggui
dirumah cinta dengan setia. Bibirnya bergetar dan sesekali seperti
mendesis. Berkali-kali lidahnya dijulur seperti seekor ular yang
melunasi hasrtanya pada seekor kodok yang telanjang. Jantung mereka
berpacu kian kencang. Memainkan akustik jalang yang kerontang. Berpacu
dengan guyur hujan yang mencabik kenyal tanah yang kian basah.
Assolatu khoirumminannaum……………
Kumandang adzan subuh menyilet perjalanan malam yang letih dan basah
membecek. Pohon-pohon keras yang semalam menantang keras, kini telah
ambruk dijatuhi sebutir sawo matang yang jatuh diterbangkan kelelawar.
Getahnya memuncrat disehelai kain yang terlihat kusut. Dan bantalpun
ternoda oleh buah cinta sebatang rokok kretek, yang tercelup segelas
hasrat yang meringkuk disebuah kedai malam yang gelap. Bejad!
Sumenep, 13 Mei 2010
Post a Comment
0Comments
3/related/default
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia