HMI Versus HMI

FERRY ARBANIA
By -
Bertepatan dengan Kongres Himpunan Mahasiswa Islam di Makassar 2006 silam, Harian Kompas (Selasa, 21 Februari 2006) menurunkan laporan setengah halaman yang menarik hati. Judulnya: “Kebesaran” HMI yang Menggelisahkan.

Dalam artikel itu, Kompas menyuguhkan sebuah infografis tentang penyebaran jejaring alumni HMI di DPR, dan diaspora di eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi, dan LSM.

Saat masih mahasiswa, saya mendengar sebuah isu yang ditiupkan oleh sejumlah kelompok yang anti-HMI. Kelompok-kelompok itu mengatakan, ada dua jaringan yang memiliki mobilitas vertikal politik yang kuat dan berkulindan nyaris seperti ‘mafia’, yakni militer dan HMI.

Kebetulan, kedua jaringan ini memiliki kedekatan dengan Orde Baru. Puncak kedekatan HMI dengan Orba terjadi pada era 1990-an, saat kelompok Islam mulai mendapat angin. Kala itu sempat ada tudingan kabinet dan gedung DPR telah ijo royo-royo, sebuah warna yang dilekatkan untuk kelompok Islam, khususnya HMI.

Bagi penyuka teori konspirasi, fakta kuatnya jejaring HMI bisa menggelisahkan seperti judul Kompas. Dalam teori konspirasi, para anggota dan alumnus HMI bersatu, dan bisa memainkan skenario politik mengatur negara ini.

Tentu saja, para penyuka teori konspirasi harus menelan kecewa, jika mengetahui sendiri bagaimana isi perut HMI. Organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini memang dikenal memiliki jaringan yang kuat dari tingkat keanggotaan hingga alumnus. Namun, tak ada yang lebih menyenangkan dari HMI selain kompleksitasnya.

Sesungguhnya, mobilitas vertikal ini hanyalah wajah dari salah satu mazhab besar di HMI, yakni mazhab ‘pragmatisme politik’. Mazhab ini sejak awal tidak pernah satu suara Mazhab lainnya, yakni ‘intelektualisme’.

Mazhab ‘pragmatisme’ lebih cenderung menjadi strukturalis-politis (walau tak semua alumnus HMI yang bergerak di bidang politik struktural punya sikap pragmatis), dan mazhab ‘intelektualisme’ lebih berorientasi kulturalis.

Aliran ‘pragmatisme politik’ memiliki ciri khas pengedepanan jargon-jargon esprit de corps dan ideologi. Jargon-jargon itu digunakan untuk mendefinisikan ‘kita’ dan ‘mereka’. Dalam perspektif cultural studies, jargon semangat korps dan ideologis ini mewujudkan apa yang disebut sebagai otherizing (me-liyan-kan kubu yang tak seideologi dan dianggap sebagai lawan).

Atas nama korps dan ideologi ini, mobilitas vertikal lantas terjadi. Alumni dan kader HMI yang telah lebih dulu menduduki posisi empuk di suatu tempat, akan berupaya merekrut alumni dan kader lainnya. Atas nama korps dan ideologi pula lantas para kader dan alumni akan menguatkan jaringan, dan mendukung salah satu kader yang dianggap sebagai representasi kelompok untuk menduduki posisi penting. Tak peduli apakah kader bersangkutan punya track record moral dan prestasi yang baik atau buruk.

Aliran ‘pragmatisme politik’ inilah yang menghasilkan kader-kader jenggot. Kader-kader model begini hanya bisa hidup dari sokongan jaringan yang telah kuat, dan bukan dari kemampuan maupun kapasitas pribadi. Kader-kader seperti inilah yang telah menenggelamkan nama HMI, karena hanya ‘numpang hidup’ dari organisasi dan bukannya menghidupkan organisasi.

Berbeda dengan mazhab ‘pragmatisme’, mazhab ‘intelektualisme’ sangat mengedepankan dan menjunjung tinggi rasionalitas individu, bukan semangat korps dan ideologis. Semangat korps dan ideologi hanya bisa dikalahkan oleh semangat kebenaran, semangat terhadap sesuatu yang hanif. Tidak ada upaya untuk melakukan apa yang disebut sebagai 'otherizing'.

Era 1970-an, ada dua jalur yang menyuarakan mazhab ‘intelektualisme’ ini. Pertama, jalur liberal yang disuarakan oleh Limited Group asuhan Ali Mukti, tempat Dawam Rahardjo dan mendiang Ahmad Wahib beraktivitas. Lainnya, jalur literal yang disuarakan Imaduddin Abdurrahim (Bang Imad) melalui jamaah Salman di ITB.

Era 1980-an, setelah normalisasi kehidupan kampus diterapkan, kader-kader bermazhab ‘intelektualisme’ berdiaspora. Kader-kader literalis lebih banyak bergerak di masjid dan menghidupkan kegiatan keagamaan. Mereka menjadikan gerakan-gerakan Islam Timur Tengah sebagai referensi.

Sementara kader-kader liberal, selain menghidupkan paham keagamaan inklusif, juga ada yang terjun dalam advokasi masyarakat tertindas. Sebagian kader HMI ini ada yang berada pada spektrum ideologi kiri, dan membaca buku-buku marxisme. Sejumlah tokoh kelompok mahasiswa kiri yang menolak Orde Baru belakangan diketahui adalah kader HMI.

Mazhab ‘intelektualisme’ dan ‘pragmatisme politik’ masih dalam pertarungan abadi hingga kini. Sayang sekali, saat ini kader dengan mazhab ‘pragmatisme politik’ yang tengah memenangkan pertarungan dan menguasai HMI. Mazhab ini memang sangat mudah diterima dibandingkan mazhab ‘intelektualisme’, karena lebih menjanjikan kenikmatan kekuasaan.

Namun, para kader dengan mazhab ‘intelektualisme’ tidak lantas padam. Kita telah mengenal mendiang Munir dan almarhum Nurcholish Madjid sebagai representasi wajah kader bermazhab ‘inteletualisme’ yang gigih memperjuangkan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Masih banyak lagi kader-kader yang bergerak dengan menanggalkan baju-baju ke-HMI-an, dan lebih mengambil HMI sebagai spirit substansial dan bukannya atribut ideologis yang dangkal.

Kader-kader inilah yang tidak terbaca oleh publik dan media massa sebagai aktivis HMI. Mereka bergerak di jalur liberal dan literal, di kiri dan di kanan. Mereka tak lagi terkungkung dalam sekat-sekat atau baju-baju ideologi sektarian. Kader-kader inilah yang seharusnya membuat “kebesaran” HMI tidak menggelisahkan siapapun.

Dalam konteks terkini, tentu menarik menyaksikan, bagaimana konflik bara panas di tubuh Partai Demokrat juga melibatkan sejumlah alumnus HMI. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Sementara, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng juga mantan aktivis HMI. Mereka tersengat nyanyian Bendahara Umum Demokrat M. Nazaruddin, terkait korupsi wisma atlit.

Komisi Pemberantasan Korupsi yang tengah getol mengusut kasus ini digawangi mantan alumnus HMI, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Tentu menarik, melihat 'pertarungan' antaralumnus HMI ini. Samad dan Bambang secara simplistis bolehlah dibilang representasi kader HMI yang bergerak di jalur kultural. Mereka sebagaimana almarhum Munir, bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat. Sementara Anas dan Andi, kita tahu, berada di jalur politik struktural.

Kemanakah ini akan berujung? Saya selalu teringat pernyataan Abdullah Hehamahua, mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI yang bertahun-tahun bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi. "Sebagai senior, lebih baik saya yang menghukum (kader HMI yang korup) daripada harus orang lain. Itu lebih menyakitkan," katanya, sebagaimana dikutip dari Jawa Pos.

Kecintaan kepada HMI tak akan pernah mengalahkan kecintaan terhadap kebenaran (ini saya pelesetkan dari semboyan seorang Bonek Jakarta untuk menggambarkan, bagaimana kecintaannya kepada Persebaya tak akan membutakan terhadap kebenaran.)

Selamat ulang tahun, HMI: 5 Februari 1947 - 5 Februari 2012. [wir]


Sumber: beritajatim.com