|Ferry Arbania|
DATA BUKU
Judul : Inilah Politikku
Pengarang : Muhammad Elvandi
Penerbit : Era Adicitra Intermedia
Tahun Terbit : 2011
Tebal : 302 halaman
Siapa bilang orang Islam tidak boleh berpolitik? Sebagian umat Islam
yang menolak adanya politik dalam Islam mengajukan gagasan bahwa istilah
politik sama sekali tidak pernah disebut dalam Al Qur’an. Namun,
agaknya hal itu melupakan esensi dan pengertian paling harfiah dari
politik itu sendiri. Politik dalam pengertian manakah yang dilarang?
Semua berpautan dengan politik. Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca
bahkan mengatakan bahwa selama ada yang diperintah dan memerintah,
dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. Tak ada manusia yang terbebas
dari kekuasaan sesamanya kecuali orang gila. Politik pada dasarnya juga
menjadi salah satu pilar dari dakwah karena dakwah adalah perpaduan
antara ilmu (‘ilmi) dan politik (siyasi).
Lantas pertanyaannya ialah bagaimana seorang muslim berpolitik? Buku
berjudul Inilah Politikku karangan Muhammad Elvandi ini barangkali dapat
menjadi salah satu tulisan yang menjawab pertanyaan para negarawan
muslim terkait bagaimana seharusnya umat Islam berpolitik. Fokus buku
ini adalah sebagai pembekalan filosofis bagi seorang muslim yang
berpolitik. Ia mengantarkan para politikus muslim menuju pemahaman
filosofis tentang mengapa berpolitik dan apa strategi besar politik abad
ini. Secara sistematis, buku ini berbicara tentang sistem politik
Islam, sejarah politik Rasulullah, tahapan cita-citanya, dan langkah
strategisnya dalam membangun pemerintahan. Selain itu, juga diuraikan
tentang perkembangan politik Islam yang terus-menerus diperbaharui sejak
zaman kekhalifahan hingga sistem kerajaan yang berakhir pada zaman
Dinasti Ustmaniyah di Turki Utsmani.
Tidak hanya berbicara tentang kisah yang telah lalu, buku ini juga
berbicara tentang tsawabit dan muthaghayyirat politik Islam. Tsawabit
adalah pokok atau sesuatu yang tetap, yang dalam hal ini meliputi asas,
landasan serta prinsip-prinsip politik Islam. Asas politik Islam adalah
akidah tauhid dengan landasan Al Qur’an dan sunnah serta ijmak. Adapun
prinsipnya adalah keadilan, syura dan kebebasan. Sementara itu,
muthaghayyirat atau alternatif adalah sesuatu yang bisa ditakwilkan atau
dikiyaskan. Alternatif ini meliputi musyarakah (partisipasi politik),
mughalabah (konfrontasi), dan tsaurah (revolusi) yang kesemuanya
bertujuan untuk menciptakan good government. Yang tak kalah penting,
dalam konteks politik Islam, tiga pemahaman yang perlu dibangun oleh
seorang politikus muslim adalah pemahaman tentang Islam, pemahaman
tentang tahapan gerak perjuangan atau langkah peradaban, dan pemahaman
tentang sistem politik Islam itu sendiri.
Dalam buku ini, pengarang berhasil menguraikan persoalan politik
Islam dan demokrasi yang selama ini menjadi perdebatan panjang. Posisi
dan ideologi pengarang dalam berpolitik nampak dalam pembahasannya
mengenai bagaimana politik politikus muslim. Alternatif pertama dalam
muthaghayyirat, yaitu musyarakah, adalah salah satu alternatif yang
masih menimbulkan perdebatan di kalangan politikus muslim sendiri.
Namun, dengan sejumlah perbandingan, data dan fakta yang ada, serta
dalil-dalil yang autentik, alternatif inilah yang disarankan oleh
Muhammad Elvandi. Menurut pengarang yang juga mahasiswa Al-Azhar ini,
perjuangan politik Islam untuk memperbaiki pemerintahannya di masa
sekarang yang paling memungkinkan, paling efektif, dan beresiko kecil
adalah musyarakah. Ini bukan dalam rangka bersekutu dengan keadaan, tapi
karena di dalam substansi demokrasi terdapat nilai Islam yang berguna
bagi kemaslahatan umat.
Sebenarnya, buku ini akan lebih lengkap lagi bila ditambahkan dengan
analisis-analisis terhadap percaturan dunia politik saat ini. Buku ini
tidak menjawab bagaimana politikus muslim harus bersikap dalam situasi
politik seperti saat ini, seperti apa musyarakah yang dimaksud, tidakkah
musyarakah dapat meleburkan politikus muslim itu sendiri, bagaimana
dengan koalisi, serta sederet persoalan politik lainnya. Buku ini hanya
memberikan ulasan tentang bagaimana prinsip-prinsip politik menurut
Islam serta langkah-langkah politik yang diambil pada masa Rasulullah
hingga zaman Turki Utsmani tapi tidak menjelaskan aktualitasnya dengan
zaman sekarang.
Padahal, tentu saja tantangan dan keadaan zaman pada masa sekarang
sudah jauh berbeda dan lebih kompleks apabila dibandingkan dengan zaman
Rasulullah dan Khulafaurrasyidin. Meski, tampaknya hal itu kembali lagi
pada tujuan awal buku ini yaitu untuk memberikan pemahaman filosofis
bagi para negarawan muslim untuk berpolitik. Hanya saja, sebagai sebuah
buku yang hanya ingin mengantarkan pembaca pada pemahaman filosofis,
buku ini telah berbicara terlalu luas. Tapi, buku ini juga tidak cukup
mendalam untuk dapat dikatakan sebagai sebuah buku yang berbicara
tentang langkah-langkah dan strategi politik Islam kontemporer.
Di beberapa halaman dalam buku ini, terdapat sebuah kolom yang berisi
intisari atau pokok pembahasan halaman yang bersangkutan. Hal ini
memudahkan pembaca dalam menemukan pokok permasalahan dan memahami buku
ini secara utuh. Sayangnya, buku ini tidak dilengkapi dengan glosarium
atau daftar istilah bahasa Arab padahal penggunaan kosakata bahasa Arab
sangat bertebaran dalam buku ini. Gambar-gambar yang ditambahkan pada
dasarnya juga tidak terlalu penting sehingga terkesan sekedar menjadi
hiasan mata.
Sesuai dengan tagline-nya, buku ini sangat direkomendasikan untuk
pencerahan intelektual dan inspirasi negarawan muslim. Ia seolah ingin
menekankan kepada pembacanya bahwa tak ada waktu lagi bagi seorang
politikus muslim untuk berdiam diri. Seperti kata Muhammad Shalih
Al-Utsaimin, “Masuklah kalian ke sana. Apakah kalian akan meninggalkan
parlemen untuk diserahkan ke orang-orang yang sekuler dan berdosa?”
KETIKA NEGARAWAN MUSLIM BERPOLITIK, SEPERTI APA ?
By -
December 02, 2011