Jihad Imam Ali as. Bersama Nabi saw.

FERRY ARBANIA
By -
Ilsutrasi Jihad#votreesprit.wordpress.com
|Ferry Arbania|Secara positif, landasan dakwah Nabi saw. adalah mengajak umat manusia kepada perdamaian dan membebaskan mereka dari setiap ancaman kehancuran dan kerugian perang.
Ia memulai dakwah dari kota Mekah, kota sentral kekuatan Jahiliyah yang dikuasai oleh orang-orang kafir Quraisy. Dasar gerakan dan pemikiran mereka adalah kebodohan, kecongkakan, dan egoisme. Mereka adalah kaum yang keras kepala, som-bong, dan bersikeras untuk mengadakan perlawanan terhadap Rasulullah saw

. Di samping itu, mereka melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang beriman kepada misi Nabi saw.

Kondisi itu menyebabkan mereka harus berhijrah ke Habasyah demi menyelamatkan diri mereka dari kekerasan dan tekanan kaum kafir Quraisy. Pada saat itu, Nabi saw. dilindungi oleh Singa Padang Pasir, Abu Thalib, dan putranya, Imam Ali as. Setelah Sang Singa ini kembali ke haribaan Ilahi untuk selamanya, ia tidak memiliki lagi pendukung untuk berlindung diri. Kesempatan tersebut digunakan oleh kaum kafir Quraisy untuk bersekongkol membunuhnya. Mengetahui rencana dan makar jahat ini, ia segera berhijrah ke Yatsrib (Madinah).

Di Madinah, Nabi saw. memperoleh sambutan yang hangat dan perlindungan dari penduduknya. Mengetahui peristiwa ini, kaum kafir Quraisy bertambah berang dan marah seperti orang kebakaran jenggot. Mereka sepakat untuk menyulut api peperangan dengan penduduk Yat-srib dan berupaya mengerahkan seluruh sarana dan kekuatan ekonomi untuk menyerang dan melumpuhkan mereka.
Ali as. senantiasa siap siaga di samping Rasulullah saw. untuk melindunginya dan melakukan serangan balik dalam seluruh peperangan yang disulut oleh kaum kafir Quraisy itu. Rasulullah saw. menjadikan Ali as. sebagai komandan perang yang bertugas di garis depan. Sebagian peperangan yang pernah diikuti Imam Ali as. adalah berikut ini:
1. Perang Badr
Dalam sejarah, peristiwa Badr telah mencatat kemenangan yang gemilang bagi Islam dan muslimin. Perang ini adalah pukulan yang telak bagi musyrikin. Dalam perang ini, Allah swt. telah memuliakan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw., menghinakan dan menaklukkan para musuhnya. Pahlawan ksatria pada perang ini adalah Amirul Mukminin Ali as. Pedang Ali menghantarkan mereka ke ambang kematian. Kepala musyrikin dan para penentang Tuhan tertebas habis oleh pedang ter-sebut. Ketangkasan dan kegigihan Ali dalam perang tidak diragukan lagi sehingga Jibril turun dan menyampaikan pujian untuknya dengan ungkapan:
Tidak ada pedang selain Dzul Fiqâr
Dan tidak ada pemuda selain Ali[1]
Kami telah menjelaskan perang Badr ini dan peran positif Imam Ali as. secara rinci pada Mawsû‘ah Al-Imam Amirul Mukminin Ali as., jilid kedua.
2. Perang Uhud
Dengan duka yang mendalam, kaum kafir Quraisy menerima informasi kekalahan pasukannya dan kerugian yang berlipat ganda di pertempuran Badar. Hindun, ibu Mu‘âwiyah, termasuk salah seorang yang begitu terpukul dan sedih dengan kekalahan itu. Ia melarang orang Quraisy, baik kaum laki-laki maupun kaum wanita, untuk menangisi para prajurit yang terbunuh di Badar. Kesedihan itu tidak akan pernah padam di dalam hati mereka sebelum mereka dapat melakukan pembalasan dendam.
Abu Sufyân bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan pada perang Uhud. Dialah yang memberikan semangat kepada masyarakat Jahiliyah Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Mereka mengum-pulkan harta benda dan dana untuk membeli peralatan dan perbekalan perang. Himbauan Abu Sufyân itu disambut baik oleh masyarakat demi memerangi Rasulullah saw.
Pasukan Abu Sufyân keluar menuju medan Uhud dengan semangat  yang menggelora disertai oleh kaum wanita mereka sampai peperangan berakhir. Hindun memimpin pasukan wanita. Kaum wanita ini bergerak sembari menabuh genderang dan mendendangkan syair:
Bangkitlah wahai putra-putra Abdi Dar.
Bangkitlah wahai para penjaga negeri tak gentar.
Pukulkan pedang kalian dengan bak halilintar.
Sementara itu, Hindun sendiri menyanyikan dendang khusus yang ia tujukan kepada pasukan Quraisy dengan suara yang lantang:
Jika kalian maju berperang,
kami akan peluk kalian dan gelar permadani.
Jika kalian mundur,
kami akan berpisah dengan kalian sampai mati.
Pasukan kaum musyrikin Quraisy ketika itu berjumlah tiga ribu orang. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tujuh ratus orang.
Seorang prajurit musyrikin yang bernama Thalhah bin Abi Thalhah maju ke depan dengan bendera komando di tangannya. Ia mengangkat suranya tinggi-tinggi: “Hai para sahabat Muhammad, apakah kalian yakin bahwa Allah akan mempercepat kami pergi ke neraka dengan pedang-pedang kalian, dan mempercepat kalian menuju ke surga dengan pedang-pedang kami? Siapakah yang berani duel denganku?”
Pejuang Islam, Imam Ali as., segera menimpali dan menyerangnya. Dengan sabetan pedangnya, lelaki itu jatuh ke tanah dengan berlumuran darah. Ali as. membiarkannya jatuh dan tidak meneruskan perlawanan-nya. Tidak lama kemudian, darahnya tumpah dan ia binasa. Kaum muslimin menyambut kemenangan Ali as. itu dengan penuh gembira, sementara kaum musyrikin menjadi hina dan nyali mereka surut. Bendera komando pasukan musyrikin Quraisy diambil alih oleh yang lain. Imam Ali as. menyambut dan melakukan serangan kepada beberapa orang Quraisy seraya menebas kepala-kepala mereka dengan pedangnya yang tajam. Hindun selalu membangkitkan semangat jiwa prajurit kaum musyrikin dan mendorong mereka agar menyerang kaum muslimin. Setiap kali seorang dari mereka gugur, ia menawarkan celak sembari berseloroh: “Kamu ini hanyalah seorang wanita pengecut. Pakailah celak mata ini ini.”[2]
Sangat disayangkan, dalam peperangan ini kaum muslimin meng-alami kekalahan yang pahit dan kerugian yang memalukan. Hampir saja bendera Islam jatuh karena itu. Hal itu terjadi karena kecerobohan sekelompok pasukan Islam yang berani menyalahi pesan Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan sekelompok pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair agar tetap diam di atas bubkit demi menjaga kaum muslimin dari arah belakang. Ia sangat menekankan agar mereka tidak bergeser sedikitpun dari tempat tersebut. Ketika per-tempuran sedang terjadi, para pemanah itu berhasil membidikkan panah-panah mereka ke arah pasukan kafir Quraisy dan banyak membunuh mereka.
Pasukan Quraisy mengalami kekalahan telak dan mereka kabur tunggang-langgang dengan meninggalkan berbagai senjata dan barang-barang berharga. Kaum muslimin mulai mengumpulkan harta rampasan perang. Melihat harta kekayaan yang melimpah itu, sebagian besar pasukan pemanah meninggalkan pos mereka untuk turut serta berebut harta rampasan perang. Mereka telah lupa akan pesan Nabi saw. untuk tetap tinggal di pos tersebut. Khalid bin Walid, komandan pasukan kafir Quraisy, melihat kondisi para pemanah tersebut dan merasa memiliki kesempatan emas. Ia segera melakukan serangan terhadap para pemanah yang masih tersisa di atas bukit itu sehingga banyak pasukan muslimin yang terbunuh. Setelah itu, Khalid dan pasukannya menyerang para sa-habat Nabi saw. dari arah belakang dan berhasil mengacaukan dan mem-bunuh barisan Muslimin. Dalam serangan ini, prajurit musyrikin banyak membunuh tokok-tokoh pasukan Muslimin.
Pembelaan Imam Ali as. Terhadap Nabi saw.
Kekalahan yang sangat menyakitkan menimpa kaum muslimin. Sebagian pasukan mereka kabur. Hal ini membuat mereka takut dan gentar meng-hadapi kaum musyrikin. Akhirnya sebagian besar mereka meninggalkan Nabi saw. yang telah dikepung oleh musuh-musuh Islam. Nabi saw. mengalami luka-luka parah dan jatuh terjerembab ke dalam lubang yang dibuat oleh Abu Amir dan sengaja ia sembunyikan agar kaum muslimin jatuh ke dalamnya. Ketika itu, Ali as. berada di samping Nabi saw. Ia segera memegang tangan beliau, sementara Thalhah bin Abdullah me-ngangkatnya sehingga ia dapat berdiri.[3] Pada saat itu, Nabi saw. Menoleh kepada Ali as. seraya bertanya: “Hai Ali, apa yang telah mereka lakukan?” Ali as. menjawab dengan hati yang tersayat: "Ya Rasulallah, mereka me-nyalahi janji dan kabur tunggang langgang.”
Sekelompok orang Quraisy berusaha melakukan serangan terhadap Nabi saw. sehingga ia terpojok. Ia berkata kepada Ali: “Halaulah mereka, hai Ali.” Ali as. menyerang mereka tanpa menunggangi kuda, dan berhasil membunuh empat orang anak Abu Sufyân bin ‘Auf dan enam orang dari kelompok penyerang tersebut. Setelah berusaha dengan susah payah, akhirnya Imam Ali as. berhasil menghalau dan mempermalukan mereka. Kemudian datang lagi kelompok yang lain untuk menyerang Nabi saw. Di antara mereka terlihat Hisyâm bin Umayyah. Ali as. pun berhasil membunuhnya, dan mereka yang masih tersisa kabur. Setelah itu, kelompok ketiga datang menyerang Rasulullah saw. Di tengah-tengah mereka terlihat Busyr bin Mâlik. Ali as. juga berhasil membunuhnya, dan sisa kelompok itu pun kabur dengan kekalahan yang memalukan.
Melihat keberanian dan ketangkasan Ali as., Jibril memohon izin kepada Allah untuk turun. Ia berkata kepada Nabi saw.: “Perlawanannya sungguh membuat kagum para malaikat.” Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Kenapa tidak, karena Ali dariku dan aku darinya.” Jibril  pun bersahut: “Dan aku dari kalian berdua.”[4]
Dengan penuh keperkasaan dan ketangkasan, Ali as. senantiasa teguh membela Nabi saw. Selama pembelaan ini, ia tertebas pedang sebanyak enam belas tebasan. Setiap tebasan tersebut telah berhasil membuat Ali as. jatuh tersungkur ke atas tanah. Tetapi tak seorang pun yang membangunkannya selain Jibril.[5]
Seluruh musibah dan bencana gala yang dialami oleh pejuang Islam dan penghulu orang-orang yang bertakwa ini hanyalah demi membela Islam semata.
Dalam perang Uhud ini, pejuang Islam abadi bernama Hamzah, paman Nabi saw. meneguk cawan syahadah. Ketika mengetahui kesya-hidannya, Hindun sangat gembira dan berusaha mencari jenazahnya. Tatkala berhasil menemukan jenazahnya, bagaikan anjing hutan ia merobek perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya, kemudian mengu-nyahnya dan memuntahkannya kembali. Ia juga mengiris hidung dan kedua telinga Hamzah, dan kedua anggota tubuh mulia itu ia jadikan kalung. Hal itu menggambarkan betapa kedengkian dan kebuasan Hindun yang sangat mendalam serta fanatismenya yang sangat tinggi. SuAmînya, Abu Sufyân, juga tidak mau ketinggalan. Ia bergegas menuju jenazah Hamzah dan berbicara kepadanya dengan penuh caci maki dan kedengkian seraya berkata: "Hai Abu Amârah, masa telah berganti. Kini telah tiba saatnya, dan dendam nafsuku menjadi reda.” Kemudian Abu Sufyân mengangkat tombaknya dan menancapkannya ke badan Hamzah yang sudah tak bernyawa lagi itu sembari berkata: “Rasakanlah, rasakan-lah!”[6] Setelah berbuat demikian, ia berpaling dengan hati puas dan suka ria. Hatinya yang penuh dengan kemusyrikan, kedengkian, dan sifat-sifat buruk itu merasa puas dengan terbunuhnya Hamzah.
Setelah peperangan usai, Nabi saw. menghampiri jenazah pamannya, Hamzah, yang telah dirobek-robek perutnya oleh Hindun. Dengan hati yang sangat sedih dan pilu, ia memandang jasad pamannya itu seraya berkata: “Hai Hamzah, aku belum pernah ditimpa musibah seperti musi-bah yang kualami lantaran kepergianmu ini. Aku tidak pernah merasa murka sebagaimana kemurkaanku atas tragedi ini. Sekiranya Shafiyyah tidak berduka dan setelah wafatku nanti tidak dijadikan tradisi, niscaya sudah aku tinggalkan tubuhmu sehingga menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung ganas. Jika sekiranya Allah memenang-kanku atas orang-orang kafir Quraisy dalam sebuah peperangan nanti, maka aku akan mencacah-cacah tiga puluh orang dari mereka.”
Muslimin yang lain pun bangkit menuju jasad Hamzah. Mereka berkata: “Jika kami dapat mengalahkan orang-orang kafir itu pada suatu hari nanti, pasti kami akan mencacah-cacah badan mereka dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang Arab pun.”
Melihat hal ini, Jibril turun menyampaikan firman Allah swt:
“Jika engkau menyiksa mereka, maka siksalah sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadapmu. Tetapi jika kamu bersabar, maka hal itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah, kesabaranmu tiada lain kecuali hanya karena Allah. Janganlah bersedih atas mereka dan janganlah merasa sempit hati terhadap tipu daya mereka.” (QS. An-Nahl [16]:129-127)
Mendengar ayat ini, Nabi saw. memaafkan para musuh dan bersabar, dan juga melarang muslimin untuk melakukan pencacahan terhadap tubuh-tubuh musuh. Ia bersabda: “Sesungguhnya mencacah tubuh itu haram sekalipun tubuh anjing galak.”
Satu-satunya peperangan yang membawa kekalahan telah bagi kaum muslimin adalah perang Uhud. Ibn Ishâq berkata: “Sesungguhnya Uhud merupakan hari duka, bencana, ujian berat. Allah menguji orang yang beriman dengannya dan menampakkan orang munafik yang melahirkan keimanan pada lisannya, sementara ia menyimpan kekufuran dalam hati-nya. Lebih dari itu, Uhud adalah hari kehormatan bagi orang-orang yang dimuliakan dengan mati syahid.”[7]
Seusai peperangan, Rasulullah saw. memberitahukan kepada Ali as. bahwa selepas peperangan Uhud ini, kaum musyrikin tidak akan dapat mengalahkan kaum muslimin hingga Allah memberikan kemenagan bagi muslimin.[8]
Demikianlah perang Uhud ini berakhir. Sebagian kisah perang Uhud ini telah kami jelaskan dalam buku kami, Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin, jilid ke-2.
3. Perang Khandak
Nama lain perang Khandak adalah perang Ahzab. Hal itu lantaran bebe-rapa kelompok kaum musyrikin bergabung membentuk satu kekuatan tunggal untuk menyerang pasukan Rasulullah saw. Pada peristiwa perang ini, kaum muslimin betul-betul merasa khawatir dan diliputi rasa takut yang dahsyat. Faktor utamanya adalah karena pasukan musyrikin yang sangat kuat dan orang-orang Yahudi juga turut bergabung dengan me-reka. Seluruh pasukan mereka berjumlah sepuluh ribu prajurit. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tiga ribu prajurit saja.
Ketika melukiskan sejauh mana rasa takut yang dialami oleh kaum muslimin dalam peperangan ini, Al-Qur’an berfirman:
“Ketika mereka mendatangimu dari bagian atas dan bagian bawah kalian dan ketika mata-matamu terbelalak dan rasa takutmu sampai menembus hati.” (QS. Al-Ahzâb [33]:10)
Pada perang ini, Allah telah memberikan kemenangan bagi Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib as. Dialah orang yang telah berhasil menghan-curkan dan memporak-porandakan barisan kaum musyrikin.
Menggali Parit
Ketika Nabi saw. mengetahui pasukan Quraisy dan Bani Ghathafân ingin melakukan serangan terhadap muslimin, ia mengumpulkan para sahabat dan memberitahukan kepada mereka rencana musuh tersebut. Ia juga meminta pendapat mereka masing-masing demi menghalau musuh Islam itu. Salman Al-Fârisî, salah seorang sahabat terkemuka, mengusulkan untuk menggali parit di sekitar kota Madinah. Nabi saw. Menyetujui pandangannya itu dan memerintahkan para sahabat untuk menggali parit. Ide tersebut merupakan taktik perang yang jitu untuk menyelamatkan pasukan muslimin dari serangan musuh Islam. Melihat parit digali di sekitar kota itu, pasukan musuh bingung dan tidak memiliki jalan lain untuk melancarkan serangan terhadap muslimin. Dengan terpaksa, mereka hanya dapat menggunakan anak panah. Kaum muslimin pun menjawab serangan mereka dengan serangan yang sama. Saling melem-par anak panah pun terjadi antara kedua pasukan tersebut tanpa terjadi perangan terbuka di antara mereka.
Imam Ali as. Berduel dengan ‘Amr
Orang-orang kafir Quraisy merasa jengkel dengan kondisi perang semacam ini. Karena hal itu tidak memberi kemenangan kepada mereka. Mereka berusaha mencari ukuran lebar parit yang agak sempit agar kuda-kuda mereka dapat melompati dan menyeberangi parit. Di tengah-tengah mereka terlihat ‘Amr bin Abdi Wud. Dia adalah ksatria Quraisy dan penunggang kuda Kinânah yang tangguh pada masa Jahiliyah.
‘Amr menggenggam pedang. Ia laksana benteng kokoh. Ia menaiki kudanya dengan penuh bangga dan congkak. Dengan segenap kekuatan ia dapat melompati parit. Kaum muslimin yang menyaksikan hal itu merasa ciut, kerdil, dan gemetar. ‘Amr maju menghadap mereka dengan perlahan tapi pasti. Dengan suara yang lantang dan penuh penghinaan ia berkata: Hai perajurit Muhammad, adakah yang berani melawanku?”
Hati kaum muslimin bak tercabut dari tempatnya. Mereka diliputi rasa takut. Untuk kedua kalinya ‘Amr angkat suara: “Adakah yang berani melawanku?”
Tak seorang pun berani menjawab. Tetapi pejuang Islam, Imam Amirul Mukminin as. menjawab: “Aku yang melawannya, ya Rasulullah.”
Nabi saw.  merasa khawatir atas keselamatan putra pamannya itu. Ia berkata: “Ketahuilah, dia adalah ‘Amr!”
Imam Ali as. menaati perintah Rasulullah saw. dan segera duduk kembali. Kembali ‘Amr mengejek kaum muslimin dan berkata: “Hai para sahabat Muhammad, mana surga yang kalian duga akan memasukinya jika kalian terbunuh? Siapakah di antara kalian yang menginginkannya?”
Pasukan muslimin membisu seribu bahasa. Imam Ali as. tetap memaksa Nabi saw. agar memberi izin untuk melawannya. Tak ada lagi alasan bagi Nabi untuk menolak desakan Ali as. Nabi saw. menetapkan sebuah predikat bagi Ali as. sebagai tanda keagungan dan kehormatan. Ia saw. bersabda: “Segenap keimanan telah keluar untuk menentang sege-nap kekufuran.”
Sungguh betapa predikat kehormatan yang kekal abadi dan bersinar bak matahari. Nabi saaw. telah memberikan predikat “seluruh imam dan Islam” bagi Abul Husain dan predikat “seluruh kekufuran” bagi ‘Amr. Setelah itu Nabi saw. mengangkat kedua tangan seraya memanjatkan doa dan harapan kepada Allah swt. agar menjaga putra pamannya itu. Ia saw. berkata: “Ya Allah, Engkau telah mengambil Hamzah dariku di perang Uhud dan mengambil ‘Ubaidah di perang Badar. Maka jagalah Ali pada hari ini. Wahai tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku sen-dirian. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pewaris.”
Ali as. maju menyerang dengan penuh semangat. Ia tidak merasa takut dan gentar sedikitpun terhadap ‘Amr bin Abdi Wud. Ia bangkit dengan tekad yang kokoh membaja bak ksatria yang tak ada bandi-ngannya. ‘Amr terkejut dengan pemuda yang berani maju untuk melawan dan tak gentar.
‘Amr bertanya: “Siapa kamu?”
Imam Ali menjawab dengan meremehkannya: “Aku adalah Ali bin Abi Thalib.”
‘Amr menampakkan rasa kasihan kepadanya seraya berkata: “Da-hulu, ayahmu adalah teman baikku.”
Imam Ali as. tidak bergeming sedikit pun dengan celotehan ‘Amr itu. Ia malah menjawab: “Hai ‘Amr, engkau telah berjanji kepada kaum-mu bahwa tidak seorang pun dari Quraisy yang mengajakmu kepada tiga karakter melainkan engkau pasti menerimanya?”
‘Amr menjawab: “Ya, itulah janjiku.”
Ali as. berkata: “Aku mengajakmu kepada Islam.”
‘Amr tertawa seraya berkata kepada Imam Ali sembari menghina: “Jadi, aku harus meninggalkan agama nenek moyangku? Jangan usik masalah ini!”
Ali as. berkata: “Aku akan menahan tanganku untuk membunuhmu, dan engkau bebas kembali.”
Mendengar ucapan lancang itu, ‘Amr marah dan berkata: “Jika begitu, bangsa Arab pasti membincangkan kepengecutanku.”
Imam Ali as. melontarkan tawaran ketiga yang ‘Amr sendiri telah berjanji untuk menerimanya. Imam Ali berkata: “Kalau begitu, aku me-ngajakmu duel.”[9]
‘Amr sangat terkejut dengan keberanian pemuda yang telah berani menantang dan menginjak-injak kehormatannya. ‘Amr turun dari kuda-nya dan dengan cepat melayangkan pedangnya ke arah leher Imam Ali as. Imam menangkis serangannya dengan prisai. Tetapi pedang ‘Amr dapat menembus ke bagian kepala Imam Ali as. dan menciderainya. Muslimin yakin bahwa Imam Ali as. telah menjumpai ajal. Tetapi Allah swt. menolong dan menjaganya. Imam Ali as. kembali menyerang ‘Amr dengan pedang hingga ia roboh. Ksatria Quraisy dan simbol kemusyrikan itu jatuh tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah seperti seekor sapi yang disembelih berlumuran darah.
Imam Ali as. mengucapkan takbir yang diikuti oleh pasukan muslimin. Tulang punggung kemusyrikan telah runtuh dan kekuatannya telah lumpuh. Sementara Islam telah menggapai kemenangan yang gemilang melalui kegagahan Imam Al-Muttaqîn as. Sekali lagi Nabi saw. menghadiahkan predikat agung kepada Imam Ali as. di sepanjang sejarah. Ia bersabda: “Sesungguhnya pertempuran Ali bin Abi Thalib atas ‘Amr bin Abdi Wud pada perang Khandak adalah lebih utama daripada amal umatku hingga Hari Kiamat.”[10]
Salah seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman berkata: "Seandainya keutamaan Ali as. dengan membunuh ‘Amr pada perang Khandak itu dibagi-bagikan kepada seluruh kaum muslimin, niscaya keutamaan itu akan mencukupi mereka.”[11]
Kemudian turun ayat kepada Rasulullah saw.:.”:
“...dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan (dengan memberikan kemenangan kepada mereka) ....” (QS. Al-Ahzâb [33]:25)
Tentang tafsir ayat ini Ibn Abbâs berkata: “Sesungguhnya Allah mencu-kupkan kaum mukminin dengan pertempuran Ali as.”[12]
Di samping itu, Imam Ali as. juga berhasil membunuh seorang prajurit Quraisy lainnya yang bernama Naufal bin Abdullah. Dengan demikian, Quraisy mengalami kekalahan yang telak. Ketika itu Rasulullah saw. bersabda: “Kini kita telah mengalahkan mereka, dan mereka tidak akan mampu mengalahkan kita.”[13]
Akhirnya, pasukan kafir Quraisy mengalami kerugian dan kegagalan yang fatal. Sebaliknya, muslimin tidak mengalami kekalahan sedikit pun dalam peperangan ini.
4. Penaklukan Benteng Khaibar
Setelah Allah swt. memuliakan Nabi-Nya dan menghinakan kaum kafir Quraisy, Nabi saw. menyadari bahwa program kaum Muslimin tidak akan berjalan lancar, negara Islam tidak akan damai, dan kalimat Tauhid tidak akan terangkat tinggi di muka bumi ini selama kekuatan Yahudi sebagai musuh besar Islam dari sejak dulu hingga saat itu masih bercokol. Pusat kekuatan dan eksistensi mereka berbasis di benteng Khaibar. Benteng ini juga berfungsi sebagai pusat produksi senjata modern pada masa itu. Di antaranya, manjanik yang mampu menembakkan peluru-peluru api. Ketika itu Yahudi adalah sebuah kekuatan yang siap membantu setiap golongan yang ingin memerangi Islam dengan memasok berbagai senjata mulai dari pedang, panah, hingga prisai.
Nabi saw. memerintah pasukan muslimin agar melakukan serangan terhadap benteng Khaibar. Ia menyerahkan komando pasukan kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar tiba di benteng Khaibar dengan pasu-kannya, orang-orang Yahudi melemparinya dengan manjanik sehingga Abu Bakar dipukul mundur dan kembali dengan ketakutan dan gemetar. Pada hari kedua, Rasulullah saw. menyerahkan komando pasukan kepada Umar bin Khattab. Ternyata Umar pun tidak berbeda dengan sahabatnya itu. Ia kembali dengan membawa kegagalan. Selama benteng Khaibar tetap tegar dan tertutup rapat, tak seorang pun akan berhasil menguasai benteng tersebut.
Setelah muslimin tidak mampu menumbangkan benteng Khaibar dan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar dianggap gagal, Nabi saw. mengumumkan bahwa ia akan mengangkat seorang komandan perang yang dengan tangannya Allah swt. akan memberikan kemenangan. beliau bersabda: “Besok, aku akan memberikan bendera komando perang kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah swt. dan Rasul-Nya. Pun sebaliknya, Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Dia tidak akan mundur sampai Allah memberikan kemenangan kepadanya.”[14]
Mendengar maklumat tersebut, Muslimin tidak sabar lagi ingin segera tahu siapakah komandan pasukan yang kepadanya Allah akan menganugerahkan kemenangan itu. Mereka tidak menduga bahwa dia adalah Ali bin Abi Thalib as., karena pada saat itu Ali as. sedang men-derita sakit mata.
Ketika sinar matahari pagi mulai menyingsing, Nabi saw. memanggil Ali as. sementara kedua matanya dibalut dengan kain. Setelah berada di hadapan Nabi saw., ia melepaskan kain pembalut itu dari kedua mata Ali as. Lalu Nabi saw. memoleskan ludahnya di kedua matanya. Seketika itu juga mata Ali as. sembuh. Rasulullah saw. berkata: “Hai Ali, ambillah bendera ini sehingga Allah memberikan kemenangan kepadamu!”
Pejuang Islam itu menerima bendera komando tersebut dari Nabi saw. dengan tekad yang kuat membaja dan gagah perkasa. Imam Ali as. bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apakah aku perangi mereka sampai mereka memeluk Islam?”
Nabi saw. menjawab: “Laksanakanlah tugas ini sampai engkau dapat menundukkan mereka. Lalu ajaklah mereka kepada Islam. Beritahukan kepada kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang saja dari mereka melalui tanganmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”[15]
Sang panglima perang, Ali as., segera melakukan serangan dengan gagah berani. Tak sebersit pun rasa takut dan gentar tergores di dalam hatinya. Ia mengangkat bendera komando itu tinggi-tinggi menuju ben-teng Khaibar. Ia berhasil mencabut pintu benteng Khaibar dan meng-gunakannya sebagai perisai untuk menangkal serangan kaum Yahudi.[16] Pasukan Yahudi pun merasa gentar ketakutan dan pucat pasi.
Gerangan ksatria manakah ini?! Ia mampu membongkar pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai perisai! Padahal pintu itu tidak dapat dibongkar  oleh kurang dari empat puluh orang kuat.[17] Bagaimana mungkin pintu itu dapat dicopot oleh satu orang saja! Sungguh hal itu merupakan keajaiban yang sangat menakjubkan.
Imam Ali as. Menaklukkan Marhab
Marhab adalah seorang ksatria Yahudi yang gagah berani. Ia menantang Imam Ali as. untuk bertanding. Marhab maju dengan mengenakan penu-tup wajah sebagai pelindung buatan Yaman dan batu berlobang yang ia letakkan di kepalanya seraya bersyair:
Khaibar tahu akulah Marhab.
Penghunus pedang pahlawan tangguh.
Bagai singa kekar menyerang musuh.
Segera Imam Ali as. menyambut. Ia kenakan jubah berwarna merah. Se-bagai balasan atas syair Marhab, ia bersyair:
Akulah yang dinamai oleh ibuku Haidar.
Sang pemberani dan singa tak gentar.
Singa penerkam musuh bak halilintar.
Kedua lenganku terbuka lebar kekar.
Kekar dan tangguh bak singa hutan keluar.
‘Kan kutebas setiap batang leher pengingkar.
‘Kan kuperangi mereka untuk yang benar.
‘Kan kuperangi mereka dengan pedangku yang tegar.
Tak seorang perawi pun yang berbeda pendapat bahwa syair tersebut adalah syair Imam Ali as.[18] Dalam bait-bait syairnya itu, Imam Ali as. menjelaskan kegagahan, kekuatan, ketangkasan, keberanian, dan ketega-rannya dalam menghadapi orang-orng kafir dan para pembangkang.
Imam Ali as. maju mengarah Marhab dengan keberanian yang luar biasa. Begitu cepatnya menyayunkan pedangnya ke atas kepala Marhab hingga menembus penutup kepalanya. Marhab pun terhuyung jatuh ke atas tanah dengan darah yang bersimbah. Kemudian ia menyeret mayat Marhab dan membiarkannya terkapar menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung pemakan bangkai. Dengan itu, Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang gemilang bagi Islam. Benteng Khaibar telah ditaklukkan dan Allah telah menghinakan kaum Yahudi. Pepera-ngan berakhir. Di sanalah Imam Ali as. memberikan pelajaran keberanian yang senantiasa dikenang di sepanjang sejarah.[19]
5. Penaklukan Kota Mekah
Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang nyata atas hamba dan rasul-Nya, Muhammad saw., dan menghinakan kekuatan syirik dan tiran. Kekuatan musuh-musuh Islam telah menderita kegagalan dan kerugian yang besar. Sementara kekuasaan Islam terbentang di semanjung jazirah Arabia dan bendera Tauhid berkibar megah.
Rasulullah saw. melihat bahwa kemenangan gemilang Islam tidak akan terealisasi sepenuhnya kecuali dengan penaklukan kota Mekah sebagai basis utama kemusyrikan dan kekufuran kala itu dan senantiasa memeranginya selama masih berada di sana. Nabi saw. meninggalkan kota Mekah dan kini telah memiliki kekuatan. Ia bergerak kembali  menuju kota itu dengan bala tentara yang terlatih dan bersenjata lengkap sebanyak sepuluh ribu atau lebih prajurit. Tetapi, ia menyembunyikan tujuan keberangkatan itu kepada para prajuritnya, karena khawatir akan diketahui oleh orang kafir Quraisy sehingga mereka akan mengadakan perlawanan dan terjadi pertumpahan darah di tanah Haram. Oleh karena itu, ia merahasiakan tujuan perjalanan tersebut sehingga kedatangan pasukan muslimin secara tiba-tiba dapat mengejutkan warga Mekah.
Pasukan muslimin bergerak dengan cepat dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan sedikitpun hingga mereka memasuki daerah pinggiran kota Mekah, sementara penduduknya tengah lelap dan lalai. Rasulullah saw. segera memerintahkan para sahabat agar mengumpulkan kayu bakar. Seketika itu juga, setumpuk besar kayu bakar telah terkumpul meng-gunung.
Pada malam gelap gulita itu, Nabi saw. memerintahkan agar para sahabat menyulut kayu bakar-kayu bakar itu, sehingga kobaran-kobaran api terlihat dari kota Mekah. Melihat kejadian itu, Abu Sufyân betul-betul terkejut dan khawatir atas keselamatan jiwanya. Ia berkata kepada Badîl bin Warqâ’ yang tengah berada di sampingnya: “Aku belum pernah meli-hat nyala api seterang malam ini.” Badîl segera menimpali: "Demi Allah, ini adalah kobaran api peperangan.”
Abu Sufyân mencemooh Badîl sembari berkata: “Kobaran api peperangan! Nyala api dan bala tentaranya tidak mungkin sesedikit ini.”
Rasa takut menyelimuti Abu Sufyân. Abbâs segera mendatanginya. Ia mengetahui kedatangan pasukan Islam untuk menguasai kota Mekah. Ia berkata kepada Abu Sufyân: “Hai Abu Hanzhalah!”
Abu sufyân yang mengenalnya segera berkata: “Apakah engkau Abul Fadhl?”
“Ya”, jawab Abbâs pendek.
“Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu”, tegas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: “Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah khalayak. Esok pagi dia akan menaklukkan Quraisy.”
Darah Abu Sufyân seketika itu juga membeku. Ia sangat khawatir terhadap diri dan kaumnya. Dia berkata dengan nada gemetar: “Apa yang harus kita lakukan?”
Abbâs segera memberikan solusi sehingga darahnya terjaga. Ia ber-kata: “Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, ia pasti akan menebas batang lehermu. Naikilah ke punggung keledai tua ini. Aku akan mendatangi Rasulullah untuk mohon perlindungannya untukmu.”
Abbâs membonceng Abu Sufyân yang sedang gemetar ketakutan. Abu Sufyân tidak bisa tidur semalam suntuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya karena berat dan banyaknya kejahatan yang telah ia lakukan atas kaum muslimin. Setibanya di hadapan Rasulullah saw., ia berkata kepadanya: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Apakah hingga kini belum tiba waktunya untuk kamu akui bahwa tidak ada tuhan selain Allah?”
Nabi saw. tidak menampakkan dendam atas berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh Abu Sufyân terhadapnya. Ia telah mengulurkan tirai dari kejadian-kejadian tersebut demi menyebarkan ajaran Islam yang tidak menaruh dendam terhadap kejahatan musuh-musuhnya. Abu Sufyân merengek di hadapan Nabi saw. untuk memohon maaf seraya berkata: “Demi ayah dan ibuku, betapa engkau pemaaf, berkepribadian mulia, dan penyambung persaudaraan! Demi Allah, sungguh aku mengira bahwa sekiranya ada tuhan lain selain Allah, pasti ia tidak akan membu-tuhkanku.”
Nabi saw. menoleh ke arah Abu Sufyân seraya berkata dengan lemah lembut: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Belumkah tiba waktunya untuk kamu mengenal bahwa aku adalah utusan Allah?”
Ketika itu Abu Sufyân tidak mampu lagi menyembunyikan kemusy-rikan dan kekufuran yang sudah terhujam dalam relung hatinya. Kepada Nabi saw. dia berkata: “Demi ayah dan ibuku, betapa lembutnya engkau dan betapa mulia dan penyambung persaudaraanmu! Adapun untuk seru-anmu ini, hingga saat ini di dalam hatiku masih terdapat sesuatu.”
Abbâs yang mendengar jawaban Abu Sufyân itu segera memberikan peringatan kepadanya bila ia tidak bersaksi atas kenabian dan tidak masuk Islam. Abbâs berkata: “Celakalah engkau! Masuklah Islam! Bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah sebelum lehermu ditebas!
Lelaki kotor dan keji itu tidak punya jalan lain. Ia terpaksa masuk Islam dengan lisannya. Sementara kekufuran dan kemusyrikan masih tetap terpendam di dalam relung hatinya.
Nabi saw. memerintahkan pamannya, Abbâs, agar menahan Abu Sufyân di sebuah lembah yang sempit sehingga prajurit Islam melewati-nya dan ia menyaksikan mereka. Hal itu agar Quraisy merasa takut untuk mengadakan perlawanan. Abbâs melaksanakan perintah Nabi saw. Para prajurit Islam melaluinya dengan membawa aneka ragam senjata.
Abu Sufyân bertanya kepada Abbâs: “Siapakah ini?”
“Sulaim”, jawab Abbâs pendek.
“Aku tidak ada urusan dengan Sulaim”, tukas Abu Sufyân.
Tidak lama kemudian sekelompok pasukan berkuda lainnya lewat. Abu Sufyân bertanya lagi: “Siapakah ini?”
“Mazînah”, jawab Abbâs singkat.
“Aku tidak punya urusan dengan Mazînah”, tukas Abu Sufyân.
Kemudian Nabi saw. lewat dengan membawa pasukan berkuda yang berpakain hijau dengan pedang terhunus. Ia dikelilingi para sahabatnya yang pemberani. Melihat itu, Abu Sufyân merasa gentar. Ia bertanya: “Siapakan pasukan berkuda itu?”
“Itu adalah Rasulullah bersama Muhajirin dan Anshar”, jawab Abbâs pendek.
“Sungguh kerajaan kemenakanmu telah hebat”, tukas Abu Sufyân.
Abbâs menimpali: “Hai Abu Sufyân, itulah kenabian.”
Abu Sufyân menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata dengan menghina: “Baiklah kalau begitu!”
Lelaki Jahiliyah ini tidak beriman kepada Islam. Ia hanya mengerti soal kerajaan dan kekuasaan. Setelah itu Abbâs membebaskannya. Abbâs segera masuk ke dalam kota Mekah dan berteriak dengan keras: “Hai kaum Quraisy, Muhammad telah datang kepada kalian dengan pasukan yang kalian tidak mungkin dapat melawannya. Barang siapa yang mema-suki rumah Abu Sufyân, maka ia akan aman.”
Orang-orang Quraisy berkata kepada Abbâs: “Rumahmu tidak da-pat menjamin keamanan kami?”
“Barang siapa yang menutup pintunya, maka ia akan aman. Dan barang siapa yang masuk ke dalam masjid, maka ia akan aman”, teriak Abbâs lagi.
Hati kaum Quraisy menjadi tenang. Mereka segera masuk ke dalam rumah mereka dan masjid. Sementara itu, Hindun menentang Abu Sufyân. Hatinya dipenuhi kekecewaan. Ia berteriak dengan keras untuk membangkitkan amarah kaum Quraisy terhadap Abu Sufyân: "Bunuhlah lelaki keji dan kotor ini! Tindakannya tidak sesuai dengan tindakan seorang pemimpin suatu kaum.”
Abu Sufyân memperingatkan kaum Quraisy agar tidak melawan dan mengajak mereka untuk menyerah. Nabi saw. memasuki kota Mekah bersama bala tentara Islam. Allah swt. telah menghinakan Quraisy dan membahagiakan Muslimin yang tertindas selama ini. Nabi saw. segera menuju ke Ka‘bah untuk menghancurkan patung-patung sesembahan orang-orang kafir Quraisy. Ia saw. menikamkan tombak di bagian mata Hubal sambil berkata: “Telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna.”
Kemudian Nabi saw. memerintahkan Ali as. agar menaiki pundak-nya untuk menghancurkan patung-patung dan membersihkan Baitullah yang suci itu darinya. Ali as. mengangkat patung-patung itu dan melem-parkannya ke atas tanah hingga hancur. Patung-patung itu hancur di tangan pahlawan Islam, sebagaimana patung-patung pernah dihancurkan oleh kakeknya, Ibrahim Khalîlullâh.

Sumber:balaghah.net