Taring Padi, Seni Membongkar Tirani

FERRY ARBANIA
By -

Kompas/Dody Wisnu Pribadi
Seorang peserta workshop seni nukil kayu yang diselenggarakan Komunitas Taring Padi di Yogyakarta, Sabtu (29/10/2011), menyiapkan hasil cetak nukilnya hendak dicapkan pada kertas dan kain. Seni nukil kayu praktis tidak disentuh oleh seniman lain kecuali Taring Padi yang menjadikannya berisi propaganda seni untuk kepentingan menyuarakan suara rakyat tertindas.
|Ferry Arbania|Berbeda dengan umumnya buku yang dibuat dengan aturan pengutipan yang ketat, buku berjudul Taring Padi, dan sub judul Seni Membongkar Tirani karya komunitas Taring Padi terbitan Lumbung Press, Yogyakarta (2011), boleh dikutip tanpa meminta izin Taring Padi. Bahkan buku ini segera dibuat versi ebook-nya agar bisa dibaca seluas-luasnya oleh generasi muda.
Acara peluncuran buku itu berlangsung diikuti dengan acara lokakarya seni nukil kayu (wood cut) di Malang, Jawa Timur, Sabtu (29/10). Tak kurang dari 30 peserta terlibat, melakukan aksi berkesenian yang dapat diikuti oleh siapapun tanpa disyaratkan memiliki latar belakang kesenian.
Diskusi dan peluncuran buku serta lokakarya berlangsung di kampus Universitas Islam Malang, diselenggarakan Komunitas Nganti Wani, Malang.
"Taring Padi dimulai sejak 1998, semula dimaksudkan sebagai sebuah gerakan seni, berusaha meletakkan seni sebagai sarana pemberi inspirasi dan medan perjuangan yang mengabdi pada kepentingan rakyat secara lugas. Maka, nama Taring Padi semula Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi," kata Muhammad Ucup Yusuf, seniman senior di antara perintis generasi awal komunitas Taring Padi yang memimpin acara peluncuran buku.
Taring Padi boleh jadi satu-satunya komunitas seniman yang sejak 1998 menyuarakan secara lugas dan lantang karya-karya seni yang berisi teks-teks pembelaan rakyat.
Karya seni rupanya yang berwujud seni rupa nukil kayu, berisi teks-teks Tanah untuk Petani dan ilustrasi petani kurus, Jangan Mau Dibungkam di samping gambar mulut terbuka, Senjata Tak Selesaikan Masalah dengan gambar palu dan arit terbakar api.
"Itulah unik dan sekaligus nilai kepahlawanan karya seni Taring Padi, karena sejak semula karya seni Taring Padi dikerjakan bukan untuk dipajang di ruang pamer di gedung-gedung tinggi berpendingin ruangan," ungkap Paring Waluyo Utomo, pekerja pendampingan sosial yang tiga tahun mendampingi korban lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, dan tampil sebagai pembicara diskusi.
"Kami sudah menerima umpatan apa saja, cercaan apa saja dan hinaan apa saja. Namun karena kami bertekad berkesenian untuk mengabdi kepentingan rakyat, kami tak peduli. Meski lukisan kami laku, tak satupun lukisan kami yang dibeli warga Indonesia. Seni rupa kami laku di Singapura, Hongkong, dan menjadi koleksi Museum Seni Singapura. Kami tetap menulisinya dengan teks yang mendominasi gambar, misalnya Hentikan Kekerasan terhadap Pembantu Rumah Tangga," tutur Ucup.

Sabtu, 29 Oktober 2011http://oase.kompas.com